Oleh: Budiarto Shambazy
ALHAMDULILLAH, semua orang lega unjuk rasa di sejumlah kota memperingati Hari Antikorupsi Internasional, 9 Desember, berlangsung damai. Pihak-pihak tertentu yang mengembuskan rumor massa akan ditunggangi penumpang gelap untuk mendongkel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terbukti isapan jempol belaka, mestinya minta maaf.
Rakyat, yang sering dianggap remeh oleh the ruling elite, terbukti makin matang berdemokrasi. Tujuan unjuk rasa memfokuskan perhatian rakyat kepada kegagalan pemberantasan korupsi sejak kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai pembentukan Pansus Century di DPR, telah mencapai sasaran.
People’s power (kekuatan rakyat) untuk sementara memenangi perjuangan antikorupsi. Jika memakai metafora olahraga, rakyat berada dalam posisi unggulan. Sebaliknya, koruptor menjadi the underdogs. Ini kemenangan moral yang mahapenting untuk melanjutkan koreksi terhadap pembasmian korupsi, terutama membongkar skandal Century, sampai ke akar-akarnya.
Pemerintah dan DPR kini hanya bertindak sebagai pemeran-pemeran pembantu saja dalam pemberantasan korupsi. Rakyatlah pemeran utamanya. The ruling elite sudah terlalu lama mendikte dan mendominasi jalannya kekuasaan sejak ingar-bingar kampanye Pemilu/Pilpres 2009, rakyat hanya jadi penonton. Kini ”kendali permainan” diambil alih sang pemenang utama.
Sesuai rencana, ribuan pengunjuk rasa turun ke berbagai lokasi. Jumlah pengunjuk rasa perlu menjadi ukuran. Tolok ukur yang lebih menentukan partisipasi damai dan meriah berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, pelajar, buruh, sampai pejalan kaki. Partisipasi ini terakhir kali terlihat pada hari-hari jauh sebelum pecahnya Tragedi Mei 1998, kerusuhan hasil intrik politik internal kekuasaan.
Sekalipun hujan deras mengguyur Jakarta, semangat pengunjuk rasa di berbagai lokasi tidak pernah surut sejak pagi sampai petang. Pawai, orasi, happening arts, dan berbagai ragam unjuk rasa berlangsung tertib. Sama sekali tidak terbit rasa khawatir saat berada di kerumunan pengunjuk rasa. Toh, ”pemanasan” sudah sering dilakukan ketika aktivis antikriminalisasi rajin berunjuk rasa membela KPK.
Bisnis tetap jalan sekalipun banyak warga yang tidak bepergian menggunakan kendaraan. Tak heran lalu lintas Ibu Kota tidak semrawut seperti biasanya. Patut pula dipuji sikap aparat keamanan yang persuasif menghadapi massa. Okelah terjadi bentrok antara polisi dan mahasiswa di Makassar. Namun, seperti diakui aparat keamanan, insiden itu disebabkan oleh kesalahpahaman kecil saja.
Sebuah restoran cepat saji Amerika Serikat, KFC (Kentucky Fried Chicken), menjadi sasaran amuk massa. Beberapa tahun terakhir demo mahasiswa Makassar kadang berakhir ricuh. Wakil Presiden Jusuf Kalla, tokoh Bugis yang disegani, pernah bergurau, ”Rumah saya saja sering didemo. Unjuk rasa boleh, tetapi jangan menghancurkan apa saja.”
Oleh sebab itu, salah satu insiden perusakan restoran cepat saji KFC ditanggapi khalayak dengan joke sinis. ”Mahasiswa salah paham karena enggak ngerti bahasa Inggris, KFC dikira ’Korupsi Fans Club’,” kata joke itu. Sekali lagi, tak ada kesan seram sama sekali karena kesadaran rakyat bahwa perjuangan kali ini bertujuan mulia, yakni selama-lamanya menghabisi korupsi.
Seperti sudah saya singgung dalam Kolom Politik-Ekonomi edisi 28 November, people’s power kali ini lahir dari rasa kecewa rakyat terhadap rangkaian peristiwa sejak kriminalisasi KPK sampai kecurigaan terhadap bailout Century. Melalui proses pendewasaan yang matang, people’s power diawali oleh pembentukan kubu moral, intelektual, dan sosial yang ampuh. Niat tulus, tekad besar, upaya gigih, dan sifatnya yang sukarela berhasil membentuk people’s power itu.
Dan, mengingat besarnya magnitudo skandal Century, muncul reaksi keras dari berbagai kalangan yang memuncak 9 Desember lalu. People’s power yang berpihak pada hati nurani rakyat itu telah berubah wujud menjadi bola salju yang membesar dan menggelinding cepat. Tak ada lagi yang mampu menahan laju bola itu, apalagi kembali mendorongnya ke puncak gunung salju.
Melawan demokrasi?
Telah menjadi gejala umum di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia pada masa Orde Baru, people’s power berpotensi ditunggangi mereka yang memancing di air keruh. Dengan modal laporan-laporan intelijen yang kurang layak dipertanggungjawabkan secara profesional, Orde Baru mengarang potensi ancaman keamanan fiktif, seperti komunis, OTB (organisasi tanpa bentuk), atau ”setan gundul”.
Justru karena gaya kepemimpinan nasional model itulah timbul intrik-intrik di lingkar dalam kekuasaan yang memecahkan kerusuhan Malari 1974 atau Tragedi Mei 1998. Budaya abdi dalem istana sarat persaingan tak sehat antara orang-orang sekeliling presiden, seperti model ”durna” Orde Lama atau gaya ”KISS” (ke istana sendiri-sendiri) Orde Baru. Dan, presiden pun memanipulasi kompetisi itu memecah-belah lingkar dalamnya sendiri.
Namun, Gus Dur berhasil melakukan demistifikasi istana. Lebih penting dari itu, Indonesia sudah menjadi demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Jarum jam mustahil diputar ke belakang, bangsa dan negara ini menjadi sorotan dunia. Media asing memberitakan gencar unjuk rasa 9 Desember, lengkap dengan latar belakang skandal Century yang disebut melanggar aturan-aturan dan kriminalisasi KPK yang dipuji sukses menumpas korupsi.
Juga telah menjadi tren di Dunia Ketiga pada era Perang Dingin, rezim-rezim otoriter maupun quasi-democracy justru melancarkan perlawanan terhadap demokrasi. Tujuannya cuma satu, yakni mempertahankan kekuasaan. Sayangnya, dunia telanjur berubah dan perlawanan tersebut sia-sia saja. Dalam istilah yang populer, penguasa masih memakai logika analog, sementara akal rakyat sudah digital.
Contohnya, penguasa dengan gegabah mengecap dengan memakai doktrin ketinggalan zaman bahwa unjuk rasa pasti kebablasan menjadi kerusuhan. Padahal, merekalah yang kebablasan melawan prinsip-prinsip demokrasi agar kekuasaannya langgeng tanpa kontrol. Dalam pepatah, ”Buruk rupa cermin pun dibelah”.
Mesti diakui, pamor people’s power di negeri yang bangsanya dikenal suka run amok (mengamuk) ini sempat anjlok karena Malari 1974 dan Mei 1998. Jatuhnya korban jiwa dan kerusakan infrastruktur dengan gampang membuat penguasa menuding rakyat belum siap berdemokrasi. Kini, setelah unjuk rasa Hari Antikorupsi Internasional, terbukti pamor people’s power naik kembali.
Lagi pula people’s power amat dibutuhkan kehadirannya saat kekuasaan membangun tembok pelindung.
Saya masih suka heran melihat upaya akal-akalan mereka yang berusaha menahan laju tuntutan agar skandal Century dibongkar tuntas. Upaya itu telah menjadi olok-olok rakyat yang geleng-geleng kepala menyaksikan ulah mereka, terutama pihak-pihak yang mulai saling menyalahkan.
Sekali lagi, people’s power sejatinya dilancarkan melalui metode power to the people. Itulah proses pembelajaran, penyadaran, pemahaman, dan pemberdayaan rakyat agar tak terkelabui skandal Century. Dengan bantuan media massa dan juga word of mouth, skandal Century telah merasuk ke kalbu sanubari rakyat yang terusik hati nuraninya.
Saat meliput unjuk rasa 9 Desember, dengan mudah dapat dirasakan bahwa kalangan awam—seperti tukang ojek, pelajar, buruh, bahkan pedagang kaki lima—sudah gusar. Pesan moral mereka satu, ”Jangan membuat kami makin gusar”. Kiranya Pansus Century DPR memahami benar fenomena ini dan tunduk kepada tuntutan people’s power. Janganlah bermain api, bermainlah dengan cantik.
Tantangan terbesar ke depan adalah mengawasi kerja Pansus Century DPR. People’s power sudah lama mafhum sukar berharap dari proses konstitusional yang penuh persekongkolan di lembaga wakil rakyat itu. Jangan khawatir, tetap jaga kebenaran, rapatkanlah barisan, rancanglah gerakan, jagalah ketertiban, dan, insya Allah, people’s power pasti menang!
Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas.
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Desember 2009