DPR—ku, DPR—mu, DPR RI

Oleh: A Bakir Ihsan

KEBERADAAN lembaga DPR merupakan representasi terbaik dalam sistem demokrasi perwakilan. Ia menjadi jembatan yang bisa meminimalisasi kesenjangan aspirasi antara rakyat dan pemimpinnya. Namun, harapan ideal itu tampaknya harus berhenti sejenak oleh sikap lembaga perwakilan itu sendiri.

Alih-alih menjadi jembatan aspirasi, DPR mempertontonkan tradisi yang tak merepresentasikan aspirasi rakyat. Tunggakan agenda legislasi yang tak mampu diselesaikan oleh DPR lama (2004-2009) dan anggaran berlimpah yang harus dihabiskan untuk pelantikan DPR baru (2009-2014) menjadi lonceng duka rakyat atas para wakilnya.

Kenyataan ini merupakan problem klasik DPR yang seakan terlalu sulit untuk diselesaikan, tetapi terlalu mudah dilakukan dan diulangi. Apalagi di tengah kepentingan pragmatis partai politik untuk berbagi dan merasakan bersama manisnya kekuasaan semakin kuat saat ini.

Personifikasi Kepentingan

Menguatnya pragmatisme politik didorong oleh banyak faktor. Salah satunya adalah sirkulasi kepentingan partai politik yang begitu dominan sehingga menempatkan para kader partai di legislatif tak lebih sebagai corong partai, bahkan tak jarang menjadi corong kepentingan pribadi. DPR menjadi ranah yang tersekat oleh kepentingan personal (DPR-ku), kepentingan komunal (DPR-mu), bukan kepentingan kita semua warga republik bernama Indonesia (DPR RI).

Di sinilah terjadi proses personifikasi kepentingan, baik dalam skala individu maupun partai politik, dengan segala konsekuensinya. Pelaksanaan hak interpelasi dan angket yang tak jelas juntrungnya serta keterlibatan anggota DPR dalam tindak korupsi dan perilaku tak terpuji lainnya pada DPR lalu adalah bukti nyata.

Personifikasi kepentingan dengan beragam skalanya itu akan terus berlangsung selama partai politik masih menempatkan diri sebagai dalang. Partai yang hanya berpikir membesarkan dirinya dengan agenda kepentingan elitis dan tak bersenyawa dengan harapan rakyat menyebabkan pengambangan peran substantif DPR. Hal ini diperparah oleh disorientasi sebagian anggotanya. Inilah bagian dari yang oleh Michael Mann (2005) disebut sisi gelap demokrasi. Persamaan (equality) yang inheren dalam demokrasi berdiri sejajar dengan diskriminasi (inequality) atas nama mayoritas (demos) yang menganeksasi minoritas (ethnos).

Dua Ranah

Karena itu, diperlukan transformasi pada dua ranah yang selama ini jadi problem anggota Dewan. Pertama, transformasi intelektual. Hal ini terkait dengan kemampuan DPR membuat kebijakan (legislasi) yang bisa dipertanggungjawabkan konsistensinya. Paling tidak produk legislasi yang dihasilkan DPR tak selalu dianulir Mahkamah Konstitusi akibat kontradiksi (kontroversi) dan lemahnya logika hukum di dalamnya. Padahal, legislasi, menurut Jean-Jacques Rousseau, merupakan titik tertinggi kesempurnaan bakat manusia. Karena itu, kata Rousseau, legislator adalah sosok yang cerdas (a man of superior intelligence).

Kedua, transformasi moral terkait penyimpangan dan terputusnya ikatan moral anggota DPR dengan rakyat yang diwakilinya. Inilah yang dari awal menjadi sorotan Plato ketika ia menganggap demokrasi sebagai pesta pora orang-orang miskin. Miskin di sini bisa sebagai simbol rapuhnya kualitas intelektual dan moral para wakil demos.

Problem intelektual dan moral tak sepenuhnya berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan identitas sosial anggota DPR, tetapi juga pada komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan mempertaruhkan integritas dirinya sebagai orang yang dipercaya rakyat. Apalagi, menurut hasil survei Kompas (28/9/2009), tingkat ekspektasi rakyat semakin tinggi terhadap anggota DPR baru.

Dengan modal pendidikan yang lebih bagus, usia yang relatif muda, dan ekspektasi masyarakat yang kuat, DPR baru seharusnya dapat mempertaruhkannya dengan kerja-kerja yang berlandaskan pada input rakyat sehingga melahirkan output yang prorakyat, juga agar lembaga DPR betul-betul terhormat di mata rakyat.

Modal intelektual dan moral menjadi semakin penting di DPR. Kita berharap parpol bisa memanfaatkan koalisi besar sebagai jalan mudah para wakilnya di Senayan untuk memberikan input sekaligus kontrol yang efektif terhadap pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang bersinergi dengan aspirasi rakyat. Di sinilah peran DPR RI sebagai kader partai politik sekaligus jembatan amanat rakyat menjadi semakin penting.

A Bakir Ihsan, Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta

Sumber: Kompas, Jumat, 9 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts