Oleh: Andi Andrianto
SATU per satu pilar Komisi Pemberantasan Korupsi patah. Setelah Antasari Azhar, giliran pimpinan lain lembaga pemberantasan korupsi negara Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang menjadi tersangka. Kini, KPK berjalan dengan dua pimpinan. Masihkah KPK punya taring seperti saat Antasari, Bibit dan Chandra masih aktif?
Tak mudah menjalankan institusi negara dengan dua figur KPK yang tersisa. Namun, komitmen pemberantasan terhadap para koruptor tetap dijalankan. KPK di masa Antasari terlihat ganas. Besan Presiden, Aulia Pohan ditangkap. Sejumlah anggota DPR tak luput jadi sasaran KPK. Mantan wakil rakyat Yusuf Emir Faisal, Al-Amin Nasution, dan Jaksa Urip terjaring razia KPK.
Sayangnya, bagai macan ompong, KPK kini tak berdaya lagi menjebloskan koruptor ke hotel prodeo setelah figur lembaga ini yang justru dipenjara. Mantan Ketua KPK, Antasari, terlibat skandal pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran.
Bibit dan Chandra jadi tersangka akibat penyalahgunaan wewenang dalam pemberian surat cekal bagi Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo terkait kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Akibatnya, kedua pimpinan KPK ini diberhentikan sementara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat nomor 74/P/2009.
Kekosongan kelembagaan KPK memaksa SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-undang (Perpu) tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perpu ini akan menunjuk pejabat pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK.
Rakyat berharap perpu tersebut tidak berbau politis. Artinya, perpu itu tidak menjadi boneka kekuasaan eksekutif. Dengan kalimat lain, setelah pimpinan KPK yang baru dilantik sejatinya perpu ini tidak lagi menjadi alat kontrol atau diintervensi pihak-pihak tertentu untuk mengebiri langkah KPK ke depan dalam memberangus koruptor di negeri ini.
Perkiraan ini wajar, sudah bukan rahasia umum lembaga negara kadang didikte oleh penguasa. Indikasinya, perpu jadi kontroversi. Meskipun SBY telah menandatangani dan menunjuk tiga nama pimpinan KPK yang baru, tetapi di dalam internal KPK sendiri menolak.
Lepas dari polemik ini, rakyat berharap siapa pun pimpinan KPK yang baru nantinya dapat menjalankan amanat rakyat seperti sedia kala. Praktik politik tebang pilih dalam memberantas koruptor mesti dihindari oleh pimpinan KPK yang baru. Lihat saja, saat KPK di bawah komando Antasari, sang besan Aulia Pohan masuk penjara. Intinya, tidak ada yang kebal hukum di negeri ini.
Hemat saya, spirit inilah yang sejatinya ke depan tetap dipertahankan oleh pimpinan KPK yang baru. Palu hukum dan keadilan tidak melihat figur. Siapa pun dia bila terbukti bersalah jalankan proses hukum. Contoh di China, tiap pemimpin sudah disiapkan peti mati bila mereka melakukan korupsi.
KPK harus tetap di rel awal, yakni komitmen terhadap pemberantasan korupsi meski kini sedang dihantam badai besar. Walaupun kondisi KPK saat ini bagai sebuah perahu yang di tiap sisinya bocor, tetapi seperti harapan rakyat di atas KPK jangan menyerah, apalagi membiarkan koruptor tersenyum.
Andi Andrianto, Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Kompas, Jumat, 2 Oktober 2009