Oleh: Teten Masduki
Penyair WS RENDRA dalam puisinya pernah menyerukan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, yang ditulis sewaktu almarhum belajar di Amerika pertengahan tahun 1970-an. Puisi itu ditulis dalam lembaran surat balasan kepada sahabatnya di dalam negeri yang menceritakan kenestapaan pelacur-pelacur Ibu Kota yang tidak mendapat perlindungan polisi.
Seorang teman menganjurkan mencatut judul puisi itu dalam tulisan ini untuk membangunkan kesadaran “cicak-cicak”. Bahwa niat baik, dan seberapa kuat legitimasi perlawanan korupsi, tidaklah banyak menolong berhadapan dengan kekuatan besar yang terorganisasi. Sebab, ancaman terhadap agenda pemberantasan korupsi kini bukan sekadar wacana.
Penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, memperlihatkan pertarungan “cicak” dan “buaya” makin sengit. Sepertinya kepolisian dan Kejaksaan Agung panik melihat opini masyarakat yang mulai meragukan kredibilitas polisi dan jaksa menyusul beredarnya transkrip rekaman yang mengonfirmasi adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra.
Seolah dengan penahanan itu dua hal sekaligus bisa diperoleh, menghambat gerak perlawanan kedua tersangka dan sekaligus menunjukkan keperkasaan mereka. Atau barangkali polisi sudah menemukan bukti kuat bahwa mereka menerima suap, yang sejauh ini menjadi kelemahan sangkaan pidana terhadap mereka yang dituding cuma melakukan penyimpangan prosedur pencekalan.
Rekayasa Kriminalisasi
Transkrip rekaman pembicaraan antara pejabat kejaksaan dan pihak-pihak yang terkait kasus korupsi yang sedang ditangani KPK tersebut bukan saja menyingkap adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap kedua unsur pimpinan KPK itu, tetapi jauh dari pada itu memperlihatkan bahwa unsur-unsur busuk masih menguasai kekuasaan formal kita.
Memang sangat menyakitkan. Di tengah semangat masyarakat untuk keluar dari lilitan korupsi yang telah menempatkan bangsa ini pada harkat budaya yang paling hina, masuk dalam kelompok negara terkorup di dunia, masih ada anasir-anasir lama yang berusaha merevitalisasi rezim korupsi di negeri ini.
Sedikit banyak KPK, yang lahir dari rahim reformasi, telah mengganggu rezim korupsi. Belakangan KPK malah mulai menyentuh nenek moyang korupsi yang berbasis pada patronase politik dan bisnis, meski belum mengusut sumber-sumber dana politik. Dalam hal tertentu KPK juga telah mempermalukan reputasi polisi dan kejaksaan. Bisnis perlindungan hukum bagi koruptor menjadi hancur ketika KPK bisa dengan mudah menyeret koruptor ke penjara meski polisi dan jaksa sudah menutup kasusnya rapat- rapat dengan alasan klasik: tidak cukup bukti.
Kita sebenarnya mengharapkan ada dukungan politik tingkat tinggi terhadap KPK. Presiden yang mengklaim punya perhatian terhadap pemberantasan korupsi mestinya berdiri di belakang KPK dalam melawan upaya-upaya yang mau melemahkan KPK. Menimbulkan kontroversi di masyarakat ketika semalam sebelum penetapan tersangka kedua unsur pimpinan KPK itu oleh polisi, Presiden hadir dalam acara buka puasa di Mabes Polri. Untung saja Presiden juga cepat merespons kekhawatiran masyarakat ketika akan mengangkat sendiri pejabat sementara pimpinan KPK pengganti tiga unsur pimpinan KPK yang sedang diproses di pengadilan, dengan menyerahkannya kepada tim seleksi independen dan hasilnya relatif bisa diterima masyarakat.
Sekarang Presiden pun dicatut namanya dalam transkrip rekaman rekayasa hukum itu. Tentu kita tidak mengharapkan Presiden sekadar membersihkan dirinya dari pencatutan itu, tetapi menunjukkan kualitas kepemimpinannya dalam menyelesaikan karut-marut konflik antara “cicak dan buaya” ini. Saat ini momen yang tepat untuk menata kembali hubungan konstruktif semua kelembagaan antikorupsi itu yang sekarang saling sikut. Presiden harus memberi dukungan kepada KPK untuk mengusut pihak-pihak yang terlihat dalam rekayasa kriminalisasi ini.
Presiden biasanya enggan dipersepsikan publik bahwa ia melakukan intervensi politik terhadap kemandirian penegakan hukum, karena memang polisi dan kejaksaan yang bermasalah dengan KPK berada di bawah kekuasaan Presiden. Dan tidak mungkin membersihkan negeri ini dari korupsi tanpa KPK yang kuat, karena masih diperlukan waktu dan upaya yang panjang untuk memulihkan institusi polisi dan kejaksaan untuk bisa berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.
Serangan balik koruptor terhadap KPK barangkali tidak akan pernah reda. Serangan mematikan yang harus diwaspadai akan mengarah pada pemangkasan kewenangan formal dan infiltrasi agen-agen korupsi ke dalam tubuh KPK. Dalam skala dukungan politik yang sangat lemah, tidak ada jalan lain, KPK harus membangun sistem kekebalan internal dan mengapitalisasi dukungan masyarakat yang sangat besar sebagai kekuatan legitimasi mereka.
Tidak Tuntas
Sayangnya dalam pertarungan ini KPK tampil agak ragu-ragu dan kurang percaya diri. Kalau saja mau, KPK bisa menyeret hampir separuh anggota DPR dari sejumlah kasus yang mereka tangani. Dalam banyak kasus, KPK tidak pernah menebas habis semua pelakunya. Padahal, seperti membasmi virus, mestinya KPK tidak boleh menyisakan benih-benih kotor yang akan berkembang biak atau memberikan perlawanan.
Dalam kasus dugaan pemerasan oleh pejabat kepolisian pada kasus Bank Century, KPK membiarkan isunya berkembang tanpa berani menuntaskan.
Saya yakin KPK pun bisa menggunakan rekaman itu, yang pasti informasinya jauh lebih lengkap dari secuil transkrip rekaman yang beredar saat ini, untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK terus berlanjut. Padahal, mereka bisa melakukan itu atas nama mandat supervisi yang dimiliki oleh KPK terhadap kepolisian dan kejaksaan.
Atau mungkin kita tak bisa mengharapkan cicak melakukan lompatan besar karena cicak hanya bisa merayap diam-diam melahap mangsanya, seperti hampir semua anak prasekolah bisa menyanyikan lagu “Cicak-cicak di Dinding”.
Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009