Oleh: Ferdy Hasiman
BERITA-berita di halaman depan media pada hari-hari ini heboh oleh kasus bailout untuk Bank Century. Sejak Oktober 2008, bank ini telah dinyatakan gagal kliring oleh Bank Indonesia dengan indikasi rasio kecukupan modal (CAR ) -3,5 persen. Menurut aturan BI, bank dinyatakan sehat dan stabil jika CAR-nya berada di atas 8 persen.
Menimbang risiko sistemik yang akan terjadi jika bank ini kolaps, setelah gagal kliring, bank ini dilaporkan ke Departemen Keuangan dan diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk diselamatkan. Aksi penyelamatan terhadap bank ini mulai dilakukan sejak Departemen Keuangan dan BI meminta persetujuan DPR agar bank ini di-bail-out. Pada November 2008, DPR menyetujui agar pemerintah memberi bailout bank ini senilai Rp 2 triliun, karena dana nasabah sebesar Rp 1,4 triliun ludes diborong Komisaris Utama yang memiliki sekuritas Antaboga Delta Sekuritas.
Di luar dugaan memang pemerintah mem-bail-out bank ini sebesar Rp 6,7 triliun, yang memunculkan gelombang protes dari berbagai pihak termasuk DPR RI. Adapun alasan yang dikemukakan pemerintah dan BI di balik bailout ke Century adalah untuk menjaga likuiditas, dan virus krisis akan menyebar ke sendi-sendi perekonomian bangsa. Tulisan ini tidak hendak membahas seputar risiko sistemik yang akan terjadi jika bank ini tidak di-bail-out. Tulisan ini mencoba memahami kontroversi yang terjadi saat ini, karena urusan sistemik atau tidak, publik sedang menanti audit investigatif BPK.
Ada alasan kenapa penulis tidak membahas dampak sistemik tersebut. Saya mencoba melihat bahwa kontroversi yang terjadi akibat minimnya informasi yang didapat publik tentang bank tersebut. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa hal itu terjadi?
Asimetri informasi
Secara jujur kita harus memberikan apresiasi kepada pihak-pihak yang membongkar kebobrokan manajemen otoritas moneter dan pemerintah atas bailout ke Century. Bailout yang tidak transparan menimbulkan moral hazard. Moral hazard berarti pemerintah hanya mem-bail-out dana nasabah-nasabah tertentu yang memiliki kepentingan pribadi dengan pemerintah. Publik tentu menunggu dan berharap kasus ini diselesaikan secara tuntas, karena merugikan negara sebesar Rp 5 triliun.
Namun, kita juga perlu jujur bahwa informasi yang didapat publik tentang kasus Bank Century terpotong-potong dan tidak lengkap. Ketidaklengkapan informasi inilah yang kita sebut asimetri informasi. Asimetri informasi artinya akses publik untuk mendapatkan informasi seputar rasio-rasio dan neraca buku bank ini hampir minim. Minimnya informasi yang kita terima menyebabkan pencarian fakta tentang kasus ini sangat sulit dibuktikan. Saat ini kita hanya mengumpulkan cerita-cerita atau penggalan-penggalan pernyataan dari narasumber yang tak mengetahui kasus ini.
Jika pun ada deposan-deposan besar, seperti Boedi Sampoerna yang tersangkut di sana dan ternyata ada pihak-pihak tertentu yang sudah mengetahui kontrak politik antara otoritas moneter dan pemerintah, kenapa tidak dari awal membongkar kejahatan tersebut? Lalu, bagaimana kita dapat mengakses informasi ke sana. Risiko minimnya informasi membuat publik kesulitan membuktikan kebenaran siapa-siapa deposan yang di-bail-out. Saat ini publik hanya menangkap serpihan-serpihan dan potongan-potongan fakta yang probabilitas kebenarannya sangat kecil. Lalu, mengapa informasi yang disebarkan ke publik setengah-setengah?
Jawabannya tidak lain karena asimetri kekuasaan. Asimetri kekuasaan berarti hubungan yang tidak sejajar antara kekuasaan dan rakyat. Kekuasaan selalu berada pada pihak pebisnis atau deposan-deposan besar karena, tanpa uang, kekuasaan tidak dapat berjalan mulus. Dengan itu, kerja sama antara aparat kekuasaan dan pebisnis menjadi musuh permanen republik ini sejak zaman Orde Baru.
Publik pasti sudah mengetahui bahwa para pelaku bisnis kerap menampar jantung hati demokrasi. Demokrasi, yang sedianya menjadi urusan publik, berubah menjadi urusan privat atau tempat sembunyi mafia bisnis dan aparat pemerintah yang menggunakan jabatan untuk kepentingan bisnis. Barangkali ada hikmahnya jika kita mengambil pemikiran filsuf Jerman yang hidup pada rezim Hitler, Hanna Arendt. Arendt mengatakan, dominasi urusan privat (kekuasaan ekonomi) dalam politik menimbulkan kolonisasi ruang publik. Ruang publik merupakan ruang di mana warga negara berkomunikasi membahas persoalan publik secara bersama-sama.
Arendt memang menyuling kembali konsep Aristoteles, yang membedakan ekonomi, urusan distribusi dalam ruang privat atau keluarga. Arendt pun membuat pemisahan urusan ekonomi ke dalam kategori “yang privat”, urusan pribadi, rumah tangga. Adapun “yang politis” adalah ruang publik, karena di ruang publik rakyat saling berkomunikasi untuk membicarakan kepentingan umum. Ruang politis bagi Arendt adalah ruang penampakan di mana tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada kesenjangan informasi, tidak ada yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Ruang politis adalah tempat rakyat berkomunikasi satu sama lain secara bebas dan adil.
Mencampuradukkan urusan privat ke ruang publik menimbulkan kolonisasi ruang publik oleh yang privat. Ketika yang privat masuk ke dunia publik, ia akan merusak seluruh tatanan politik yang telah terbangun, dan komunikasi politik menjadi mandek. Secara singkat dapat dikatakan asimetri kekuasaan akan mengakibatkan asimetri informasi. Kekuasaan menjadi tidak transparan. Ketidaktransparanan menimbulkan kesulitan untuk mengusut tuntas kompromi politik dan deal gelap yang dilakukan otoritas moneter dan pemerintah. Bagaimana langkah selanjutnya untuk tidak membiarkan kejahatan negara berlarut-larut?
Kesadaran Politik
Kesadaran politik tentu mutlak perlu ke depan. Rakyat tentu perlu bertanya, kenapa tiba-tiba JK dan beberapa partai di parlemen sangat getol membongkar kasus ini. Bukankah sebentar lagi akan terjadi perebutan posisi Ketua DPR dan MPR dan bersambung ke pemilihan komposisi para menteri periode 2009-2014 mendatang?
Mudah-mudahan publik tidak terkecoh dan tertipu oleh permainan kekuasaan, karena kerap kali kita membaca politik secara lugu dan polos. Membaca politik republik siluman ini harus dibaca secara bijaksana, karena hari ini para politikus berkata bak nabi, besok mereka akan menjadi penjilat kekuasaan. Rakyat perlu menyadari bahwa pada awal mula kasus ini kelihatan datar dan nyaris tak tersentuh kontrol parlemen. Namun, belakangan santer terdengar beberapa pihak sangat getol membongkar semua kebobrokan di balik kasus ini.
Dengan melihat kenyataan itu, penting bagi kita untuk membaca kontroversi ini dari kacamata kekuasaan. Barangkali ada benarnya bahwa, di level elite, sebenarnya ada geng dan kubu-kubuan. JK, misalnya, pada masa pemerintah sebelumnya menjadi pemegang kendali kebijakan ekonomi kita. Namun, dengan terpilihnya Boediono sebagai wakil presiden, tentu pengendali kebijakan ekonomi akan berubah dengan sendirinya. Yang hendak dikatakan adalah bahwa, sebagai bangsa (state), kita belum normal. Sehingga, sebelum kita membereskan kasus-kasus besar, kita harus membereskan state dulu. Tanpa menyelesaikan perkara itu, masalah yang datang silih-berganti mustahil dapat diselesaikan secara tuntas.
Tuntasnya penyelesaian persoalan di negeri ini sangat bergantung pada kejujuran dan keberpihakan pemerintah kepada seluruh rakyat. Sebagaimana kita melihat bahwa rakyat sekarang sudah pandai mengemas informasi, dan itu menjadi berkah bagi kemajuan berdemokrasi ke depan. Tinggal sekarang tugas pemerintah adalah menyajikan informasi penting berkaitan dengan kepentingan umum ke publik secara merata, sehingga mekanisme kontrol berjalan efektif dan rakyat dapat mengetahui apa yang dilakukan pemerintah dan bagaimana pemerintah mengambil kebijakan publik.
Ferdy Hasiman, Alumnus STF Driyarkara, Jakarta, dan Penekun Masalah Neoliberalisme
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 12 September 2009