Panggung Teater Hukum

Oleh: Yasraf Amir Piliang

AKHIR-akhir ini dunia hukum menjelma bagai “panggung teater”, mementaskan rangkaian kisah “ironi hukum”.

Kepada publik, panggung itu menyajikan berbagai episode kisah hukum yang dinarasikan melalui aneka citra media: “episode” Antasari Azhar, “episode” Wiliardi Wizard, “episode” Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, terakhir “episode” Susno Duadji.

Tema “kisah” ini bernuansa “ironi” karena berbagai karakter yang menjadi “pesakitan” dalam berbagai episode cerita hukum itu adalah “insan hukum” itu sendiri, khususnya tokoh-tokoh dari Mabes Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Maka, wajar, di mata publik rangkaian cerita hukum ini bagai kiah perang kolosal Pandawa Lima, di mana saudara-saudara sepupu mereka yang cemburu—para Kurawa—melakukan intrik-intrik untuk menjatuhkan para Pandawa yang perkasa.

Ironi Hukum

Michel Foucault, dalam Power/Knowledge (1981), mengatakan, setiap negara-bangsa mempunyai “rezim kebenaran”, yaitu segala wacana yang diterima dan difungsikan sebagai “benar”; mekanisme dan contoh-contoh yang memampukan orang membedakan yang benar dan salah. Dalam masyarakat kita, kebenaran “diproduksi” oleh berbagai lembaga negara (kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan komisi semacam KPK), berdasarkan metode dan cara kerja “ilmiah”.

Lembaga-lembaga itu bekerja secara sinergis, mengungkap kebenaran aneka peristiwa hukum (perampokan, pembunuhan, korupsi). Namun, dalam negara-bangsa hidup pula “politik kebenaran”, yang dapat mengubah wacana hukum menjadi medan persaingan atau konflik kepentingan untuk “menguasai” rezim kebenaran, dengan menggunakan segala kekuasaan dan otoritas yang dimiliki. Itulah kesan umum publik terhadap lembaga Mabes Polri dan KPK.

Dua lembaga ini terkesan lebih disibukkan oleh aneka upaya sistematis—dengan mengerahkan segala kapasitas—untuk menunjukkan “kebenaran diri sendiri”, sebagai lembaga yang diakui sah. “Rezim kebenaran” yang seharusnya diarahkan pada obyek-objek hukum eksternal kini berbalik ke arah kondisi internal, yang digunakan sebagai cara “legitimasi diri sendiri”. Kesan semacam ini sulit dihindarkan karena menonjolnya sifat-sifat “artifisialitas” dari proses penangkapan para tokoh yang ada.

Bila masalah “kebenaran” berbalik menjadi masalah internal lembaga hukum, yang ditemukan adalah “ironi hukum”. John Evan Seery dalam Political Return (1990) menjelaskan, ironi sebagai kondisi, di mana ruang-ruang kehidupan politik dan hukum hadir dalam bentuk kontradiksi, pertentangan, disparitas, inkonsistensi, inkompatibilitas, dan paradoks, yang menggiring pada dualisme dalam tindakan, sikap, dan cara berpikir.

Ironi tindakan diikuti “ironi bahasa”, yaitu saat bahasa dimanipulasi sebagai jargon-jargon, yang menciptakan absurditas makna. Kata-kata terputus dari realitas. Aneka ungkapan “dugaan suap”, “dugaan pemerasan”, “penyalahgunaan wewenang”, “kekosongan jabatan”, “kepentingan memaksa”, “mendesaknya peraturan pemerintah”, harus dilihat sebagai kesatuan narasi, yang seakan-akan secara logis melukiskan “totalitas kebenaran”. Padahal, di baliknya masih ada enigma atau misteri tak terungkap.

Fantasmagoria Hukum

Bila tindakan dan bahasa digunakan dalam wacana hukum bukan untuk menyatakan kebenaran realitas, tetapi sebagai cara legitimasi “kebenaran diri sendiri”, dunia hukum memasuki apa yang dikatakan George Bataille dalam Visions of Excess (1989) sebagai “ironi yang memarodi diri sendiri”. Inilah tindakan dan bahasa (individu, kelompok sosial, institusi) yang mengejek dan mempermainkan dirinya sendiri.

Lembaga hukum yang seharusnya mengungkap “kebenaran” obyek-obyek hukum eksternal kini lebih sibuk mendesain tindakan dan kata-kata, sebagai cara membangun “citra” dan “legitimasi diri”. Kebenaran kini dikonstruksi di dalam tanda-tanda. Sistem hukum tak lagi berfungsi sebagai wahana untuk memproduksi keadilan dan kebenaran, tetapi menjelma menjadi sebuah medan “pertarungan simbol” di antara elite-elite penegak hukum itu sendiri, dengan publik sebagai penontonnya.

Ketika tanda-tanda ditampilkan dengan cara tertentu, sambil menyembunyikan “aneka kebenaran lain” di baliknya, tanda itu berubah menjadi phantasma, seperti dikatakan Plato: “tanda yang menyimpangkan kebenaran”. Saat tanda-tanda itu tampil dalam serial atau berbagai episode, yang didapati adalah “rangkaian penyimpangan tanda”, yang menyembunyikan secara kolosal di hadapan publik “kebenaran hakiki”, inilah fantasmagoria.

Walter Truett Anderson dalam Reality Isn’t What It Used to Be (1990) menyebut produk kemasan realitas macam ini sebagai “peristiwa palsu”. Inilah narasi peristiwa yang didesain seperti happening art: yang tak pernah alami, tetapi berdasar desain tertentu; yang diciptakan untuk diberitakan atau ditayangkan; yang tampil dalam relasi yang ambigu dengan realitas yang sebenarnya sehingga membuka ruang interpretasi terbuka; dan yang biasanya menjadi bagian “skenario” untuk kepentingan tertentu.

Bila ruang-ruang hukum menjelma menjadi medan permainan tanda dan pertarungan simbol di antara elite-elite hukum sendiri; bila di dalamnya bekerja “mesin-mesin” artifisialitas, kepalsuan, dan kesemuan; dan bila di dalamnya digunakan teknik-teknik penyamaran, penopengan, dan kamuflase simbolik, itu pertanda “kebenaran sejati” akan kian menjauh dari tubuh bangsa ini. Dan, yang hadir di hadapan kita selamanya adalah “kebenaran-kebenaran gadungan” alias palsu.

Yasraf Amir Piliang, Direktur YAP Institute Pemikir Forum Studi Kebudayaan FSRD-Institut Teknologi Bandung

Sumber: Kompas, Sabtu, 3 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts