Legislatif Minus Tenggang Rasa

Oleh: Toto Suparto

KATA orang, kita paham bermasyarakat. Leluhur kita menanamkan kaidah harmonisasi bermasyarakat.

Namun, hari-hari ini pemahaman itu mulai diragukan. Sebab, kian banyak yang beranggapan masyarakat adalah sekadar jumlah total individu. Ini tentu kacau karena masyarakat macam ini tak lebih dari gerombolan orang dengan kepentingan masing-masing, sementara kepentingan bersama terabaikan.

Kata Emile Durkheim, masyarakat merupakan sistem yang dibentuk oleh bersatunya individu-individu sehingga melahirkan karakteristik sendiri. Setidaknya ada dua kata kunci: sistem dan bersatu. Jadi individu bersatu, jalin-menjalin membangun sistem demi kehidupan lebih baik. Kebersatuan itu diibaratkan tubuh, saat ada yang terluka bagian lain ikut merasakan.

Kini, tidak seperti tubuh itu lagi. Harmonisasinya tercederai. Saat ada saudara tertimpa duka, di antara kita tidak lagi ikut merasakan. Inilah kerapuhan tenggang rasa yang digerogoti individualisme. Lalu, “kita” digeser menjadi “kami” atau “aku”. Ini berbahaya, “Jika berangkat dari individu, kita tak akan bisa memahami apa yang terjadi dalam satu kelompok” (Beilharz, 1991).

Biaya pelantikan

Di manakah tenggang rasa itu jika anggaran untuk pelantikan dan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, dan DPRD mencapai Rp 75,61 miliar? Wajar bila Indonesia Budget Centre menilai anggaran tersebut terlalu besar, apalagi tiap pemerintah daerah menyiapkan biaya itu.

Di Palu, antipati masyarakat muncul saat mengetahui rencana pelantikan anggota DPRD Sulawesi Barat berbiaya Rp 400 juta. Di antara anggaran itu digunakan untuk menginapkan 35 anggota DPRD plus keluarga di hotel nonbintang selama tiga hari. Anggaran itu dinilai masyarakat menafikan situasi sosial dan karut-marut infrastruktur di provinsi itu (Kompas, 7/9).

Perlakuan terhadap legislatif itu jelas tanpa memperhitungkan tenggang rasa. Masyarakat Jawa menyebut tenggang rasa sebagai tepa salira, mempertimbangkan perbuatan dengan ukuran diri. Maksudnya saat akan berbuat sesuatu, sepatutnya kita mengukur, apakah perbuatan itu layak? Jika pandai mengukur, tenggang rasa membatasi seseorang untuk tidak bertindak sesuatu yang bakal membuat orang lain tersinggung, sakit hati, kecewa, celaka, dan akibat negatif lainnya.

Masyarakat kecewa karena legislatif menghamburkan uang negara saat sebagian warga butuh bantuan karena diguncang gempa. Para anggota legislatif bisa berdalih, anggaran dibuat oleh KPU dan Sekretariat DPR. Namun, jika mereka (legislatif) berdiam diri alias menerima anggaran itu, kita berkesimpulan, anggota Dewan telah kehilangan tenggang rasa. Dan ini baru pelantikan. Bagaimana jika bertugas kelak?

Sinyal buruk

Anggota legislatif umumnya berangkat dari politisi yang terlatih untuk mematikan sifat tenggang rasa. Jika terlalu mendaku kepada tenggang rasa, bisa-bisa gagal melaju ke Senayan. Ini berawal dari ketatnya persaingan merebut kekuasaan. Saat seseorang memburu kekuasaan, orang lain meniru. Hasrat yang sama terhadap satu obyek (kekuasaan) menimbulkan rivalitas. Semakin hasrat meningkat, kian ketat rivalitas, dan kondisi ini menuntun ke gerbang konflik. Di sinilah individualisme mengental sehingga tak ada istilah tenggang rasa dalam persaingan itu.

Ini sinyal buruk. Banalitas itu terbawa saat kekuasaan telah direngkuh. Saat legislatif minus tenggang rasa, maka kepentingan rakyat disisihkan. Rakyat yang semula dirangkul, pelan-pelan ditinggalkan karena tak lagi berkepentingan dengan suara rakyat. Legislator itu terperangkap egoisme etis. Pandangan egoisme etis mengajarkan tiap orang harus mengejar kepentingan sendiri secara eksklusif (Rachels, 2003). Kita bertindak tanpa mempunyai kewajiban moral, selain menjalankan apa yang paling baik bagi kita.

Memang, egoisme etis tak menutup kemungkinan seseorang bertenggang rasa kepada orang lain. Namun, tenggang rasa itu hanya karena kepentingannya bertautan dengan kepentingan orang lain. Lihat, sebelum pemilu, para politisi menunjukkan tenggang rasa kepada para korban bencana. Kini?

Gempa Tasikmalaya nyaris sepi dari kunjungan politisi karena mereka tak butuh lagi “panggung politik” di areal bencana. Pemilu sudah lewat, politisi tak butuh pencitraan. Bayangkan jika gempa itu terjadi sebelum pemilu, maka posko parpol segera berdiri, caleg berbondong-bondong mendatangi lokasi bencana, begitu pula para capres.

Karena itu, kita harus menyiapkan diri agar tidak kaget saat kelak menyaksikan (lagi) anggota DPR yang tenang-tenang menikmati tunjangan tinggi, uang mesin cuci, anggaran studi banding ke luar negeri, dan aneka kenikmatan lain yang diperoleh saat rakyat diterjang kesusahan. Optimisme ini didasari kerapuhan tenggang rasa saat mereka menikmati manisnya berkuasa.

Toto Suparto, Pengkaji Etika

Sumber: Kompas, Selasa, 15 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts