Oleh: A. Tony Prasetiantono
KONTROVERSI Bank Century telah melebar ke mana-mana, dan mulai merambah masuk ke ranah politik. Penyelamatan bank ini (selanjutnya disebut Century), dengan cara bailout sebesar Rp 6,7 triliun, dianggap hanya menguntungkan 1-2 deposan besar tertentu, yang disinyalir memiliki koneksi politik pada masa pemilu. Kisah Century pun kian dalam terseret menuju ke “teori konspirasi” (conspiracy theory), yang biasanya memang mengasyikkan diulas media massa.
Meski demikian, esensi polemiknya sebenarnya tetap saja bersumber pada pertanyaan, mengapa Century di-bailout pemerintah? Mengapa tidak ditutup saja? Padahal di Amerika Serikat, raksasa bank investasi Lehman Brothers pun bahkan ditutup tanpa ditolong pemerintah, meski berisiko sistemik. Mengapa Century perlu diselamatkan?
Risiko Sistemik
Dari perspektif ekonomi, esensi polemik terjadi pada pertanyaan, apakah Bank Century berisiko sistemik? Apa definisi systemic risk? Saya mencoba mendefinisikannya: risiko sistemik akan terjadi jika penutupan sebuah bank menimbulkan dampak berantai berupa kegagalan (default) bank-bank lain, sehingga menyebabkan kerusakan (damage) pada sistem sektor finansial, khususnya industri perbankan. Masalahnya kemudian, apakah kegagalan Century bisa menimbulkan daya tular dan efek kerusakan bagi sistem perbankan kita?
Pada titik ini, pendapat terbelah dua. Yang kontra terhadap bailout berargumentasi bahwa penutupan Century tidak menimbulkan efek menular, karena ini hanya “bank kecil”. Argumentasi sebaliknya dianut pihak yang pro terhadap bailout bahwa, meski Century termasuk bank kelas menengah ke bawah, tetap berpotensi sistemik karena ada cukup banyak bank yang memiliki ukuran (size) dan karakteristik yang mirip Century, sehingga sangat mungkin diserbu nasabah (rush).
Bagi saya, titik krusial sistemik atau tidaknya kasus Century tidak hanya ditentukan oleh size-nya, namun juga oleh faktor momentum atau timing saat dilakukannya bailout. Menutup Century pada saat situasi normal tentu saja akan beda efeknya jika penutupan dilakukan pada saat kritis. Saya punya ilustrasi berikut ini untuk menggambarkan bagaimana faktor timing memegang peran penting dalam kasus Century.
Analogi Ali vs Liston
Anda pernah menonton video tinju Muhammad Ali saat menjatuhkan Sonny Liston pada 1965? Ketika dulu teknologi video belum secanggih sekarang, sangat sulit orang pada waktu itu memahami bagaimana Ali dapat menjatuhkan Liston hanya dengan sekali pukulan “ringan” pada detik-detik awal pertandingan di ronde pertama. Baru belakangan ini—sesudah lebih dari 40 tahun kemudian, setelah teknologi video dapat membuat replay dari berbagai sudut—dapat diketahui bahwa pukulan Ali meski sebenarnya tidak terlalu keras, namun mengarah tepat ke rahang Liston, yang kuda-kudanya sedang goyah. Pukulan ini pun berefek fatal dan mematikan, sehingga Liston jatuh berdebam di kanvas.
Kasus Century analog dengan laga tinju Muhammad Ali tersebut. Century adalah bank dengan aset Rp 14,5 triliun pada situasi normal (sebelum kena rush). Memang bukan bank yang besar. Sebab, jika kita mendefinisikan bank besar adalah yang masuk “10 besar” nasional, asetnya di atas Rp 50 triliun. Bank terbesar saat ini adalah Bank Mandiri (Rp 330 triliun), sedangkan bank-bank swasta terbesar adalah BCA (Rp 250 triliun), serta Danamon dan CIMB Niaga (sekitar Rp 100 triliun).
Namun, apakah Century dengan aset Rp 14,5 triliun dan dana pihak ketiga (DPK) Rp 9 triliun bisa dianggap enteng, sehingga tidak bisa menularkan dampak negatif? Dampak tersebut berupa rush dan kegagalan membayar kewajiban-kewajiban yang berakibat damage pada bank-bank lain yang selevel. Soal inilah yang belum disepakati di kalangan pengamat. Ada yang masih yakin aset Rp 14,5 triliun tidak akan menimbulkan efek penularan. Tapi benarkah begitu? Dalam kasus penutupan Bank IFI memang dampak negatif dapat diisolasi. Tapi hal itu terjadi karena Bank IFI asetnya cuma Rp 600 miliar, atau sangat kecil untuk skala bank umum, dan bahkan mendekati skala Bank Perkreditan Rakyat. Wilayah kerja Bank IFI pun terbatas, sehingga dampak penularannya dapat diisolasi.
Menurut saya, Century amat berpotensi sistemik karena timing-nya, yakni 20 November 2008, sektor finansial masih dalam suasana yang amat tertekan, sebagai dampak kebangkrutan Lehman Brothers pada 15 September 2008. Hingga akhir 2008, perekonomian dunia tercekam. Dana asing di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia, berhamburan kembali (repatriasi) ke New York.
Cadangan devisa Bank Indonesia menurun sekitar US$ 7 miliar. Akibatnya, rupiah melemah ke level terendah 12 ribu per dolar Amerika Serikat. Waktu itu, hampir semua mata uang dunia melemah (depresiasi) terhadap dolar AS. Kecuali renminbi dan yen, yang justru menguat terhadap dolar AS, karena cadangan devisa Cina dan Jepang merupakan yang terbesar pertama dan kedua di dunia (waktu itu US$ 1,97 triliun dan US$ 1 triliun).
Dengan memahami setting kondisi perekonomian makro seperti itu, pilihan menyelamatkan Century menjadi logis. Momentumnya sangat tidak tepat untuk menutupnya. Seandainya saja penutupan Century dilakukan pada kondisi normal, pada periode sebelum Lehman Brothers bangkrut, pasti dampaknya akan lain.
Saya sependapat dengan hitung-hitungan BI bahwa jika Century ditutup pada November 2008, kerugiannya sekitar Rp 30 triliun. Penutupan Century memang akan menimbulkan efek berganda (multiplier effects). Kerugiannya tidak akan berhenti pada size Century sekitar Rp 14,5 triliun, tetapi juga akan menyebar ke bank-bank lain yang selevel dan memiliki hubungan hak dan kewajiban dengan Century. Jadi dampaknya bisa dua kali lipat, atau dampak multiplier-nya dua kali. Karena itu, estimasi angka kerugian Rp 30 triliun menjadi masuk akal.
Bagaimana dengan analogi bahwa pemerintah Amerika Serikat toh “berani” menutup Lehman Brothers? Lehman adalah bank investasi, sehingga dampak penutupannya tidak terlalu langsung berhubungan dengan nasabah retail sebagaimana bank umum (commercial bank). Lagi pula, sehabis Lehman Brothers tidak di-bailout, sebenarnya pemerintah Amerika juga menyesal karena dampaknya ke mana-mana.
Buktinya, pemerintah federal bahkan harus mem-bailout sektor riil, misalnya terhadap General Motors (GM). Padahal, kalau saja Lehman diselamatkan, barangkali duit untuk bailout GM tidak perlu dikeluarkan. Dengan kata lain, pemerintah AS harus membayar ongkos mahal atas keputusannya membangkrutkan Lehman. Bahkan seluruh dunia ikut membayar ongkosnya.
Jadi, jika Century ditutup, itu bisa diibaratkan tinju Ali yang menghantam dagu Liston pada timing yang “tepat”, sehingga merobohkan Liston. Sistem sektor finansial kita bisa kolaps jika Century ditutup pada saat kecemasan krisis finansial global sedang memuncak. Momentum sedang tidak memihak kita untuk menutup Century pada November 2008.
Audit BPK
Meski demikian, saya juga menyadari bahwa semua analisis mengenai Century pasti didasarkan pada sejumlah asumsi. Inilah memang kerepotan ilmu ekonomi, yang analisisnya senantiasa sarat asumsi. Namun faktanya, industri perbankan kita sekarang dalam keadaan sehat. Bisa jadi kinerja baik dan stabilitas ini merupakan dampak yang dituai dari penyelamatan Century. Kalaupun ada problem, itu adalah sedikit peningkatan NPL (non-performing loan) sebagai imbas krisis global. Juga ada prahara moral hazard dalam kasus Century.
Soal angka bailout yang terus bergerak meningkat, ini sebenarnya hal yang lazim karena faktor subsequent event. Angka bailout akan bergerak sesuai dengan perkembangan. Di AS, bailout juga terus bergerak, karena di kemudian hari ditemukan kerusakan yang lebih besar daripada prediksi semula.
Saya berharap Century lekas mendapat kepastian dari hasil audit BPK nanti. Riuh-rendah polemik hanya akan menyebabkan bank ini kian terpuruk. Ini akan berdampak negatif terhadap recovery rate jika kelak pemerintah menjualnya kembali dalam 3-5 tahun mendatang.*
A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
Sumber: Koran Tempo, Senin, 14 September 2009