Viva Koruptor!

Oleh: Nizar Suhendra

DITERSANGKAKANNYA dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, oleh Polisi adalah pelecehan terhadap akal sehat dan hati nurani yang kasatmata. Betapa tidak, Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka oleh Polisi atas tuduhan penyalahgunaan wewenang dalam kaitan dengan penetapan keputusan bepergian ke luar negeri (cekal) Joko S. Tjandra dan penetapan keputusan pelarangan bepergian ke luar negeri Anggoro Widjaja. Adapun publik paham betul bahwa status Joko Chandra saat ini buron dalam kasus korupsi Bank Bali, sedangkan Anggoro buron kasus korupsi SKRT di Departemen Kehutanan. Singkat kata, Bibit dan Chandra dijadikan tersangka oleh Polisi karena mencekal koruptor yang buron, sungguh suatu realitas yang sangat mengusik hati nurani.

Entah iblis mana yang telah merasuk dalam benak Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Republik Indonesia Susno Duadji, yang bertanggung jawab langsung dalam proses penentuan tersangka kedua pimpinan KPK pada Selasa 15 September 2009. Polisi, yang seharusnya mampu menegakkan kebenaran dan melindungi rakyat dari penjarahan tangan-tangan koruptor, malah beralih peran menjadi pembela para koruptor.

Seluruh elemen bangsa, dari mahasiswa, LSM, akademisi, hingga pengamat kepolisian sekalipun dan legislator, secara lantang menyuarakan betapa gegabahnya Kabareskrim Susno Duadji dalam penanganan kasus ini. Penetapan status tersangka atas pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, dinilai mengada-ada dan sarat dengan konflik kepentingan yang bermuatan politis. Setidaknya ada lima alasan mengapa keputusan Kabareskrim Susno Duadji ini dinilai tidak profesional.

Pertama, tuduhan yang lemah. Pasal yang digunakan oleh Polisi dalam menentukan Bibit dan Chandra adalah pasal penyalahgunaan wewenang. Sedangkan apa yang dilakukan KPK dalam mencekal seorang buron tersangka kasus korupsi dijamin dan dilindungi oleh konstitusi.

Kedua, tidak cukup bukti. Penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka tidak memiliki bukti yang kuat. Bukti yang digunakan sebatas testimoni dari Antasari Azhar. Penjelasan Pasal 185 ayat 1 KUHAP secara tegas menyatakan bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari pihak lain (testimonium de audito) tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Polisi telah mempertaruhkan dirinya sendiri dengan hanya berdasarkan pada testimoni Antasari untuk menetapkan status tersangka terhadap Bibit dan Chandra.

Ketiga, proses yang terburu-buru. Terkait dengan bukti awal yang lemah, Polisi seharusnya terlebih dulu melakukan pendalaman bukti awal, melakukan studi yang mendalam tentang tugas dan wewenang KPK. Dari segi kepatutan, kepantasan, dan keperluan, Polisi tidak pantas secara tergesa-gesa menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang karena telah mencekal koruptor. Proses penetapan tersangka oleh Kabareskrim yang terburu-buru dan terlihat sangat dipaksakan ini semakin menguatkan persepsi publik bahwa seperti ada usaha untuk melindungi kepentingan kotor segelintir oknum.

Keempat, di luar kewenangan. Polisi tidak memiliki kewenangan untuk mempersoalkan kewenangan KPK dalam pencekalan seorang buron kasus korupsi. Kalau memang pihak yang dicekal merasa keberatan, pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur yang benar, yaitu proses prapradilan atau melalui PTUN.

Kelima, adanya konflik kepentingan, sebagaimana publik ketahui bahwa Kabareskrim Susno Duadji diduga terlibat dalam kasus suap Bank Century. Hal ini dikuatkan oleh beredarnya informasi bahwa ada bukti kuat (rekaman percakapan) Susno Duadji yang tengah mengatur proses penyuapan.

Atas lima fakta di atas, jika Kabareskrim Susno Duadji tidak segera mencabut status tersangka dan menghentikan proses pemeriksaan serta penyidikan pimpinan KPK Bibit dan Chandra, sejatinya penyalahgunaan wewenang yang paling nyata telah ditunjukkan oleh Susno Duadji. Jika demikian kenyataannya, tindakan tegas terhadap penyalahgunaan wewenang oleh Susno Duadji ini harus segera diterapkan oleh pimpinan Kepolisian Republik Indonesia hingga kepala pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Amat disayangkan memang, hingga tulisan ini dibuat, tindakan nyata Presiden SBY tidak terlihat. Diamnya Presiden justru seperti memberikan restu kepada langkah ngawur yang telah dilakukan Kabareskrim Susno Duadji. Suatu indikasi yang buruk bagi jalannya pemerintahan di masa yang akan datang. Jika memang Presiden SBY masih memiliki komitmen kuat pada pemberantasan korupsi, diam saja tidak cukup! Jika diperlukan, Presiden dapat meminta Kapolri membentuk semacam tim independen yang bekerja ad hoc untuk menguji langkah-langkah Kabareskrim dalam menetapkan pimpinan KPK Bibit dan Chandra sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang. Jika langkah konkret semacam ini tidak dilakukan oleh Presiden SBY, jangan heran jika publik akan menyangka bahwa setidaknya Presiden telah melakukan proses pembiaran atas perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan bawahannya. Harga mahal yang harus dibayar oleh seorang SBY, masyarakat baik di dalam negeri maupun internasional sangat mungkin akan menilai bahwa SBY adalah "Godfather" dari proses penghancuran KPK.

Jika langkah ngawur Susno Duadji tidak dengan cepat dikoreksi, baik secara langsung oleh Presiden maupun teguran keras oleh lembaga legislatif, ini satu indikasi awal yang kuat bahwa potret suram Indonesia seperti sedang mulai terkuak kembali. Perilaku konspiratif yang destruktif dari pemegang mandat publik dipertontonkan secara gamblang kepada rakyat, persis seperti yang terjadi pada masa-masa sebelum reformasi, kekuasaan eksekutif begitu kuat mengangkangi dua unsur lainnya, yudikatif dan legislatif. Penegak hukum menjadi alat penekan untuk kepentingan penguasa, DPR menjadi stempel kebenaran terhadap apa saja yang dilakukan oleh sang penguasa.

Kasus Susno Duadji ini bisa dijadikan barometer mengenai apakah pemerintah SBY masih memberikan dukungan kepada penegakan demokrasi dan supremasi hukum atau tidak. Dapat dibayangkan, pemerintah SBY yang kedua kalinya, yang dalam hitungan hari akan segera berjalan, sejatinya memiliki lanskap politik yang hampir serupa dengan pada masa-masa sebelum reformasi. Bergabungnya partai-partai politik besar pada pemerintahan SBY berpotensi hilangnya kontrol legislatif terhadap eksekutif, karena lebih dari 70 persen kursi di DPR adalah anggota koalisi pendukung pemerintah SBY. Suatu kekuasaan yang tanpa kontrol akan mendorong lahirnya suatu pemerintahan yang represif dan koruptif, dan pada saat yang sama sesungguhnya modal dasar demokrasi telah ikut terkubur. Persis sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, di mana kekuasaan eksekutif yang begitu kuat dan lemahnya fungsi yudikatif serta legislatif telah memberangus kehidupan demokrasi dan menyuburkan praktek korupsi.

Tidak berlebihan jika kasus Susno Duadji ini dijadikan alat ukur bagi pemerintah SBY pada periode yang kedua, apakah penegakan hukum dan demokrasi benar menjadi sendi kepemimpinan pemerintahan yang akan datang atau hanya pemanis dalam orasi-orasi kampanye. Agar tuduhan lahirnya Neo-Orba tidak melekat pada pemerintahan yang pada Oktober 2009 akan segera dilantik, SBY tidak boleh diam. Keberpihakannya kepada kebenaran dan penegakan hukum yang seadil-adilnya harus ditunjukkan secara nyata, dengan memerintahkan pencabutan status tersangka pada pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, serta penghentian pemeriksaan dan penyidikan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam keputusan penetapan status cekal atas para koruptor. Jangan sampai rakyat berteriak lantang, "Selamat datang Neo-Orba, viva koruptor!".

Nizar Suhendra, Sekretaris Jenderal Masyarakat Transparansi Indonesia

Sumber: Koran Tempo, Jumat, 18 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts