Oleh: Triyono Lukmantoro
JIKA benar ada rekayasa proses kriminalisasi terhadap dua unsur pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, nasib KPK bagai makhluk yang diciptakan Victor Frankenstein dalam novel yang ditulis Mary Shelley (1797-1851).
Frankenstein adalah ilmuwan ambisius yang mempelajari bagaimana menciptakan kehidupan dan melahirkan makhluk yang menyerupai manusia. Makhluk ciptaannya lebih besar dari manusia dan amat kuat. Setelah Frankenstein bisa memberi kehidupan terhadap makhluk itu, ternyata tampangnya menjijikkan dan menebarkan ketakutan.
Meski dipandang ganas, monster itu baik hati karena sudi membantu sebuah keluarga petani. Monster itu sekadar menanyakan identitas diri dan siapa orangtua yang melahirkannya. Monster itu bisa diprogram untuk memenuhi agenda yang diinginkan Frankenstein. Namun, karena tidak lagi dikehendaki mengarungi kehidupannya sendiri, monster itu dilenyapkan dari muka bumi. Frankenstein layaknya dikerangkeng dalam ambisinya sendiri.
“Monster” KPK
Itulah yang terjadi saat kalangan elite politik menciptakan aneka makhluk yang mampu memberantas korupsi. Pada awalnya makhluk itu bertugas mengawasi kekayaan penyelenggara negara. Namun, karena tugas itu dirasakan kurang berbobot, makhluk itu ditingkatkan kewenangannya.
Kemampuan menyadap, menahan, dan menuntut diberikan kepada makhluk itu. Karena semua kemampuan itu justru dipandang mengganggu para penciptanya, berbagai upaya untuk melenyapkannya secara sistematis pun dijalankan secara terbuka. Itulah KPK saat dilihat sebagai monster yang menjijikkan dan sedemikian ganas.
Monster itu amat tahu bahwa tugas utamanya adalah memberangus korupsi dari negeri yang dikendalikan para penguasa berwatak pencuri. Namun, ternyata tugas mulia itu tidak dikehendaki para penciptanya. Para penguasa politik yang bermain sebagai Frankenstein itu sekadar menginginkan bahwa sang monster diciptakan dari proses-proses kimiawi dan sisa-sisa tubuh manusia yang membusuk.
Artinya adalah monster itu dihadirkan sebagai manusia tiruan yang dipajang pada etalase kekuasaan. Sebagai penghuni etalase, sosok itu hanya diinginkan untuk memperindah kekuasaan sehingga populer dan mendapatkan decak kekaguman dari rakyat. Monster itu bukan bertugas untuk memangsa para penciptanya sendiri. Namun, apa yang terjadi, ternyata makhluk antikorupsi itu menjebol dinding etalase yang membatasinya dan mulai memburu kalangan penciptanya yang berbuat korupsi.
Menghabisi Kehidupan
Berbagai metode untuk menghabisi kehidupan KPK membuktikan absurditas kekuasaan sedang merajalela. Seperti layaknya Frankenstein yang sangat berambisi menciptakan makhluk yang mampu melebihi manusia biasa, tetapi makhluk itu justru tidak disenangi.
Absurditas dalam domain persoalan ini tidak sebatas sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, tetapi juga sesuatu yang telah menjauhi nurani manusia kebanyakan. Bagaimana mungkin makhluk yang dikehendaki kelahirannya oleh penguasa justru hendak dimatikan sendiri.
Absurditas, ungkap Albert Camus (1913-1960), adalah perasaan keterasingan. Perasaan ini muncul di antara dunia dan tuntutan yang harus dibuat berdasarkan pada perhitungan-perhitungan rasional.
Absurditas makin besar karena ada konfrontasi antara kebutuhan manusia dan ketidakbernalaran yang tersembunyi. Untuk mencari jawabannya jelas sangat sulit ditemukan. Suatu jawaban yang benar-benar masuk akal justru disangkal. Jawaban-jawaban lain terus diburu, tetapi berujung pada keadaan yang semakin tidak menentu.
Melenyapkan KPK
Ketika para elite kekuasaan berupaya keras melenyapkan KPK, ada berbagai mekanisme yang ditempuh, dari mekanisme politik yang ditangani wakil rakyat hingga strategi hukum yang dikendalikan kepolisian dan kejaksaan. Semakin cara politik dan hukum digulirkan, semakin pula ketidakmasukakalan mudah dirasakan rakyat kebanyakan.
Padahal, absurditas kekuasaan itu amat mudah dikuak persoalannya. Jika korupsi dianggap sebagai kejahatan yang melawan kemanusiaan dan sulit diberantas dengan teknik-teknik hukum yang biasa, jawabannya adalah menggulirkan regulasi yang luar biasa. Dengan demikian, jawaban dari semua itu adalah mengukuhkan dan membesarkan KPK, bukan menjadikan KPK sekadar sebagai makhluk pemanis etalase kekuasaan.
Para elite politik beraksi bagai menggantikan posisi Tuhan, yakni menciptakan makhluk yang diidamkannya sendiri, tetapi saat tidak dikehendaki kehadirannya, sang makhluk lalu dimatikan.
Pada ranah politik, fenomena itu dianggap sebagai hal lumrah. Namun, dalam tataran etika, perilaku itu pantas dinamakan sebagai hubris, yakni aksi kesombongan, arogansi, yang berupaya merendahkan dan menjadikan korbannya dihinggapi perasaan malu. Bukankah tindakan itu yang dijalankan kepada dua unsur pimpinan KPK dengan menjadikan mereka sebagai tersangka?
Melawan Kehendak Umum
Sisi lain yang amat buruk dari para penguasa yang dihinggapi hubris adalah tindakan-tindakan mereka amat menentang kehendak umum. Jika dalam demokrasi ada aksioma yang menyatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, tidakkah elite kekuasaan yang hendak merontokkan kehidupan KPK bertentangan dengan suara rakyat yang berarti menentang suara umum?
Para elite kekuasaan yang membunuh eksistensi KPK sama dengan menjatuhkan para protagonis. Sebab, bagaimanapun, posisi KPK dalam panggung politik pemberantasan korupsi ialah sebagai pihak yang memegang peran protagonis bagi rakyat, sebaliknya para koruptor berkedudukan sebagai antagonis yang melukai hati rakyat.
Tidak berlebihan jika dikemukakan, KPK telah mendapatkan simpati rakyat. Kehadirannya bagai Prometheus yang mencuri api dari para dewa untuk memberikan pengetahuan kepada rakyat. Namun, para dewa tidak berkenan dengan perilaku Prometheus, lalu dihukum oleh Zus dengan mengikatnya pada sebongkah batu. Seekor elang besar memakan hati Prometheus. Saat hati itu pulih lagi, elang besar itu menyantapnya pada hari berikut. Perumpamaan itulah yang sedang terjadi pada KPK.
Ini semua terjadi karena KPK telah dipandang sebagai monster menjijikkan dan menakutkan sehingga para Frankenstein kekuasaan berusaha membunuhnya agar tak menjadi santapan monster ciptaannya sendiri.
Triyono Lukmantoro, Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
Sumber: Kompas, Rabu, 28 Oktober 2009