Pertaruhan Pelaksana Tugas Komisioner KPK

Oleh: Zainal Arifin Mochtar

PARA pelaksana tugas komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dilantik (Senin, 5/10). Dengan berbagai catatan di sekitar penunjukan mereka, ketiganya telah diperintahkan untuk segera bekerja demi memperbaiki kinerja KPK. Harapannya adalah KPK kembali bisa bekerja. Karena itu, pelaksana tugas sementara harus segera menghela cambuk agar roda pemberantasan korupsi kembali bergerak.

Namun, harus diingat, gerbong pemberantasan korupsi ini akan bergerak hanya jika ada tiga kekuatan di tubuh para pelaksana tugas komisioner KPK ini. Pertama, kekuatan yuridis; kedua, adanya kemanfaatan posisi mereka; dan ketiga, penerimaan dan dukungan masyarakat.

Secara yuridis, hingga saat ini Presiden masih “gagap” untuk menjelaskan kepentingan memaksa yang menjadi dasar dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu ini sedikit banyak telah merusak bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi kita sedang berada pada proses memberikan tekanan pemilihan anggota komisioner lembaga-lembaga negara independen pada representasi rakyat, yakni termanifestasikan ke dalam tubuh DPR. Makanya, bahasa UU KPK adalah dipilih oleh DPR berdasarkan usulan Presiden (Pasal 30 Ayat 1). Perppu ini telah menerabas itu. Presidenlah yang menentukan walau sedikit dengan modifikasi sentuhan Tim 5. Namun, karena tetap berada di satu kamar, yakni eksekutif, tetap saja memberikan gambaran “penunjukan” yang menegasikan unsur pemilihan.

Cacat Yuridis

Hal lain adalah alasan kegentingan memaksa yang sama sekali tidak cukup. Kekosongan pimpinan tidak terjadi. Dua komisioner masih cukup untuk mewakili lembaga KPK sehingga penolakan atas perppu adalah hal yang wajar, termasuk produk yang menjadi “anak turunan” perppu. Logika lurus ketika menolak perppu adalah menolak semua produk yang dihasilkan perppu.

Tim 5 tentu harus tertolak, termasuk tiga pelaksana tugas yang ditunjuk oleh Tim 5. Cacat yuridis ini tentu mengakibatkan kesulitan besar bagi KPK untuk bergerak. Jika logika penunjukan pelaksana tugas KPK melalui perppu adalah untuk menghilangkan kemungkinan diperkarakannya putusan KPK yang hanya diambil oleh dua komisioner, maka dengan tiga pelaksana tugas yang cacat yuridis, akan tetap membuka kemungkinan untuk memerkarakannya secara hukum. Ini berarti perppu kemudian kehilangan makna dalam upaya menghilangkan kemungkinan memerkarakan putusan KPK yang hanya diambil oleh dua orang.

Akan tetapi, kekurangan kekuatan yuridis akan “sedikit” terobati apabila tiga pelaksana tugas memberikan kemanfaatan. Dengan ketertolakan secara yuridis, pertaruhan terbesar berada di wilayah kemanfaatan tiga pelaksana tugas ini. Kemanfaatan ini hanya bisa diperoleh ketika tiga pelaksana tugas komisioner ini memang bekerja untuk melakukan pemberantasan korupsi.

Logikanya sederhana. Jika perppu dikeluarkan karena KPK dianggap tidak mampu lagi bekerja oleh Presiden, ketika pelaksana tugas masuk, sangat layak ditunggu apakah pemberantasan korupsi akan kembali bekerja.

Robohnya Kepercayaan

Jika memang pemberantasan korupsi menjadi lebih garang, bisa dianggap perppu yang cacat yuridis tetap memberikan kemanfaatan. Kegarangan yang bisa diukur dengan kemampuan untuk mengejar perkara-perkara yang bertendensi politik tinggi dan dicurigai menjadi pemicu serangan terhadap KPK. Jika perkara-perkara korupsi ini masuk ke “jalan tol”, kemanfaatannya memang nyata.

Yang paling ditakutkan tentu adalah ketika secara yuridis cacat, secara kemanfaatan pun mandul. Pemberantasan korupsi tidak menjadi lebih garang atau hanya berjalan di tempat. Ini seketika akan meruntuhkan hampir semua modal pemberantasan korupsi yang seharusnya dimiliki negeri ini.

Kepercayaan kepada tiga orang terpilih dan lima anggota Tim 5 juga akan menurun. Mereka bisa saja akan dikategorikan ikut dalam persekongkolan, serta upaya Presiden untuk menggembosi KPK. Orang bisa saja semakin yakin bahwa penunjukan tiga pelaksana tugas hanyalah bagian dari “penjinakan” KPK yang dilakukan oleh Presiden. Ujungnya, orang akan luntur kepercayaannya kepada Presiden. Dengan menunjuk tiga orang yang mandul, berarti kemungkinan besar itikad Presiden untuk melumpuhkan KPK memang ada.

Pada gilirannya kepercayaan atas KPK yang independen menjadi hilang. Kepercayaan yang buruk terhadap KPK serta-merta juga dapat tertular ke Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menjadi tandemnya. Orang tidak akan percaya lagi dengan kualitas penyidikan dan penuntutan oleh KPK sehingga ketika Pengadilan Tipikor memberikan vonis, akan besar peluang orang mencibir karena menganggap itu bagian dari proses yang terjinakkan. Ini berpotensi menjadi pertanda robohnya kepercayaan kepada sistem pemberantasan korupsi yang sedang kita bangun.

Jadi, kemanfaatan adalah pertaruhan sesungguhnya. Cacat yuridis boleh jadi akan “termaafkan” dengan kemanfaatan yang besar. Namun, tanpa kemanfaatan, pertaruhannya adalah nasib pemberantasan korupsi karena publik tak lagi menerimanya sebagai sebuah sistem pemberantasan korupsi yang diharapkan.

Memang, pertaruhan yang sangat mahal. Semoga, hal ini dicamkan dan diingat betul oleh Presiden, Tim 5, dan para pelaksana tugas komisioner KPK tunjukan Presiden.

Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta; Direktur Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 12 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts