Oleh: Zainal Arifin Mochtar
Kehidupan adalah perjuangan melawan lupa…
(Milan Kundera)
JIKA lembaran sejarah kehidupan lembaga pemberantas korupsi (maupun yang serupa dengannya) dibuka, ada fakta menarik perihal perjuangannya bertahan hidup. Lembaga-lembaga pemberantas korupsi cenderung berada pada langgam kehidupan yang sama: memiliki ketergantungan tinggi pada dasar kewenangan yang kuat dan iktikad (will) pelaku kekuasaan negara untuk melindungi. Ada kebutuhan akan platform yang kuat sebagai pijakan berdiri dan keharusan adanya payung kokoh yang melindungi. Tanpa keduanya, lembaga pemberantas korupsi dengan mudah terbunuh. Hingga saat ini, belum ada satu rezim pun yang menyematkan dua hal itu pada lembaga pemberantas korupsi.
Mulai Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), Operasi Budhi, Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar), Tim Pemberantas Korupsi (TPK), Komite Empat, Pangkopkamtib dengan Operasi Tertib (Opstib), Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), hingga Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), semuanya hidup lalu mati secara menyedihkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah diterpa dua hal yang sama: dasar kewenangan yang mulai dipersoalkan dan, pada saat yang sama, tidak satu pun pelaku negara memberikan pembelaan atas KPK.
Saat ini tengah ada upaya untuk menghajar kewenangan dan daya jelajah KPK. Sejujurnya, jika melongok pada kemampuan KPK untuk menegakkan hukum antikorupsi, peran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak kalah kecilnya. KPK dan Pengadilan Tipikor adalah tandem yang cukup menakutkan, sekaligus memiliki hubungan saling tergantung. Menghajar KPK tentu saja bisa dengan membuat Pengadilan Tipikor cacat, baik karena substansi yang terbajak maupun karena tidak kunjung mengada hingga 19 Desember 2009.
Bahkan di RUU Pengadilan Tipikor ada semangat ”berlebih” untuk membunuh KPK, yakni dengan menghilangkan kewenangan penuntutan oleh KPK. Memang, biasanya penuntutan dilakukan oleh jaksa, tapi sebagai bagian dari ”ijtihad” luar biasa untuk memberantas kejahatan luar biasa (extraordinary crime), KPK diberi kewenangan ini.
Pelaksanaan kewenangan juga sudah mulai diganggu dengan mempermasalahkan tindakan atau langkah pelaksanaan kewenangan oleh KPK. Dua orang komisioner ditetapkan menjadi tersangka dalam rangka pelaksanaan kewenangan. Adakah ini berkaitan dengan pelanggaran pelaksanaan atau suap-menyuap, yang terang semua ini tanpa menunjukkan bukti.
Dalam penetapan tersangka ini, kepolisian dalam skop tertentu telah bertindak seperti kepolisian di zaman Orde Baru. Penetapan tersangka dan penangkapan dikedepankan, kesalahan menyusul kemudian. Polisi seakan-akan menganggap dirinya telah sah menetapkan tersangka ketika mampu menyebut pasal yang disangkakan, meski tidak mampu dan gagap untuk menjelaskan terpenuhi atau tidaknya unsur perbuatan pelanggaran pada pasal yang disangkakan.
Dalam serangan mematikan atas pelaksanaan kewenangan dan dasar kewenangan, pemegang kekuasaan negara malah cenderung diam dan berpangku tangan, bahkan tak meminta kepolisian berhati-hati dan profesional dengan pemaparan bukti otentik kesalahan komisioner KPK.
Anehnya, Presiden lebih memilih mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk segera menunjuk pelaksana tugas pimpinan KPK karena pimpinan KPK tinggal dua orang. Perpu ini sedari mula bermasalah karena menjadi pembuka kotak Pandora yang berpotensi memunculkan kejahatan lain.
Pertama, perpu ini telah menjadi pembenar terhadap kriminalisasi oleh kepolisian atas pelaksanaan kewenangan oleh KPK. Kedua, meskipun sebuah perpu merupakan subyektivitas Presiden, keliru jika perpu dikeluarkan melawan keniscayaan dan kepatutan sistem yang dibangun, yakni pemilihan melalui seleksi, tidak melalui penunjukan, sekalipun hanya memilih pelaksana tugas.
Ketiga, perpu ini jelas keliru karena dengan seketika membesarkan kewenangan Presiden untuk menunjuk pejabat pelaksana tugas komisioner KPK, padahal pada saat yang sama ”pihak” pemerintah tengah jadi ”tertuduh” dalam skandal korupsi, misalkan saja kasus Bank Century. Jika logika ini diterima, akan ada kemungkinan pemimpin negeri dengan mudah membuat skenario kriminalisasi terhadap petinggi lembaga pemberantas korupsi, lalu setelah diberhentikan, langsung diganti dengan mekanisme kekuasaan yang ada pada dirinya, semisal perpu.
Artinya, berkaca pada serangan atas KPK, harus ada upaya agar rantai sejarah ini diputus. Di tengah ketiadaan dukungan pelaku kekuasaan negara terhadap KPK, publik harus tetap melindungi KPK. Pada saat yang sama, KPK harus membalas kecintaan publik dengan terus bekerja memproses pelaku-pelaku korupsi, khususnya pada wilayah yang ditengarai menjadi simpul penyebab serangan terhadap KPK.
Di samping itu, petinggi negeri tetap harus diingatkan. Jika dalam kampanye banyak menyinggung dan ”menjual” pemberantasan korupsi, saatnya kini menyelamatkannya. Bukan melalui perpu kotak Pandora, melainkan melalui perlindungan atas pelaksanaan kewenangan KPK dan pemihakan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi.
Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi FH UGM
Sumber: Majalah Tempo, Selasa, 29 September 2009