Kabinet (Bukan Kabaret) Antikorupsi

Oleh: Zainal Arifin Mochtar

WAKTU terus berdetak menuju saat penetapan kabinet yang akan mendampingi presiden terpilih hingga lima tahun mendatang. Ini detik-detik yang menegangkan tentunya. Menegangkan, karena kabinet inilah yang akan mewarnai potret pemerintahan lima tahun ke depan. Mereka akan mampu mengawal negeri ini atau tidak. Mereka akan menjadi penjaga atau malah jadi jagal proses kehidupan bernegara hingga lima tahun berikutnya.

Salah satu janji terbesar yang sering diungkapkan oleh Presiden SBY adalah kehendak untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih untuk rakyat. Tentu, pemerintahan yang bersih untuk rakyat juga merupakan pewartaan atas kehidupan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Cita-cita yang mudah diucapkan, tetapi sering kali jarang dapat dilakukan.

Kesalahan 2004-2009

Jika berkaca pada lima tahun awal kepemimpinan Presiden SBY (2004-2009), ada kelemahan mendasar yang dilakukan oleh Presiden SBY dalam menghela kebijakan dan program antikorupsi. Pertama, kemampuan melakukan kontrol, monitoring, dan evaluasi program serta kebijakan pemberantasan korupsi yang dikehendaki dalam upaya mewujudkan pemerintahan bersih untuk rakyat. Ini terasa sangat lemah.

“Masa emas” Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi adalah pada 2005 dan awal 2006. Dimulai dengan mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini terdiri atas 10 instruksi umum dan 11 instruksi khusus. Instruksi umum ditujukan ke hampir 500 instansi pemerintah (baik di pusat maupun di daerah). Sedangkan instruksi khusus dialamatkan kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Bappenas, Menteri PAN, Menteri Hukum dan HAM, Kementerian BUMN, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, gubernur, bupati, dan wali kota. Adapun inti dikeluarkannya Inpres No. 5 Tahun 2004 tersebut adalah untuk mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan kemudian dilengkapi dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK).

Dilihat dari konsepnya, apa yang termuat dalam RAN-PK sudah seharusnya cukup ideal. Tercatat ada empat tema yang diusung RAN-PK, yakni pencegahan, penindakan korupsi, penindakan korupsi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias, serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN-PK. Untuk melaksanakan RAN-PK, pemerintah membentuk unit-unit kerja. Hingga Februari 2005, tercatat ada 92 unit kerja, terdiri atas 18 kementerian, 14 lembaga pemerintah nondepartemen, KPK, KON, dan PPATK.

Dalam instruksi khusus Inpres No. 5 Tahun 2004 angka ke-4 huruf e, Presiden menugasi Menteri PAN untuk mengkoordinasi, memonitor, dan mengevaluasi pelaksanaan inpres tersebut. Sebagai tindak lanjutnya, Menteri PAN kemudian membentuk Kormonev (koordinasi, monitoring, dan evaluasi), yang terdiri atas sekretariat dan Kelompok Kerja Kormonev. Untuk kelompok kerja, unsur yang ada di dalamnya adalah pemerintah, LSM, perguruan tinggi, dan dunia usaha.

Sayangnya, jika ditanyakan sampai di mana upaya-upaya tersebut, praktis jawaban yang tersisa kebanyakan adalah tidak tahu. Banyak pihak bahkan tidak tahu apa yang sudah dikerjakan, sudah sampai di mana, bahkan bagaimana. Anehnya, itu termasuk lembaga-lembaga yang dianggap ikut serta dalam mengerjakan semua hal tersebut.

Mudah untuk dianalisis, Inpres No. 5 Tahun 2004 cenderung ramai di level wacana dan sesumbar politik pemerintah, namun sepi dalam tataran implementasi. Ada link yang hilang antara perintah Presiden SBY, program pelaksanaannya, serta monitoring pelaksanaan dan evaluasi pencapaian. Padahal dari hal-hal inilah akan mudah ditemukan gagap dan gagalnya upaya koordinasi dan monitoring terhadap langkah-langkah penegakan kebijakan antikorupsi.

Kedua, kegagalan menemukan sosok bersih yang berintegritas, punya kapabilitas, dan memiliki akseptabilitasnya yang baik di masyarakat. Berkaca pada cara Presiden SBY memilih orang-orang yang berada pada wilayah politik, hukum, dan keamanan, lebih banyak berdasar “utang budi” politik dibanding mendapatkan orang yang benar-benar mumpuni. Walhasil, beberapa reshuffle pun dibutuhkan pada wilayah itu. Bahkan salah satu isu besar di balik pergantian nama kabinet tersebut adalah perilaku koruptif yang dilakukan oleh sang Menteri.

Artinya, ada kebutuhan besar untuk menemukan orang yang benar-benar tepat, dan itu dilakukan dengan hitungan yang paripurna, bukan sekadar hitungan politik. Dari sisi kapabilitas, Presiden harus mampu memilih orangorang yang memang memiliki kemampuan substantif dari kementerian yang akan dipimpinnya. Logika yang sering kali mengatakan bahwa menteri cukup hanya punya kemampuan manajerial untuk mempekerjakan orangorang ahli untuk mendukungnya adalah kurang tepat. Mustahil rasanya seorang menteri yang tidak menguasai bidangnya akan mampu bekerja dan memahami yang dikerjakannya.

Sisi kedua adalah integritas. Integritas adalah kemampuan untuk menegakkan kapabilitas ke dalam realitas secara baik. Selama ini kebanyakan kemampuan menjalankan pemerintahan terganggu oleh ketiadaan integritas. Banyak kejadian yang menunjukkan keraguan publik akan sebuah kapasitas tindakan pemerintah karena ketiadaan kepercayaan integritas atas sosok menteri tersebut.

Hal berikutnya adalah akseptabilitas. Seorang tokoh menteri harus merupakan sosok yang akseptabilitasnya baik. Bukan hanya penerimaan secara politik, tapi juga publik. Penerimaan politik sering kali hanya merupakan penerimaan bersifat kamuflase. Seakan-akan diterima sebagai tokoh publik, padahal belum tentu diterima oleh publik. Apalagi, tokoh yang hanya lahir dari penerimaan politik tidak jarang menjadi musuh publik karena tindakan yang lebih dekat ke aspirasi politik dibanding aspirasi publik. Perbaikan 2009-2014

Berkaca pada pilihan kabinet dan cara kerja, kesalahan memilih personal menteri adalah hal yang wajib dihindari. Pada saat yang sama, kekurangan memimpin pasukan pelaksana pemerintahan juga harus dihilangkan.

Pada pemilihan sosok, ada baiknya lebih banyak mengingat rekam jejak pribadi calon dibanding latar belakang politik. Jangan jatuh pada lubang yang sama dua kali. Presiden SBY dengan dukungan besar harus mampu keluar dari tekanan partai politik dan lebih berani memilih anggota kabinet yang punya rasa integritas yang baik, kapabilitas yang mumpuni, dan akseptabilitas yang kuat.

Pada proses kepemimpinan, ada baiknya Presiden SBY kembali melaksanakan evaluasi atas kegagalan program-program pemberantasan korupsi yang tak dapat terkelola dengan baik. Pencatatan atas kebijakan adalah penting. Pada saat yang sama, menagih pelaksanaan kegiatan juga sama pentingnya agar tuduhan bahwa hal itu hanya gerakan mobilisasi popularitas dapat diperkecil. Kebijakan yang telah dikeluarkan harus kembali dikontrol dan dievaluasi. Sembari memasang menteri yang mau melaporkan ke Presiden SBY jangkauan dan kegagalan sebuah kebijakan. Bukan hanya menteri yang menceritakan sukses semata, sehingga Presiden SBY merasa sukseslah yang telah tercipta.

Presiden SBY harus mengingat, ia sedang menyusun kabinet, bukan melaksanakan pementasan kabaret. Dalam kabaret, unsur hiburan berupa musik, komedi, dan sering kali sandiwara atau tari-tarian adalah hal yang penting di dalamnya. Berbeda dengan kabinet. Jauhkan dari “musik” yang berlanggam tidak sehat, “sandiwara-sandiwara” politik, “komedi dan dagelan” politikus, dan “tari-tarian” partai politik. Publik menunggu perbaikan sistem dan tawaran orang yang bermutu serta sehat, tanpa sandiwara dan komedi. Sebab, sekali lagi, ini adalah kabinet dan bukan kabaret.

Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Yogyakarta

Sumber: Koran Tempo, Kamis, 15 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts