Oleh: Salahuddin Wahid
Di Pesantren Tebuireng, 23 November 2010, berlangsung pertemuan mengenang Gus Dur dan renungan tentang nilai-nilai kepahlawanan. Beberapa tokoh agama, yakni Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia Mgr Martinus Situmorang, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Pendeta Andreas Yewangoe, Djohan Effendi, dan saya sendiri berbincang tentang keresahan masyarakat terkait kondisi bangsa.
Disepakati pertemuan berikut pada 8 Desember 2010 di kantor Konferensi Wali Gereja Indonesia, yang juga dihadiri mantan Ketua PP Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif dan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, serta Pendeta Natan Setiabudi. Pertemuan berlanjut pada 10 Januari 2011 di kantor PP Muhammadiyah Jakarta karena keresahan dirasa makin meningkat akibat terungkapnya perilaku tercela aparat penegak hukum terkait kasus Gayus. Selain nama di atas, hadir pula tokoh Buddha Biksu Sri Pannyavaro, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia I Nyoman Udayana Sangging, dan rohaniwan Katolik Romo Franz Magnis-Suseno.
Pertemuan di PP Muhammadiyah menimbulkan kehebohan karena media memberitakan bahwa sejumlah tokoh bicara tentang kebohongan pemerintah, walaupun rancangan pernyataan terbuka sebagai kesimpulan pertemuan belum dibacakan karena masih perlu dibahas.
Editorial bersama salah satu media cetak dan stasiun TV membahas masalah itu. Namun, editorial itu terkesan disalahkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Menurut saya, media itu tidak bisa disalahkan karena hanya membahas fakta walau tidak seluruhnya tepat. Juru bicara Presiden, Daniel Sparringa, dan beberapa menteri juga membantah bahwa pemerintah telah membohongi publik.
Masalah yang Diresahkan
Apakah pemerintah bohong? Kita bisa berdebat panjang tentang hal itu. Namun, daripada berdebat istilah, lebih baik kita bicara substansi yang dikemukakan, yaitu ada perbedaan antara yang dikatakan dan yang dilakukan pemerintah. Atas permintaan tokoh lintas agama, kawan-kawan dari sejumlah LSM memberikan data 18 buah “kebohongan pemerintah”. Boleh jadi tidak semua data itu benar, tetapi ada yang menurut saya benar dan ada yang belum masuk daftar.
Awal November 2009, Presiden mengatakan, prioritas 100 hari bukan sekadar swasembada, melainkan surplus pangan. “Ini tidak hanya beras, tetapi juga daging sapi, kedelai, gula, dan komoditas lain.” Namun, pemerintah serahkan harga pada mekanisme pasar. Akibatnya Kompas (7/1/11) membuat berita utama bahwa pilihan rakyat tinggal “Utang, Kurangi Makan, Bunuh Diri” karena “Kesulitan Ekonomi secara Masif Dirasakan Rakyat”.
Apakah berita itu termasuk kebohongan atau tidak, kita bisa berdebat. Namun, faktanya adalah terjadi perbedaan antara apa yang dikatakan (dengan kata lain: janji) Presiden dan kenyataan. Kini kita impor beras lagi sampai 1,5 juta ton.
Untuk data angka kemiskinan, tentu juga menimbulkan debat tentang ukuran yang dipakai. Pemerintah berkali-kali menyatakan berhasil mengurangi kemiskinan (batas garis kemiskinan pengeluaran Rp 211.726 per bulan) menjadi 31,02 juta jiwa. Menurut para tokoh agama, dengan pendekatan jumlah penduduk yang layak menerima raskin tahun 2010, penduduk miskin berjumlah 70 juta jiwa.
Saat Sumiyati, tenaga kerja Indonesia (TKI), disiksa di Arab Saudi dan jadi topik hangat, SBY -setelah rapat khusus- menyatakan akan melengkapi TKI dengan ponsel (19/11/2010). Ponsel tidak jadi diberikan dan nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Arab Saudi juga tidak jelas. Padahal, Migrant Care mencatat jumlah TKI meninggal 1.018 orang (2009) dan 1.075 (2010). Pemerintah ternyata tidak kunjung melindungi TKI.
Kasus Gayus menunjukkan, aparat penegak hukum di semua level dan lembaga rentan terhadap korupsi. Gayus dengan enteng berkisah, ia sudah menyuap penyidik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan rumah tahanan, dari yang terendah sampai tertinggi.
Banyak pihak -termasuk ahli hokum- menangkap kesan penegak hukum hanya mengejar ikan teri, bukan kakap. Kasus diperkecil lingkup dan bobotnya. Kuat dugaan, semua upaya mengarah pada dilupakannya kasus ini seiring waktu.
Adnan Buyung Nasution dan beberapa pihak mendesak Presiden supaya mengambil alih kasus Gayus, tetapi ditolak dengan alasan Presiden tak mau intervensi. Padahal, SBY berkali-kali menyatakan akan memimpin sendiri perang melawan korupsi. Presiden juga didesak menekan Polri untuk menangkap penganiaya aktivis ICW, Tama Satrya (Juli 2010), tetapi tanggapan tidak positif. Kalau mau efektif memberantas korupsi, buatlah peraturan presiden untuk menerapkan prinsip pembuktian terbalik secara penuh.
Banyak Pekerjaan Rumah
Masih ada data lain di luar 18 butir yang dikemukakan, antara lain menuntaskan kasus Munir, kekerasan atas nama agama, dan rekening gendut perwira Polri. Saya juga ingin menambahkan dua hal, yaitu reformasi agraria 9 juta hektar yang disampaikan 2007 dan kini tidak jelas. Yang lain ialah jeritan keluarga korban kasus Trisakti dan lain-lain yang selalu tampil di depan Istana setiap Kamis, tetapi tidak pernah ditanggapi.
Dari uraian di atas, kita lihat bahwa substansinya ialah ada keresahan terhadap janji pemerintah yang tidak ditepati. Para tokoh agama itu bukan politisi sehingga terkesan tidak taktis dan apa adanya, utamanya mengingatkan pemerintah agar mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Para tokoh agama masih akan bertemu untuk menyelesaikan rancangan Pernyataan Terbuka. Akan lebih bermanfaat bila pemerintah bersedia berdialog agar keresahan umat bisa disampaikan langsung, termasuk masukan yang membangun.
Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Sumber: Kompas, Senin, 17 Januari 2011