Jakarta - Setelah sukses menggelar play day ala Betawi di pertengahan bulan Mei, kini Tanggo Waffle Play Day kembali melanjutkan misinya. Tema bermain yang diangkat kali ini adalah Ngabuburit Sambil Main Lapangan, Yuk!, di selasar Teater Besar Taman Ismail Marzuki, akhir pekan lalu.
Khusus untuk konsep bermain lapangan, tim Tanggo Waffle menyiapkan 150 layangan. Anak-anak dan orang tua yang sudah mendaftar melalui Facebook diberikan satu buah layang-layang berwarna putih polos. Sebelum diterbangkan, layang-layang wajib digambar dan diwarnai oleh peserta.
Yuna Eka Kristina selaku penyelenggara dan Head of Corporate and Marketing Communications OT mengungkapkan, layang-layang sangat identik dengan mainan anak zaman dulu. Sayangnya, anak-anak zaman sekarang sudah jarang memainkan layang-layang. Selain kurangnya tanah lapang untuk bermain layang-layang, para orangtua juga sepertinya sudah lupa untuk mengenalkan anak pada permainan layang-layang.
"Tujuan kami ada empat hal yakni mengajak anak-anak untuk melakukan gerak fisik, kreatif, bermain di luar ruangan, dan sosialisasi. Konsep main layang-layang rasanya sangat cocok dengan tujuan Waffle Play Day," ungkap Yuna saat ditemui SP di selasar Teater Taman Ismail Marzuki, akhir pekan lalu.
Dalam even Ngabuburit Sambil Bermain Lapangan, Yuk!, lucunya bukan hanya anak-anak saja yang asik bermain. Para orang tua yang sore itu mengantarkan anak-anak mereka, justru kelihatan lebih menikmati permainan lapangan tersebut. JJ. Rizal, pengamat budaya sekaligus peserta mengakui rasa nikmatnya mengenang masa lalu bermain layangan.
"Dari Sabtu (13/7) sore ini saja sudah kelihatan betapa antusias para orang tua bermain sambil mengajarkan anak mereka. Ternyata kami semua rindu bermain lapangan. Apalagi saat bermain di lapangan imajinasi dan tubuh kami ikut bergerak," ungkap JJ. Rizal.
Layangan pada dasarnya merupakan lembaran bahan tipis berkerangka. Untuk memainkannya dibutuhkan alat bantu berupa tali atau benang sebagai pengendali. Layangan biasanya baru asik dimainkan apabila ada hembusan angin.
Diungkapkan JJ. Rizal, layangan dalam budaya Betawi sebenarnya merupakan sebuah bentuk didikan. Sebab, si anak diharuskan membuat sendiri layangannya dengan panduan sang ayah. Dan dalam membuat layangan si anak diajarkan nilai-nilai kehidupan, sekaligus mempererat hubungan antara ayah dan anak.
“Ketika membuat layangan, terjadi transfer antar generasi, dari ayah ke anak. Layangan juga mengajarkan kerja keras dan kreativitas. Demikian pula ketika si anak harus menerbangkannya, manfaat yang muncul bukan hanya keahlian menaikkannya. Namun lewat main layangan anak juga diajarkan nilai kerjasama," jelas Rizal.
Sementara itu pada masanya, layangan dikenal sebagai mainan lelaki. Namun dalam perkembangannya, layangan menjadi permainan multigender. Sayangnya, sekarang ini kebiasaan main layangan nyaris punah. Bermain di lapangan sudah terganti dengan bermain gadget.
Berkaca dari semakin sedikitnya anak-anak bermain di lapangan, maka Yuna beserta tim berniat untuk melaksanakan aktivitas main bersama. Untuk kegiatan bermain tersebut, Yuna pun dibantu oleh komunitas Main Nyok!. Rencananya kegiatan bermain di luar ruangan ini akan rutin dilakukan selama 6 bulan, setiap minggu kedua.
"Kami ingin membangkitkan kembali kegiatan bermain tradisional yang dulu sangat digemari anak-anak. Jangan sampai anak-anak yang lahir di tahun 2000-an lupa pada jenis permainan tradisional itu. Jadi marilah kita bangkitkan kembali memori indah tentang bermian di luar rumah," ungkap Yuna.
Sumber: http://www.suarapembaruan.com