Oleh: Tulus Sudarto
TAK satu pun kata yang adekuat memotret kondisi keparahan tingkat korupsi di Indonesia. Bahwa kerusakan sudah sedemikian mencemaskan, hal itu terefleksi dari penjabaran kasus Gayus HP Tambunan.
Selain berpotensi menggeret mafia kasus kelas kakap, Gayus tak hanya jadi jendela, melainkan pintu yang terbuka makin lebar untuk melihat gurita korupsi di Indonesia.
Korupsi memang selalu berkelindan. Kredit khusus laik diberikan kepada setiap peniup peluit (the whistle blower) macam Susno Duadji ataupun Khairiansyah, Endin, dan Probosutedjo, beberapa tahun lalu. Walau mereka juga tidak bersih-bersih amat, secara diametral niat politis (political will) itu bisa bergayung sambut dengan kebijakan dasar (direct political will). Pokok persoalan terletak pada realitas masif: semua ber-handicap korupsi.
Korupsi menjadi karakter bangsa ini par excellence karena struktur DNA-nya memang demikian, seperti pernah penulis uraikan (Kompas, 18/5/2005). Sintaksis keluarga menjadi napas sekaligus rasionalitas korupsi. Maka, memberantas korupsi sebetulnya merevolusi, bukan sekadar tambal sulam sana-sini. Berita buruknya adalah bahwa korupsi tidak akan pernah terkikis dari bangsa Indonesia. Berita baiknya, ada beberapa tukang sapu yang dengan penuh risiko memberikan diri sebagai korban di altar penyembelihan.
Pemerintah tinggal menindaklanjuti darah-darah para peniup peluit dengan menindak tegas para koruptor. Namun, butuh daya tahan ekstra untuk menggulirkan revolusi terhadap korupsi. Kelambanan penanganan korupsi terkait dengan keraguan pemerintah (undecisiveness) mengambil keputusan. Keraguan-raguan juga bersifat sistemik, bukan sekadar moral praktis. Ini karena pemerintah pun punya andil dalam menyuburkan korupsi, apa pun bentuk ataupun besaran cakupannya.
Dalil Mayoritas
Sebentuk banalitas ditopang oleh mayoritas. Aristoteles menyebutnya sebagai mob rule. Apa yang dilakukan semakin banyak orang, itulah yang menjadi standar sekaligus aturan. Seburuk apa pun perilaku itu, jika semua orang melakukan, berarti dapat diterima sebagai kebenaran dalam ukuran komunitas.
Korupsi an sich adalah produk mob rule. Sebagai banalisme, korupsi pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem. Semula, pada dirinya sendiri korupsi adalah buruk secara moral. Namun, karena korupsi dilakukan massal dan periodik, lama-lama cakupan moralitas korupsi berubah menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan.
Korupsi tidak hanya menjadi budaya, tetapi juga menyangkut soal ekonomi, sosial, ataupun politik. Dengan berbagai modus, korupsi tidak lagi menimbulkan rasa protes (indignation). Ketiadaan protes moral tersebut menandai inisiasi korupsi sebagai bagian integral dari sistem. Pendekatan hukum hanyalah kamuflase, sejauh pertanyaan pertama tentang suatu aturan adalah “berapa duit yang dibutuhkan”?
Oleh karena itu, rasanya naif untuk mengklaim suatu lembaga yang bebas korupsi. Apa pun bentuknya, korupsi ada di mana-mana dan bisa mengenai siapa saja selama masih di Indonesia. Adalah mimpi mengharapkan Indonesia saat ini bebas tuntas dari korupsi. Setiap akses sosial politik (sedikit budaya) bernilai komersial dan identik dengan korupsi.
Romantisme pembentukan bangsa Indonesia tanpa korupsi hanyalah text-book. Si tukang sapu pasti mendapati sapunya penuh kotoran. Tak ada satu pun orang suci dalam pemberantasan korupsi. Utopisnya, korupsi hanya terbasmi dengan format ulang generasi.
Pemberantasan korupsi juga menghindarkan karakter bangsa ini dari bentukan mob rule. Pastilah para pemrakarsa (the founding fathers) tidak berjalan tanpa konsep ketika hendak membangun bangsa ini. Seketat mungkin bangsa Indonesia dilepaskan dari terjun bebas ala juggernout hanya karena mayoritas korupsi.
Para peniup peluit ibarat sekelompok minoritas dari samudra koruptif. Mereka berdiri sejajar dengan masyarakat pencinta bangsa Indonesia. Ambil contoh, sebuah SMP swasta di Semarang memberi kesempatan kepada para pelajar untuk plug-and-play dalam melunasi tanggung jawab mereka terhadap aktivitas transaksi di kantin. Mereka termasuk yang mengharap pembentukan karakter baru seperti diungkap oleh Teten Masduki (Kompas, 7/04).
Habitus Baru
Di samping hegemoni mayoritas, kelompok minoritas selalu memiliki daya ledak untuk membentuk nilai. Pada diri minoritaslah habitus baru tanpa korupsi bisa diandalkan. Mayoritas sebagai mob rule mampu mengubah yang deskriptif menjadi normatif, mampu memberi pencerahan terhadap stagnasi proses kreatif suatu kelompok besar. Satu saat, pastilah mayoritas mengalami kemuakan terhadap nilai korupsi. Namun, kemuakan itu tidak berlanjut pada pencerahan karena sudah terjebak teramat dalam.
Korupsi telah menjelma menjadi titik (ny)aman alias comfort zone. Inilah saatnya kemuakan mencapai klimaksnya. Bahwa secara nurani setiap orang emoh terhadap korupsi, stipulat ini tidak dapat ditolak. Rumitnya, mayoritas membutuhkan minoritas untuk memecah kebuntuan sistemik tersebut.
Minoritas itulah yang muncul dalam diri para peniup peluit ataupun lembaga pemberantas korupsi ataupun sekelompok masyarakat yang masih mengandalkan kewarasan dalam membangun masa depan Indonesia.
Sekali lagi, pemerintah perlu merespons secara baik dan benar gerakan-gerakan kaum minoritas antikorupsi tersebut. Naga-naganya kasus Bank Century secara berangsur-angsur senyap karena rentetan (peng)kasus(an) terorisme ataupun mafia perpajakan. Tampaknya para politisi kelas wahid bangsa ini selalu saja punya inventaris kasus untuk dilempar ke publik, semata-mata demi kepentingan yang terbatas.
Secara obyektif, pemerintah adalah sekelompok minoritas yang membawa mayoritas (yaitu bangsa Indonesia) pada masa depan yang lebih baik. Sekurangnya tidak menjadi patron yang membawa mayoritas pada kehancuran. Atau, pembenahan bangsa ini tetap saja berkutat pada pola gali lubang tutup lubang.
Tulus Sudarto, Rohaniwan, Tinggal di Paroki Baciro, Yogyakarta
Sumber : Kompas, Sabtu, 17 April 2010