Kosmetik Pemberantasan Mafia Hukum

Oleh: Febri Diansyah

SATU per satu skandal mafia di tubuh penegak hukum dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak terungkap. Mulai kasus Gayus H. Tambunan yang menimbulkan efek domino di Ditjen Pajak, kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Tiap-tiap institusi menyikapi skandal sistemis tersebut dengan keseriusan yang berbeda.

Ditjen Pajak terlihat paling tegas dengan langsung menonaktifkan sejumlah pegawai dan pejabat di tempat Gayus bertugas dan membuka akses pelaporan LHKPN terhadap pegawai pajak yang sebelumnya tidak tersentuh, bahkan oleh KPK. Kepolisian pun melakukan beberapa langkah. Antara lain, menetapkan tersangka dua penyidik, menonaktifkan seorang jenderal yang diduga terkait dengan mafia kasus, dan melakukan serangkaian pemeriksaan kode etik secara internal.

Meskipun dinilai paling lambat dan tidak menunjukkan progres, kejaksaan juga menyatakan tidak cermatnya beberapa jaksa peneliti dan jaksa penuntut umum yang menangani kasus Gayus. Sayang, kejaksaan masih berkutat pada persoalan administratif. Padahal, dugaan aliran dana terhadap jaksa sudah disampaikan oleh PPATK. Sebaliknya, di institusi pengadilan, Mahkamah Agung justru menyatakan bahwa hakim-hakim tersebut bersih dan tidak melanggar aturan. Pernyataan itu berbanding terbalik dengan temuan Komisi Yudisial (KY) tentang dugaan aliran uang terhadap hakim.

Mencermati tindakan empat institusi itu, sepintas masyarakat mungkin berpikir, telah dilakukan beberapa perubahan di setiap institusi. Akan tetapi, kita sadar betul bahwa penanganan seperti itu rentan terjebak dan dilokalisasi pada kasus per kasus.

Belajar dari sejumlah skandal di institusi tersebut pada tahun-tahun sebelumnya, yang terus terulang, tidak berlebihan kita menyebut apa yang dilakukan hari ini hanyalah “buih-buih”. Bukan keseriusan substantif untuk benar-benar membersihkan institusi penegak hukum dan Ditjen Pajak dari bakteri mafioso.

Perang terhadap mafia hukum, mafia pajak, dan korupsi harus dilakukan secara institusional. Ia tidak mungkin bisa dituntaskan dengan cara menari-nari dari kasus per kasus. Sebab, gegap gempita penanganan kasus Gayus, Bahasyim, bahkan kasus lain, justru rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik pencitraan, kamuflase komitmen antikorupsi, dan bukan tidak mungkin memperkuat konsolidasi mafia di tubuh setiap institusi. Sebab, kita sangat sadar, ibarat rumput liar, lahan untuk praktik mafia di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan terutama Ditjen Pajak masih sangat subur. Ditambah, petugas pembersih sering lalai dan tercemar.

Darurat Mafia

Indonesia Corruption Watch menilai, saat ini adalah momentum yang paling tepat untuk membersihkan institusi -bukan perorangan semata- dengan perombakan total. Baik aspek kepemimpinannya; sistem regulasi, promosi, dan mutasi; pengawasan; sanksi; kekayaan yang tak wajar; hingga remunerasi yang layak. Kapolri dan jaksa agung, misalnya. Dua tampuk tertinggi kepolisian dan kejaksaan itu telah dinilai tidak mampu membersihkan, menjaga, dan menempatkan institusi masing-masing sebagai penegak hukum yang ideal.

Di era Jaksa Agung Hendarman Supandji, terjadi skandal suap Urip Tri Gunawan yang melibatkan sejumlah jaksa agung muda, kasus jaksa penjual narkoba, penahanan Prita Mulyasari, perkara Anggodo yang merembet hingga wakil jaksa agung, dan kali ini mafia pajak Gayus. Demikian juga kepolisian. Citra institusi yang kini mereformasi diri itu justru terpuruk saat dipimpin Kapolri saat ini. Salah satu indikasinya, mulai diragukannya independensi Polri dalam penyelenggaran Pemilihan Umum 2009 dan pemilihan presiden. Selain itu, ada kasus salah tangkap, persoalan cicak lawan buaya, perkara Anggodo yang tidak mampu ditangani, hingga dugaan keterlibatan sejumlah jenderal polisi dalam kasus Gayus. Sulit dibayangkan perang terhadap mafia hukum bisa berjalan efektif jika kondisi status quo tersebut masih dipertahankan.

Masuk akal jika kita berpikir tidak ada pilihan lain, selain membersihkan institusi itu. Sebab, jika kepolisian kotor, kejaksaan dan pengadilan tercemar, dan Ditjen Pajak tetap tak mampu membasmi mafia di tubuhnya, semua itu bakal merugikan dan mengancam masyarakat secara langsung. Tidak akan ada pengayom masyarakat bila polisi mengabdi kepada kepentingan mafia. Hukum bakal tumpul apabila kejaksaan dan pengadilan tercemar. Lalu, uang negara akan terus bocor di Ditjen Pajak dengan ketimpangan penghasilan yang luar biasa antara pegawai pajak dan masyarakat.

Karena itu, tidak berlebihan jika kita me-warning sejak awal bahwa kita berada di titik “darurat mafia”. Sendi-sendi penting institusi pelayanan masyarakat dan penghasilan negara kini dibajak kekuatan mafioso. Sementara itu, komitmen politik pimpinan negara tidak beranjak dari sekadar permainan kasus per kasus. Hal tersebut akan mempersulit Indonesia, tidak hanya untuk pemberantasan korupsi, tetapi juga berimplikasi terhadap penegakan HAM, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas hidup rakyat, bahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin. Kekhawatiran itu bukan tidak mungkin terjadi jika penanganan skandal demi skandal tersebut hanya berfokus ke aspek entertainment (pertunjukan dan bombastis).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu saja merupakan otoritas politik dan pemerintahan yang sepatutnya melakukan hal konkret, institusional, dan tidak parsial. Agar tidak terjebak pada sekadar kosmetik(fiksasi), pemberantasan mafia hukum sudah saatnya memikirkan hal yang lebih fundamental, bukan hanya respons sporadis oleh Satgas Mafia Hukum; pencopotan satu atau dua jaksa dan polisi; bahkan penetapan Gayus, Bahasyim, dan Syahril Djohan sebagai tersangka; melainkan jauh lebih besar daripada itu. (*)

Febri Diansyah, peneliti ICW, koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan

Sumber : Jawa Pos, Senin, 19 April 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts