Oleh: Halili
PERAMPASAN dan penyitaan harta koruptor dan penerapan hukuman terberat adalah sebagian solusi yang disodorkan sejumlah pakar untuk memberantas korupsi yang semakin merajalela (Kompas, 7/4).
Sebelumnya, ada dorongan untuk menerapkan hukuman mati, seperti yang disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketua Mahkamah Konstitusi mengamini penerapan hukuman mati dan menawarkan langkah lain, lustrasi, seperti yang diterapkan oleh Latvia (Kompas, 6/4). Bagaimana implementasinya?
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor) yang disempurnakan dengan UU No 20/2001 memberikan legitimasi yuridis yang memadai untuk implementasi berbagai langkah tersebut, kecuali lustrasi. Pasal 18 huruf a UU No 31/1999 memungkinkan diterapkannya pidana tambahan berupa perampasan harta. Hukuman berat berupa pidana seumur hidup diafirmasi Pasal 2 Ayat (1) UU Tastipikor tersebut. Ayat (2) pasal yang sama memungkinkan pidana berupa hukuman mati.
Artinya, sistem penghukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi sebenarnya sudah memadai. Namun, sistem tersebut tidak bekerja. Jika hakim tidak pernah menerapkan pidana sebagaimana dalam UU Tastipikor, instrumen hukum tidak akan memperbaiki keadaan. Hakim bukan satu-satunya agen yang menentukan penerapan hukum tersebut. Putusan hakim dipengaruhi oleh tuntutan jaksa. Demikian pula penuntutan dipengaruhi oleh BAP di kepolisian. Kompleksitas semakin menggurita sebab di setiap tahapan “intervensi” mafia membuat proses hukum “bisa diatur”.
Pada panorama hukum yang pekat mafia, sulit berharap atas penghukuman yang memberikan efek jera (deterrence effect). Pendekatan berbasis negara (state based treatment)—melalui instrumen hukum—dalam pemberantasan korupsi yang merajalela hanya mungkin dilakukan jika aparat penegak hukumnya bersih. Hanya aparat hukum yang bersih yang berani memberikan hukuman yang berefek jera dan memiskinkan koruptor. Di titik inilah tindakan lustrasi amat urgen dipertimbangkan.
Lustrasi
Lustrasi—dari bahasa Latin lustratio—adalah istilah yang pada mulanya dipakai untuk berbagai metode purifikasi dan ekspiasi yang biasa dilakukan orang- orang Yunani dan Romawi (1991 Encyclopedia Britannica). Pada perkembangannya, lustrasi mewujud sebagai term politik dan hukum. Lustrasi populer seiring “revolusi demokratik” 1989, khususnya di Eropa Timur, yang bermula dari ketidakpercayaan terhadap kemampuan bekas rezim komunis untuk melaksanakan reformasi demokratis. Lustrasi merupakan tindakan sistemis untuk membersihkan anasir komunis dari bangunan demokrasi baru yang sedang dibangun.
Gerakan pemangkasan “generasi komunis” di Eropa Timur bermotif politik (politically motivated), tetapi menggunakan pendekatan hukum. Banyak ragam penerapan hukum lustrasi, mulai dari yang sangat keras, seperti Ceko dengan UU Lustrasi 1991 yang diterapkan sangat ketat dan mengenai puluhan ribu partisan komunis serta kolaboratornya, sampai yang agak samar, seperti Estonia yang menyisipkan secara halus prinsip lustrasi dalam UU Kewarganegaraan dan UU Pemilu (Mark S Ellis, 1996).
Lustrasi adalah istilah yang sangat jarang dipakai dalam diskursus politik dan hukum kita meski bukan benar-benar baru. Rezim Orde Baru sebenarnya telah melakukan lustrasi administratif atas tapol/napol/eks-PKI melalui kartu tanda penduduk (KTP) mereka. Ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, menguat tuntutan dari gerakan kaum muda untuk dilakukannya potong generasi (cut off generation). Hingga tahun 2003-an masih marak gerakan mahasiswa yang konsisten mengusung isi potong generasi, terutama aksi-aksi yang dimotori oleh HMI-MPO.
Namun, isu potong generasi pada masa itu terlalu abstrak dan tidak operasional. Tak ada musuh bersama yang spesifik untuk dilustrasi. Hampir setiap forum yang mendiskusikan kemungkinan potong generasi selalu dipungkasi dengan pesimisme sebab sumirnya jawaban atas pertanyaan: apa kriteria generasi yang mau kita potong dan terhadap wilayah/level pemerintahan mana pemotongan akan dilakukan.
Kini musuh bersama itu jelas: korupsi dan mafia hukum yang merajalela dan satu sama lain saling menguatkan. Selama ini, ketidakmungkinan pemberantasan korupsi melalui instrumen hukum menguat terutama karena sistem penghukuman berefek jera apa pun tidak bisa bekerja tanpa aparat hukum yang bersih.
Maka, diperlukan tindakan lustrasi atas aparat hukum yang ada di level kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dalam bahasa Susilo Bambang Yudhoyono: bersihkan seluruhnya! (Kompas, 8/4). RUU Lustrasi yang pernah akan diusulkan oleh Mahfud MD di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Kompas, 6/4) perlu “dihidupkan” dan didiskusikan lagi di ruang-ruang publik.
Referendum
Kontroversi paling serius atas lustrasi, seperti juga terjadi di negara-negara Eropa Timur tahun 1990-an, terletak pada konstitusionalitasnya (Mark S Ellis, 1996, Kieran Williams, 1999). Lustrasi dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip konstitusionalisme sebab membatasi kesederajatan hak politik warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan, yang oleh konstitusi kita diatur pada Pasal 27 Ayat (1). Langkah paling feasible untuk pelaksanaan tindakan lustrasi dengan bertanya langsung kepada seluruh rakyat melalui referendum.
Hanya langkah revolusioner yang memungkinkan pemberantasan korupsi dan mafia hukum berlangsung efektif. Sudah 12 tahun reformasi berlangsung dan 11 tahun sudah kita memiliki sistem pemberantasan korupsi yang memadai, tetapi jagat politik dan hukum kita selalu dibisingkan dengan kasus-kasus korupsi dan mafia hukum yang tak habis-habis. Kinerja pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi korban.
Oleh karena itu, tindakan potong generasi korupsi sangat mendesak. Apabila tidak, generasi korupsi yang akan “memotong” kita.
Halili, Pengajar Politik Hukum di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta dan Mahasiswa Pascasarjana HAM dan Demokrasi Universitas Gadjah Mada
Sumber : Kompas, Senin, 19 April 2010