Oleh: Hudjolly
Selama beberapa bulan terakhir, publik dihujani polemik seputar korupsi dan kekuasaan. Terlepas dari blunder skandal Bank Century, dilema Bahasyim sampai segitiga stigmatik Gayus-Satgas-Aburizal Bakrie, nampaknya ada semacam upaya memainkan narasi teks untuk melanggengkan kekuasaan dan usaha menjatuhkan kekuasaan via narasi korupsi.
Ketiga kisah skandal tersebut merupakan upaya demonstrasi (penyingkapan) mekanisme korupsi di pusat kekuasaan dan bagaimana jaringannya beroperasi. Kemudian muncul upaya perlawanan, baik dalam bentuk narasi berita, dialog televisi, yang mengajukan monstrasi (penyembunyian) terhadap mekanisme korupsi di tingkat elit. Misalnya lewat wacana pembuktian terbalik pada kasus Bahasyim. Semua narasi teks berita ketiga kasus tersebut berbeda dengan narasi berita kasus Artalyta dan jaksa Urip. Demikian pula pada narasi-narasi korupsi terkini, monstrasi menjadi sebuah jurus untuk menyusutkan eskalasi berita. Pertempuran koruptor versus kampanye anti korupsi berlangsung di dalam teks, demonstrasi dan monstrasi.
Skandal Century di-monstrasi oleh pemegang kekuasaan, demonstrasi diperankan oleh oposisi dan aktivis kontra korupsi. Pertempuran teks misalnya terlihat dalam kisah mafia hukum dan markus, bahkan terorisme. Soal markus misalnya, di-monstrasi dengan penemuan fasilitas mewah di rutan oleh Satgas. Berkat temuan itu muncul stigma bahwa negara sedang berbenah memberantas markus, menegakkan wibawa hukum. Lewat Pansus Century—dulu—seolah pemerintah sedang bergiat memberantas korupsi. Jurus monstrasi demikian cukup ampuh meninabobokan masyarakat dari agenda-agenda utama kontra korupsi. Hingga kini gebrakan pemberantasan markus tidak bergaung, tidak ada penggeledahan baru, bahkan ‘tantangan’ Susno Duaji menjadi senjata makan tuan. Babak akhir penyelesaian Century di dewan, melalui metode opsional dan voting dalam memutuskan status suatu fakta adalah jalan monstrasi (penyembunyian) aroma skandal dari Century.
Imagologi
Dalam skala luas monstrasi kerap meminjam komentar pakar dan akademisi, agar benak publik dapat mafhum terhadap alasan yang dimainkannya. Kita bisa melihat pola ini dalam banyak kasus antara lain status Lapindo, Namru, bahkan narasi aksi serangan polisi ke markas aktivis di Sulawesi. Pada kasus terakhir kata ‘warga’ dipakai untuk me-monstrasi andil polisi. Pada Century, kata opsional ‘penyimpangan’ dipakai untuk me-monstrasi ‘penyalahgunaan kekuasaan’.
Media massa yang jadi medan perang penyingkapan vs penyembunyian tak luput dari ancaman ter-monstrasi lewat UU IT, menyatakan pendapat, rahasia negara, peningkatan profesionalisme media, kode etik jurnalisme dan seterusnya. Dulu jurus terampuh melawan penyingkapan adalah pembreidelan dan pelarangan buku. Kini jurus yang dipakai adalah repetisi, yakni megaproduksi teks yang menggabungkan ikon, audio- visual, simbol dan narasi teks, inilah yang disebut imagologi.
Istilah monstrasi dan demonstrasi merupakan instrumen bahasa yang dipakai untuk mencapai perlokusi, efek tertentu dari bahasa. Suatu efek tertentu sudah ditarget oleh pembuat teks, lewat pilihan kalimat, pilihan simbol (icon), tanda (sign) dan peniruan lewat audio visual (sign asemblance) (Arthur Assa Berger, 1980). Dengan cara tersebut kekuasaan mampu mengarahkan pemahaman masyarakat (common sense) sesuai kehendak mereka. Mekanisme ini bisa meredam masalah besar menjadi kecil, contohnya soal otoritas kepolisian pada maraknya kisah rekayasa-rekayasa kasus dari Bibit–Chandra sampai kasus anyar pedagang asongan yang ‘disulap’ jadi penjual ganja.
Sebaliknya masalah besar jadi kecil seperti rencana harga baru TDL, Bahasyim, Krakatau Steel. Berkat hyperrepitisi—yakni produksi imagologi berulang secara berlebihan tanpa ending—kisah Century membuat masyarakat tidak sanggup menelan semua informasi lalu menganggap kasus itu sebagai ‘cerita basi yang biasa’. Kasus Century kehilangan momen dan kesakralan (baca: strategis) secara politik, digantikan kisah plesiran Gayus, dan entah akan digantikan apa lagi.
Demontrasi Narasi Korupsi
Penyingkapan (demontrasi) dilakukan dengan cara menunjukkan secara terbuka suatu kasus, melalui pilihan simbol dan teks bahasa (wacana) yang selama periode tertentu—oleh kekuasaan— tidak ingin diketahui orang banyak. Release, uji publik, gelar kasus, laporan akuntabilitas adalah bagian dari bentuk demonstrasi kontra korupsi.
Sementara, kekuasaan memiliki interest untuk menentukan perlokusi narasi macam apa yang diperbolehkan. Oleh karena itu, setiap demonstrasi dianggap sebagai upaya melawan dominasi kekuasaan dalam bidang menentukan makna peristiwa, dan merongrong wibawa pemerintahan. Dalam kampanye kontra korupsi, peran KPK berada di garda terdepan. Tafsir ‘hukum’ menjadi klaim penuh pemegang kekuasaan, yang berhak menafsirkan apa dan bagaimana korupsi Century, kisah Gayus, Bahasyim, Krakatau Steel adalah kekuasaan.
Masih ingat perang narasi dalam Gurita Cikeas dan buku Siti Fadilah Supari? Dua teks buku ini membangun tafsir baru tentang mekanisme kolutif dalam kekuasaan yang teranyam indah. Narasi-narasi semacam itu, termasuk di dalamnya pemberitaan tajam, reportase televisi, tajuk, dan bedah kasus di televisi merupakan usaha membuat perlokusi di masyarakat (common opinion) tentang wajah korupsi yang sulit diberantas, dan menjawab pertanyaan: kenapa korupsi di Indonesia selalu berjamaah.
Dulu, kekuasaan Orde Baru menggunakan metode monstrasi dan demonstrasi untuk mengukuhkan kekuasaan, misalnya lewat mostrasi tafsir sejarah yang boleh beredar di masa itu. Namun demikian, pertarungan teks tidaklah haram, sejauh monstrasi dilakukan dengan jalan yang sama: merangkai teks.
Untuk mencapai perlokusi, bahasa diperluas dengan memasukan imajinasi dan teks. Monstrasi dan demonstrasi dirajut lewat icon (ikon) dan sign asemblance (tanda penyerupaan) dalam wujud teks yang kompleks, seperti audio-vidual, tanda-simbol imajinatif yang dirangkai sesuai target tertentu. Cara ini merupakan mekanisme kerja dari imagologi korupsi. Dalam bidang kekuasaan misalnya, lihat saja bagaimana imagologi kekuasaan membentuk notasi: ‘agar semua pihak mengendalikan diri, demi stabilitas kepercayaan’.
Meredam Demonstrasi.
Kekuasan cukup menggunakan imagologi untuk mengartikan makna penegakan hukum dengan jalan membuat perlokusi ‘berantas mafia hukum’, dalam ikon membentuk tim independent, satgas. Perlokusinya: memberi harapan anyar pada masyarakat.
Di sisi lain, ada aksi demonstrasi yang membongkar betapa bopeng wajah hukum, sebagaimana kasus hukuman Mbok Minah di Banyumas. Imagologi pemberantasan markus menjadi common sense pemberantasan mafia hukum. Pembentukan tim independent, satgas, jadi common hope bahwa kekuasaan tengah gigih memperbaiki kinerja hukum. Padahal dengan sistem dan perangkat hukum yang sama, mungkinkah wajah hukum berubah?
Kehadiran teks-teks demonstratif di tengah repitisi penguasa dianggap mengganggu dominasi wacana dan penafsiran. Pengetahuan masyarakat terancam terbelah antara common sense hasil imagologi kekuasaan versus pengetahuan dari aksi demonstratis.
Di tangan kekuasaan, teks (berita atau narasi) korupsi bukan lagi kisah yang bebas nilai. Meminjam pakar dan akademisi, upaya sistematis mendelegitimasi pengetahuan demonstratis dilakukan. Kampanye anti korupsi mendapatkan perlawanan, misalnya lewat argumen “kolapsnya Century mengganggu stabilitas keuangan”, lihat saja, ramai-ramai diamini pakar-akademik. Tujuannya meneguhkan makna yang sudah dipegang penguasa, bahwa kucuran dana Century penting, bukan korupsi. Dengan cara demikian pemerintah merasa cukup sah dan (ny)aman mengambil putusan membantu Century atau menetapkan status lumpur Lapindo, dan seterusnya. Kasus Century masuk peti es!
Penutup
Di alam keterbukaan informasi, siapapun bebas menulis, membangun tafsir sekaligus mempropagandakannya. Karena pemerintah tak kuasa membendung, hanya ada satu cara mengurung demonstrasi, yakni merepetisi selaksa imagologi kontra korupsi. Ketika makna yang paling sering mengisi ruang baca publik adalah makna dari penguasa, perlahan makna itulah yang mapan dan dominan diterima sebagai kebenaran. Makna korupsi akan didikte dan dibonsai, bukan lagi dimaknai dosa besar berbahaya, hanya dianggap pendulum politik. Century dan kasus-kasus sejenis perlahan tapi pasti bakal dimaknai ‘bukan masalah’ besar, hanya berkutat pada bagaimana penyelesaian kasus, tidak pernah menyoal kenapa sistem keuangan negeri ini selalu kecolongan dengan kasus yang identik, BLBI. Kenapa di tengah markas polisi, Gayus melenggang, kenapa Ayin bisa enjoy di tahanan, dan seterusnya.
Bagaimanapun juga kekuasaan berkepentingan menjaga pemaknaan yang beredar di wilayah kekuasaannya. Mengeksploitasi ‘citra’ pemerintah sudah tidak lagi cukup. Korupsi adalah musuh pencitraan baik pemerintah. Sampai satu dasawarsa perang teks pendukung dan aktivis anti korupsi akan terus berlangsung dengan berbagai kemasan. Dan tugas akademisi adalah mengajarkan membaca imagologi korupsi, tidak semata melibatkan diri dalam monstrasi-montrasi kekuasaan. Semoga
Hudjolly, Editor, Alumnus Program Pascasarjana Filsafat, UGM