Taj Al-Salatin: Manajemen Pemerintahan dalam Sastra Melayu Islam

Oleh: Dr. Abdul Hadi W. M.

Abstrak
Taj al-Salatin atau “Mahkota Raja-raja” merupakan kitab pertama dalam sastra Melayu Islam yang membicarakan masalah etika, kepemimpinan, politik, dan manajemen pemerintahan. Kitab ini selesai ditulis di Aceh Darussalam pada tahun 1603 M oleh Bukhari al-Jauhari, seorang ulama dan sastrawan Melayu abad ke-16 hingga 17 M. Buku ini terutama berisi petunjuk dalam menjalankan pemerintahan dan memimpin rakyat yang majemuk secara etnik, agama, dan latar belakang kebudayaan.

Pokok-pokok pembahasan tentang pemimpin yang berbobot dalam kitab ini sangat relevan bagi kita sekarang. Disebabkan pentingya kitab ini, sejak abad ke-17 hinggga 19 M berulang kali disalin dan diterbitkan dalam versi yang berbeda-beda. Bahkan, kitab ini juga telah diterjemahkan dalam bahasa Jawa, Sunda, Belanda, Perancis, dan Inggris. Dalam bahasa Jawa yang diberi judul Serat Tajussalatin, terdapat beberapa versi. Versi terbaik ialah terjemahan Yasadipura II, pujangga Surakarta abad ke-8 hingga 19 M. Dinyatakan dalam buku ini bahwa kecenderungan manusia untuk berbuat kejahatan jauh lebih kuat dibanding berbuat kebajikan. Untuk alasan itulah hukum dan keadilan benar-benar perlu ditegakkan.

Dua dari tiga kerajaan Islam awal di Nusantara, yang memainkan peranan penting dalam perkembangan agama dan kebudayaan Islam di Asia Tenggara, terletak di daerah yang kini disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Samudera Pasai (1272-1450 M) dan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Satunya lagi ialah Malaka (1400-1511 M) di Semenanjung Malaya. Di Pasai untuk pertama kali diperkenalkan penggunaan huruf Arab Melayu yang disebut huruf Jawi sesuai dengan sebutan lain bahasa Melayu yaitu bahasa Jawi. Di sini pulalah kitab keagamaan dan sastra Islam mulai ditulis dalam bahasa Melayu Pasai, yaitu bahasa Melayu yang telah mengalami proses Islamisasi dan karenanya sangat berbeda dari bahasa Melayu Sriwijaya yang telah digunakan sejak abad ke-7 M. Tetapi, akibat serbuan Majapahit pada paruh terakhir abad ke-14 M dan munculnya Malaka pada awal abad ke-15 M sebagai pusat perdagangan internasional baru di Selat Malaka, Pasai mengalami kemunduran hingga kemudian terpecah belah ke dalam kerajaan-kerajaan kecil yang lemah pada akhir abad ke-15 M (T. Iskandar, 1965; Ismail Hamid, 1983:6-13; Ibrahim Alfian, 1999:52).

Tetapi, setelah Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511 M, muncullah Kesultanan Aceh Darussalam yang menggantikan, baik peranan Pasai maupun Malaka, sebagai pusat perdagangan internasional dan kegiatan intelektual Islam. Bahkan, dapat dikatakan bahwa di Aceh inilah penulisan kitab keagamaan dan sastra Islam benar-benar mengalami puncaknya, sehingga bahasa dan sastra Melayu menjadi mercu suar bagi bahasa dan sastra daerah lain di kepulauan Nusantara. Pesatnya perkembangan itu terjadi khususnya pada masa pemerintahan Sultan ‘Aliuddin Ri‘ayat Syah dengan gelar Sayyid al-Mukammil (1589-1604 M) dan pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1646 M), dua sultan yang membawa Aceh ke puncak kejayaaannya di bidang politik, ekonomi, perdagangan, dan agama, yang sekaligus juga sangat mencintai ilmu dan sastra (al-Attas, 1970; Hoessein Djajadiningrat, 197917-8; Lombard, 1985:45-6; Braginsky, 1999:332; Ibrahim Alfian, 1999:63).

Pada masa-masa inilah, hidup dan muncul beberapa ulama besar, ahli tasawuf, dan sastrawan terkemuka seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, Bukhari al-Jauhari, Abdul Jamal, Hasan Fansuri, dan lain-lain. Ulama dan sastrawan Aceh lain yang terkemuka dan muncul setelah wafatnya Iskandar Muda atau pada akhir abad ke-17 M di antaranya ialah Nuruddin al-Raniri, Syaif al-Rijal, Abdul Rauf Singkel, dan Jamaluddin Tursani. Tokoh-tokoh tersebut adalah penulis prolifik yang menghasilkan bukan saja syair-syair tasawuf, tetapi juga kitab fikih, tafsir al-Qur‘an, ilmu kalam, tasawuf, undang-undang, ketatanegaraan, sejarah, dan hikayat dengan beraneka corak. Mereka menulis dalam bahasa Melayu sebagaimana dalam bahasa Arab, dan di antaranya mereka menyadur dan menerjemahkan karya-karya penulis Arab dan Persia.

Baru pada awal abad ke-18 M, bersamaan dengan mundurnya Kesultanan Aceh Darussalam dan mengecilnya wilayah kekuasaannya, penulis Aceh mulai menulis dalam bahasa Aceh. Sejak itu hingga akhir abad ke-19 M, pusat kegiatan penulisan kitab keagamaan dan sastra Islam dalam bahasa Melayu menyebar ke tempat lain, seperti Palembang, Johor, Riau, Banjarmasin, Siak, Jambi, Kedah, Malaka, Singapura, Batavia, dan lain-lain.
Pengarang dan Karyanya

Taj al-Salatin atau “Mahkota Raja-raja” merupakan kitab pertama mengenai etika, politik, dan pemerintahan dalam bahasa Melayu. Ia selesai ditulis oleh Bukhari al-Jauhari pada tahun 1603 M dan dipersembahkan kepada Sultan ‘Aliuddin Riayat Syah sebagai sumbangan pemikiran seorang cendekiawan untuk membantu sultan dalam menjalankan arah pemerintahan dengan baik. Maklum ketika itu wilayah taklukan kesultanan Aceh sudah sangat luas -meliputi hampir dua pertiga Sumatra dan sebagian tanah Semenanjung khususnya Kedah– dan penduduknya sangat beragam dari segi etnis, agama, dan latar belakang kebudayaan (Braginsky, 1998:325).

Banyaknya salinan naskah kitab ini dan versinya yang ditulis sejak kitab ini muncul hingga akhir abad ke-19 M, menunjukkan bahwa buku ini digemari oleh pembaca kalangan luas dan berpengaruh (Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1983:292). Di samping itu, terdapat beberapa versi terjemahannya dalam bahasa Jawa. Versi Jawa yang terkenal ialah terjemahan Yasadipura II, pujangga Surakarta akhir abad ke-18 M, yang memberi judul Serat Tajussalatin (T. Iskandar, 1965).

Naskah TS yang terkenal ialah koleksi A. Reland (1676-1718 M) yang disimpan di Museum Perpustakaan Universitas Leiden. Naskah ini telah ditransliterasi dan dicetak dalam tiga edisi oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1878. Berdasarkan transliterasi inilah, pada tahun 1878, A. Marre menerjemahkannya ke dalam bahasa Perancis dengan judul Makota Raja-raja, ou La Couronne des Rois, par Bokhari de Djohari (Paris: Maisonneuve). Sebelumnya, Roorda van Eysinga (1827) menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda di bawah judul Der Kroon aller Koningen van Bochari van Djohor. Ia menyebut kitab ini sebagai “Mahkota Segala Naskah Melayu” (de Holander, 1976).

Pengaruh kitab ini bagi perkembangan sastra Melayu juga besar. Versi-versi dari kisah ringkas dalam TS dimasukkan dalam beberapa hikayat dan cerita berbingkai Melayu, seperti Hikayat Isma Yatim dan Hikayat Bakhtiar. Salasilah Kutai, yang ditulis pada abad ke-19, juga memasukkan beberapa uraian tentang kepemimpinan dan manajemen yang terdapat dalam Taj al-Salatin ke dalam pasal-pasalnya (Kern, 1956: 22-24; Braginsky, 1998:325).

Pengaruh TS cukup besar bagi pemimpin Melayu. Hooykaas (1947) mengatakan bahwa ketika diajak oleh Raffles untuk melakukan kerja sama dagang, Sultan Johor Hussain Syah memberi jawaban dengan mengutip bagian-bagian dari kitab ini. Winstedt (1920) menyebutkan bahwa pengarang Melayu abad ke-19 dari Malaka. T. Iskandar (1965) menyatakan bahwa ketika Aceh menyerang Pahang pada awal abad ke-17 M, seorang putra Pahang dibawa ke Aceh. Setelah Sultan Iskandar Muda menilik roman muka anak tersebut berdasarkan ilmu firasah dan qiyafah yang ditulis dalam TS, ia mengambil putra Pahang itu menjadi anak angkatnya. Kelak ia dikawinkan dengan putrinya dan akhirnya dipilih menjadi penggantinya sebagai sultan dengan gelar Iskandar Tsani (1637-1641 M).

Beberapa sarjana sejak abad ke-19 hingga kini berpendapat bahwa TS merupakan saduran dari sebuah kitab Parsi. Tetapi, Braginsky (1998:324-5) menegaskan bahwa TS merupakan karangan asli dari seorang cendekiawan Aceh yang berasal dari Bukhara dan tinggal lama di Aceh. Beberapa bagian dari kitab tersebut mengandung pembicaraan berkenaan realitas Melayu. Misalnya, tentang musim kemarau dan musim hujan, kerbau dan harimau, ukuran timbangan seperti tahil dan lain-lain yang hanya berlaku di negeri Melayu. Ini membuktikan bahwa kitab ini ditulis oleh seorang pengarang yang telah lama tinggal di Aceh dan telah banyak pula mempelajari kehidupan, alam, politik, dan kebudayaan Melayu.

Seandainya kitab yang asli memang ditulis di Persia, tentu masih bisa dicari jejaknya. Namun, berdasarkan bukti yang ada kitab tersebut tidak akan pernah ditemukan. Dalam bagian yang menceritakan tentang sejarah, TS merujuk pada Kitab Tarikh yang ditulis di India karena menyebut nama Sultan Mughal Ke-II, yaitu Humayun (1535-1558 M). Jika demikian halnya, maka sudah pasti kitab ini ditulis sesudah tahun 1556, tahun pada saat Humayun berhasil merebut kembali tahtanya yang lepas di Delhi dan mengakhiri tahun-tahun pengasingannya yang lama di istana Maharaja Safawi di Isfahan (Abdul Hadi W. M., 2000:341). Kitab ini merupakan karangan asli, tetapi menggunakan banyak sumber teks Parsi sebagai rujukan dan kemudian disusun sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga jelas konteks Melayunya, sebagaimana tampak dalam pernyataan yang dikemukakan penulisnya sendiri:

”Maka Bukhari yang hina daripada segala kata mereka yang maha mulia itu menghimpunkan (dalam) perkataan yang indah-indah dan seumpamanya seperti (ber-bagai-bagai bunga yang dipilih dan dikarang” (TS, hal. 6)

Brakel (1969) menamakan TS sebagai “karya atau sastra adab”. Walaupun dalam sastra Arab perkataan adab dipakai untuk menyebut karya sastra secara umum, namun dalam konteks sebutan itu tepat. Dalam sastra Turki pun, kata-kata adab digunakan untuk menyebut karya yang membicarakan masalah etika, politik, dan pemerintahan atau ketatanegaraan. Contoh karya adab dalam sastra Turki yang satu jenis dengan Taj al-Salatin ialah Nasa‘ih al-Vuzara‘ wa al-Umara‘ (Nasihat untuk Para Wazir dan Raja-raja) karangan Sari Mehmed Pasha pada abad ke-17 M. Kitab-kitab seperti ini diilhami terutama oleh Kitab al-Bayan karangan al-Jahiz abad ke-9 M dan Siyasah-namah karangan Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Saljug abad ke-11 M (Abdul Hadi W. M., 2000:16-7).

Sebutan karya Adab untuk TS dan sejenisnya cukup tepat, karena salah satu makna dari perkataan adab ialah sopan santun, tata cara, atau etiket. Adab juga dikaitkan dengan tingkat keterpelajaran dan pendidikan yang diperoleh seseorang. Penyair Arab abad ke-11 M, Abu al-‘Ala al-Ma‘arri dalam bukunya Risalat al-Gufran menghubungkan kata adab dengan kemampuan rasional dan intelektual, termasuk dalam melahirkan karya sastra. Pemikir Muktazilah malah lebih jauh menyebutkan bahwa karya yang tergolong adab ialah karya yang lebih bercorak intelektual dibanding imajinatif. Bahkan, al-Nadim dalam bukunya Kitab al-Fihrist pada abad ke-10 M menyatakan bahwa yang disebut buku adab ialah karya-karya yang mengemukakan masalah sosial, politik, hukum, etika, dan falsafah (ibid).

Dalam bukunya, Bukhari al-Jauhari memang membahas, terutama masalah-masalah politik dan pemerintahan. Dalam pembahasannya itu, ia selalu merujuk pada ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis, serta hikmah (kearifan) yang dikemukakan para cendekiawan dan ulama terkemuka. Uraian tersebut ditopang dengan kisah-kisah perumpamaan yang menarik. Hikmah dan kisah-kisah dicukil dari berbagai sumber dan digubah kembali oleh pengarangnya. Kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan antara lain: (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah (Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin ‘Attar (1188 M); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa‘iz Kasyifi (1494 M); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia, seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami‘ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi, yaitu Humayun (1535-1556 M) (Browne, 1976:203).

Sebenarnya apa yang dikemukakan dalam TS terkait dengan berbagai persoalan hangat yang sedang dihadapi masyarakat Aceh pada akhir abad ke-16 dan awal 17 M. Pertama, Sultan ‘Aliuddin Riayat Syah sudah uzur dan krisis kepemimpinan mulai dirasakan kembali di Aceh. Dua orang putra beliau sudah tidak sabar untuk naik tahta dan terus-menerus bersengketa. Kekerasan mewarnai kehidupan politik di Aceh. Malang tak dapat dielakkan, pada tahun 1604 M, salah seorang putra Aliuddin, yang menamakan dirinya sebagai Sultan Muda, merebut tahta dari ayahnya dan memasukkan raja yang sudah uzur itu ke dalam penjara. ‘Aliuddin wafat pada tahun itu juga, sementara Aceh terus dilanda kekacauan. Pada tahun 1607 M, cucu ‘Aliuddin, Johan Perkasa Alam, berhasil merebut tahta dari tangan pamannya melalui jalan kekerasan dan menjuluki dirinya sebagai Sultan Iskandar Muda. Di bawah pemerintahannya, Aceh benar-benar memasuki zaman keemasan di bidang politik, ekonomi, perdagangan, dan sebagai pusat kegiatan intelektual Islam. Kedua, walaupun dilanda krisis, Aceh terus meluaskan wilayah. Daerah-daerah di pedalaman tanah Karo dan Mandailing berhasil ditaklukkan dan sebagian penduduknya berhasil pula diislamkan. Begitu pula halnya pesisir barat Sumatra, di antaranya Barus--kota kelahiran Hamzah Fansuri--yang ketika itu masih merupakan kerajaan kecil yang merdeka, sehingga peran Kota Barus merosot sebagai pelabuhan dagang digantikan oleh Aceh Darussalam (Hussein Djajadiningrat, 1979:45-6; Lombard, 1986:93-5).

Dengan ditaklukannya sebagian tanah Karo dan Batak, penduduk Aceh semakin majemuk. Di sana terdapat penganut agama yang bermacam-macam, suku bangsa yang beranekaragam, di samping beberapa komunitas keturunan asing, seperti Arab, India, Parsi, Cina, Siam, dan Eropa. Dalam upaya menanggapi keadaan ini, agaknya Bukhari al-Jauhari tidak tinggal diam. Dia berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memerintah sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, ras, dan agama.

Setelah menjelaskan maksud penulisan kitabnya dan sejumlah buku rujukan, Bukhari al-Jauhari dengan meniru gaya penulis Parsi seperti Sa‘di (penulis Bustan dan Gulistan) kemudian mengatakan bahwa kitabnya seumpama Bunga Satin, yaitu bunga dari segala bunga yang harum semerbak di taman hikmah. Tetapi, pengarang berharap, janganlah gaya bahasanya saja yang diperhatikan, karena yang jauh lebih penting lagi ialah isi dan hikmah yang terkandung dalam kitab karangannya itu.

Walaupun TS lebih merupakan karya bercorak intelektual dan didaktis, namun aspek sastra dan estetiknya juga menonjol. Aspek sastranya diperlihatkan pertama-tama dalam gaya bahasanya serta dalam penggunaan kisah-kisah untuk menjelaskan tema-tema tertentu yang dibahas dalam pasal-pasalnya, seperti tentang perbuatan raja yang adil dan zalim, tindakan mereka terhadap rakyatnya dan orang berilmu. Hikmah yang dikandung kisah-kisah itu juga dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis tertentu. Apalagi selain kisah-kisah yang diambil dari peristiwa sejarah Parsi, dan dari cerita rakyat Arab serta Parsi, juga terdapat kisah-kisah yang dipetik dari al-Qur‘an, khususnya kisah nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Tidak jarang cerita yang dikemukakan juga berperan sebagai titik tolak penafsiran terhadap teks suci dan berfungsi menekankan makna lebih jauh dari pokok persoalan yang dibahas.

Aspek sastra yang tidak kalah pentingnya, walaupun tidak begitu ditonjolkan, ialah adanya puisi-puisi yang diselipkan pada tengah atau akhir pembicaraan. Puisi-puisi itu ditulis dalam bentuk persajakan Parsi, seperti matsnawi (bentuk puisi yang persajakannya longgar dan bersifat naratif), ruba‘i (sajak empat baris dengan bunyi akhir AABA atau AAAA, baris ketiga berupa interpolasi), qit‘ah (epitaf, sajak ringkas), dan ghazal (sajak cinta empat baris dengan bunyi akhir AAAA). Misalnya, seperti terlihat pada sajak dalam pasal pertama yang membicarakan kejadian manusia dan ditulis dalam bentuk qit‘ah:

Jikalau kulihat dalam tanah ihwal sekalian insan
Tiadalah dapat kubedakan antara rakyat dan sultan
Fana jua sekalian yang ada, dengar Allah berfirman:
Kullu man ‘alayha fanin, yaitu
Barang siapa yang di atas bumi itu lenyap jua

(TS, 24)
Atau sajak pada bagian akhir pasal pertama yang juga ditulis dalam bentuk qit‘ah:
Subhana Allah apa hal jadinya segala manusia
Yang tubuhnya dalam tanah jadi dulia yang sia-sia
Tanah itu dijadikan tubuhnya kemudian
Yang ada dahulu padanya terlalu mulia

(TS, 25)
Braginsky (1998:332) mengemukakan bahwa sajak-sajak dan kisah-kisah yang digunakan dalam TS merupakan sarana estetik yang lazim digunakan oleh para penulis Muslim Arab dan Persia. Kisah-kisah dan sajak-sajak ini berperan sebagai butir-butir permata yang mengitari permata yang lebih besar, yang merupakan titik sentral seluruh pembahasan, yaitu keadilan (‘adil). Keadilan inilah yang dimaksud pengarang sebagai Mahkota Raja-raja. Syarat untuk menegakkan keadilan ialah adanya kearifan dan kematangan berpikir. Karena itu, ilmu, hikmah, dan akal budi sangat penting bagi seorang pemimpin untuk menopang kemuliaan dan martabat dirinya, sehingga dengan demikian mahkotanya dapat menerangi kerajaan.
Isi dan Susunan Buku

Sebagaimana kitab karangan penulis Islam pada umumnya, kitab ini dimulai dengan doa dan puji-pujian kepada Allah Yang Maha Kuasa, kemudian dilanjutkan dengan salawat kepada Nabi Muhammad SAW, seluruh keluarga, dan para sahabatnya. Dalam mukadimah bukunya itu, Bukhari al-Jauhari menyatakan bahwa hanya Tuhan yang mempunyai hukum di dunia ini dan Dialah yang paling keras hukumnya. Hukum di sini hendaknya ditafsirkan sebagai hukum agama, hikmah, ataupun hukum alam. Semua itu berada di bawah kekuasaan Tuhan.

Penulis TS menekankan pentingnya hikmah dan ahli hikmah (hakim), yaitu para filosof, karena mereka mengutamakan akal budi untuk memecahkan persoalan-persoalan di atas dunia. Di antara ahli hikmah yang disebut oleh Bukhari ialah Aristóteles, penasehat agung Iskandar Zulkarnain. Aristoteles dikenal sebagai filosof yang meletakkan dasar-dasar pemikiran rasional dalam sejarah falsafah. Kodrat akal, menurut Bukhari, ialah keinginannya untuk mengetahui segala sesuatu dan menyampaikan apa yang diketahuinya. Tetapi, manusia sering dikuasai oleh hawa nafsunya, sehingga menggunakan akal budinya bukan untuk kepentingan yang benar dan sejalan dengan ajaran agama. Agar supaya akal berjalan di atas jalan yang benar, maka ia harus dibimbing oleh wahyu ilahi yang disampaikan melalui kitab suci-Nya, al-Qur‘an. Hanya dengan bimbingan wahyu ilahi, akal pikiran dapat dijadikan sarana yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Dengan bimbingan wahyu ilahi pula, akal budi dapat dijadikan sarana bagi manusia untuk mengenal dirinya, asal-usul kejadiannya, dan hakikat keberadaannya di dunia.

Kitab ini disusun dalam 24 pasal yang membicarakan berbagai persoalan kehidupan manusia, khususnya yang berhubungan dengan moral atau etika. Tujuannya ialah memberikan pedoman bagi raja dan pemimpin dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Pasal pertama, mengenai cara-cara manusia mengenal dirinya agar supaya mengetahui asal-usul kejadiannya dan untuk tujuan apa Tuhan menciptakan manusia. Manusia dijadikan sebagai mahkluk yang sempurna dari segi jasmani maupun rohani. Ia adalah khalifah Tuhan di dunia dan sekaligus adalah hamba-Nya.

Pasal kedua, menyatakan peri (cara berbuat) mengenal Tuhan selaku Pencipta, dari mana manusia berasal, dan akan kemana manusia pergi.

Pasal ketiga, membicarakan arti kehidupan di dunia. Manusia hidup di dunia diumpamakan sebagai seorang musafir yang singgah sebentar di negeri asing dan dalam perantauannya itu harus berusaha mengumpulkan bekal untuk dibawa pulang ke kampung halamannya di akhirat. Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan pengetahuannya yang benar tentang Tuhan.

Pasal keempat, menyatakan peri kesudahan segala kehidupan di dunia. Digambarkan betapa sukar dan pilunya manusia melepaskan nafasnya sebagai penghabisan di hadapan sang maut. Manusia harus senantiasa ingat bahwa setiap orang itu akan merasakan mati, tidak terkecuali seorang raja.

Empat pasal pertama ini dapat dianggap sebagai Bagian Pertama, yang merupakan landasan ideal bagi pembicaraan dalam bab-bab selanjutnya. Bagian Kedua, memuat pasal-pasal yang membicarakan masalah keadilan, raja-raja adil dan tidak adil, baik Muslim maupun non-Muslim, yaitu pasal 5, 6, 7, 8, dan 9.

Pasal kelima, membicarakan arti adil dan keadilan, tanda-tanda kebesaran dan kemuliaan seorang raja, kekuasaan dan kedaulatan negeri yang diperintahnya.

Pasal keenam, membicarakan metode pelaksanaan keadilan dalam pemerintahan. Kitab suci al-Qur‘an menyuruh manusia berbuat adil dan baik (ihsan) di dunia, sebab hanya dengan pedang keadilan dan pekerti yang ihsan ia bisa menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan sebagai hamba-Nya dalam arti sesungguhnya. Amanat itu terlebih-lebih dibebankan pada seorang raja atau pemimpin yang memiliki kekuasan yang lebih dari orang lain untuk mengatur kehidupan. Menurut Bukhari, keadilan adalah pangkal kedamaian dan keselamatan dunia.

Pasal ketujuh, membicarakan pekerti raja-raja yang adil, keharusannya bergaul dengan para ulama, cendekiawan, ahli hikmah, dan orang arif. Raja yang adil dapat menjaga dan melindungi rakyatnya dari perbuatan zalim para pembesar kerajaan. Dia tidak boleh hanya mendengar dari menteri dan pegawai kerajaan mengenai keadaan negeri dan rakyat, tetapi harus melihat sendiri keadaan negeri dan rakyatnya. Juga dikemukakan bagaimana raja pada zaman dahulu kala selalu membagi waktu dengan baik, yaitu: (1) Untuk melakukan kewajiban yang diperintahkan agama; (2) Untuk melakukan kewajiban terhadap pemerintahan; (3) Kapan waktu makan dan tidur; (4) Kapan waktu untuk beristirahat dan bersenang-senang dengan istri dan keluarga.

Pasal kedelapan, membicarakan raja kafir tetapi adil, khususnya Raja Nusyirwan. Dalam fasal ini juga dibicarakan peranan penting akal budi dalam kehidupan manusia, khususnya pemimpin dan raja.

Pasal kesembilan, menyatakan raja-raja yang zalim. Digambarkan bahwa raja yang zalim merupakan bayang-bayang iblis dan khalifah setan di muka bumi. Raja semacam itu sebagai kebalikan dari raja adil, yang merupakan bayang-bayang dan sekaligus khalifah Tuhan di muka bumi.

Kelima pasal yang dapat dianggap sebagai Bagian Kedua dari isi kitab ini, sebenarnya merupakan tema pokok dari buku ini. Bagian Ketiga terdiri dari pasal kesepuluh, yang membicarakan segala menteri dan penasehat raja; pasal kesebelas, membicarakan pekerjaan seorang sekretaris kerajaan dan para penulis pada umumnya; pasal kedua belas, membicarakan pekerjaan seorang utusan; pasal ketiga belas, membicarakan keadaan pegawai kerajaan.

Bagian Keempat adalah pasal-pasal terakhir yang membicarakan kelengkapan-kelengkapan yang diperlukan oleh seorang raja, seperti cara berdiplomasi dan berhubungan dengan pemimpin lain, cara-cara memelihara anak dan melindungi rakyat. Pasal keempat belas, membicarakan cara-cara mendidik anak; pasal kelima belas, membicarakan cara menghemat uang negara; pasal keenam belas, membicarakan kedudukan akal budi; pasal ketujuh belas, membicarakan ilmu qiyafah dan firasat; pasal kesembilan belas, membicarakan tanda qiyafah dan firasat; pasal kedua puluh, membicarakan hubungan rakyat beragama Islam dengan rajanya yang beragama Islam; pasal kedua puluh satu, membicarakan rakyat yang tidak beragama Islam dan hubungannya dengan raja Islam; pasal kedua puluh dua, membicarakan pentingnya kedermawanan dan kemurahan hati; pasal kedua puluh satu, membicarakan wafat; pasal kedua puluh empat, menyatakan kesudahan kitab ini.

Bukhari membuka pasal 1 bukunya dengan mengutip sebuah hadis qudsi berbunyi, ”Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” yakni, ”Barang siapa mengenal Tuhannya akan mengenal dirinya”. Katanya selanjutnya, “bermula dari arti hadis ini nyatalah bahwa yang tiada dapat tiada daripada mengenal dirinya manusia pada pertama, maka dapat ia mengenal Tuhannya pada kemudiannya, karena jika manusia itu tiada mengenal dirinya dan tiada mengetahui akan perinya itu, maka tiadalah dapat ia mengena; maut pun daripada barang sesuatu yang ada ini” (TS 10).

Mengenal diri yang dimaksudkan penulis TS bukan semata-mata mengenal rupa diri jasmani, tetapi juga diri rohani, serta bagaimana tubuh dan jiwa ini dijadikan oleh Sang Pencipta, dan apa yang bisa dilakukan jika waktu sudah berlalu dan umur semakin berangkat senja. Manusia diciptakan dari setitik air mani, yang kemudian tumbuh menjadi badan jasmani lengkap dengan anggota tubuh dan sarana kejiwaan serta kerohaniannya. Mengenal kejadian tubuh dan jiwa sangat penting, karena dengan itu seseorang akan menyaksikan kebesaran Tuhannya, pekerjaan-Nya yang kreatif dan sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang (al-Rahman dan al-Rahim). Bukhari percaya bahwa manusia dicipta dari tiada menjadi ada dengan tujuan spiritual tertentu. Apabila seseorang mengenal hakikat kejadian dirinya dan tujuan Tuhan mencipta manusia, manusia akan arif dan mampu mengenal tujuan hidup yang sebenarnya di dunia. Dengan demikian, seseorang dapat melakukan pekerjaan yang bermakna sehingga keberadaannya juga bermakna. Bukhari mengatakan:

”Hai yang berbudi lihatlah daripada dirimu dan jangan kamu lihat pada anggota (tubuh, tetapi) lihat pada segala peri dan perbuatan (yang menjadikan) kamu daripada sesuatu perbuatan itu nyatalah keadaan Allah Subhana wa Ta‘ala itu dan pada segala perbuatan yang indah-indah ini daripada kuasa Allah Ta‘ala jua tiada lain dari Tuhan yang menjadikan.” (TS 15)

Selanjutnya, diterangkan bahwa manusia adalah cermin bagi manusia lain. Begitu pula orang beriman adalah cermin bagi orang beriman lain. Mereka wajib saling menegur dan menasihati antar sesama. Jika seseorang mau melihat ke dalam cermin itu secara mendalam dan mau merenung, akan tampak baginya pantulan bayangan keindahan Tuhan. Keindahan Tuhan yang dimaksud di sini ialah pekerjaan Tuhan yang kreatif dan sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang. Orang beriman wajib mengenal dirinya secara mendalam, sebab hanya dengan jalan demikian dia bisa mengenal Tuhannya secara mendalam. Semua itu dilakukan untuk meningkatkan keimanannya. Kitab suci al-Qur‘an menyatakan bahwa manusia adalah khalifah Allah di atas bumi, yang diciptakan menurut gambaran-Nya. Itulah hakikat keberadaan manusia di dunia. Untuk dapat menjadi khalifah-Nya, manusia pertama-tama harus mampu menjadi hamba-Nya yang sebenarnya, dalam arti menaati segala perintah-Nya dan menjauhkan diri dari larangan-Nya.

Pasal 2, dimulai dengan kutipan al-Qur‘an, Surah al-Jin ayat 56, dan mengatakan, ”Adapun hak Subhana wa Ta‘ala menjadikan sekalian manusia dan segala jin (dengan maksud) dari mengenal dzat-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya segala mereka itu dan nyata kekuasaan Tuhan akan segala hamba-Nya” (TS, 28). Walaupun memempatkan akal pada kedudukan yang tinggi, namun Bukhari menolak pandangan kaum Muktazilah (rasionalis) yang berpendapat bahwa al-Qur‘an itu makhluk (diciptakan) dan karena tidak kekal. Menurut Bukhari, ”Bermula al-Qur‘an itu firman Allah Ta‘ala juga qadim (kekal) bukan makhluk, dan ia disuratkan dalam segala nasihat kita, dihafalkan dalam segala hati kita, dibaca dengan segala lidah, didengar dengan semua pendengar, dan diturunkan (diwahyukan oleh Allah) kepada Nabi Muhammad SAW” (TS, 30). Bukhari juga menjelaskan bahwa Allah merupakan Tuhan Yang Trasenden (tanzih), artinya tiada berupa dan tiada berhingga serta tiada berbilang, tiada betapa, tiada bertempat, dan tiada berwaktu. Ia merupakan Dzat Maha Tinggi yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya, qudrat-Nya, dan sifat-sifat-Nya.

Pasal 3 tidak kurang pentingnya, karena merupakan landasan utama pembahasan mengenai keadilan dan raja-raja yang adil di dunia. Menurut Bukhari, walaupun dunia ini pada hakikatnya merupakan perhentian sementara, namun artinya tidak kecil bagi manusia. Sebab di dunialah manusia mengumpulkan bekal untuk dibawa pulang ke kampung akhirat. Bekal yang harus dibawa bukanlah harta benda, kedudukan, dan kekuasaan, melainkan amal saleh. Seseorang dapat beramal saleh jika dapat membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang salah dan yang benar. Untuk itu, seorang pemimpin harus menguasai ilmu agama dan memahami kitab suci. Orang beriman juga harus senantiasa ingat mati. Dengan ingat mati, seseorang akan ingat Tuhan dan kemahakuasaan-Nya, serta selalu berhati-hati dalam segala pekerti dan tindakannya di dunia (TS, 36).

Hidup manusia adalah sebuah perjalanan dari Yang Abadi menuju Yang Abadi. Dalam perjalanannya itu ia harus melalui tempat-tempat perhentian tertentu dan singgah sesaat di situ. Tempat-tempat perhentian itu ialah: Pertama, salbi, yaitu alam primordial atau alam misal, ketika manusia masih berupa benih dalam angan-angan ayahnya, sedang ruhnya masih berada di tangan Sang Pencipta dan belum dihembuskan ke dalam badan jasmaninya; kedua, rahim ibu, selama lebih kurang sembilan bulan; ketiga, alam dunia, tempat manusia berusaha dan berbakti pada kehidupan; keempat, alam kubur, tempat terbaring sebatang kara; kelima, hari kiamat, tempat amal baik dan buruknya ditimbang; keenam, surga atau neraka yang merupakan tempatnya yang kekal. Dunia merupakan salah satu perhentian penting, oleh karena itu wajib manusia itu mengenal dunia dan makna keberadaan dirinya sebaik-baiknya (TS, 36-7).

Dalam pasal 4, dibicarakan persoalan maut. Dimulai dengan kutipan al-Qur‘an, Surah Ali Imran 184 (”Segala yang bernyawa akan merasai mati”) dan Surah al-Rahman 26-7 (”Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah Tuhan yang Maha Besar dan Mulia”). Bukhari mengingatkan pentingnya maut, supaya ingat akan hukuman Tuhan di hari kemudian bagi orang yang berdosa, khususnya raja-raja yang zalim. Ada dua hal yang dihadapi manusia di muka bumi ini. Pertama ialah mereka yang sibuk mencari harta dan mencintai dunia secara berlebihan, sehingga dia lupa bahwa kelak ia akan mati. Orang semacam itu sebenarnya bebal, kurang budinya. Kedua ialah orang yang bahagia dalam hidupnya, karena tahu bahwa dunia ini pada dasarnya buas dan jahat, tiada kekal dan ingat akan mati. Orang seperti itu tidak mencintai dunia secara berlebihan, tetapi bersungguh-sungguh mencari perbekalan untuk dibawa pulang ke akhirat, yaitu dengan banyak beramal saleh (TS JJ, 25).
Raja sebagai Ulil ‘Albab

Telah dikatakan bahwa dalam hakikatnya manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Tugas kekhalifahan itu lebih berat lagi diemban oleh seorang raja atau pemimpin. Seorang raja mengemban amanat yang berat, karena ia memiliki kekuasaan yang lebih dari orang lain untuk mengatur kehidupan, mengembangkan arah peradaban manusia. Seorang raja adalah pelaku utama sejarah kemanusiaan, serta teladan utama bagi rakyat dan bawahannya. Dalam pasal yang membicarakan persoalan ini, Bukhari al-Jauhari merasa perlu menceritakan kepemimpinan nabi-nabi, khususnya Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, dan Nabi Muhammad SAW. Mereka memiliki kekuasaan untuk memerintah kaumnya, tetapi tetap hidup sederhana dan tidak terbelenggu oleh materialisme dan kemegahan duniawi. Mereka menjalankan kekuasaan untuk tujuan spiritual, bukan untuk sekedar tujuan material. Teladan lain ialah sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Umar bin Khattab. Dalam menjalankan hukum, ia tidak memandang bulu dan selalu berusaha menjauhkan diri dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Umar menghukum anaknya sendiri karena kedapatan memperkosa seorang gadis.

Contoh raja adil lain yang dikemukakan ialah Umar ibn Abdul Aziz dan Abdul Rahman, dua khalifah dari Daulah Umayyah (662-749 M). Mereka adalah pemimpin yang arif, jauh dari KKN, dapat mengendalikan hawa nafsu serta melindungi rakyatnya dari tindakan sewenang-wenang para pejabat negara. Contoh lain ialah Harun al-Rasyid, khalifah dari Daulah Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M) yang memegang tampuk pemerintahan antara akhir abad ke-8 hingga awal abad ke-9 M. Harun al-Rasyid, yang sering muncul sebagai tokoh utama dalam Alfa Layla wa Layla (Kisah Seribu Satu Malam), tidak pernah puas menerima informasi dari para menteri dan pegawainya. Dia sering ke luar istana pada malam hari dengan menyamar untuk mendengar langsung keluhan dan kritik dari rakyatnya terhadap pemerintahannya. Selain itu, ia juga seorang pencinta ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya, ia mendirikan Khizanat al-Hikmah, sebuah lembaga ilmu pengetahuan yang bertugas menerjemahkan kitab-kitab falsafah dan ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani, India, Cina, dan Persia ke dalam bahasa Arab. Lembaga ini juga berfungsi sebagai penerbit, perpustakaan, dan pusat pendidikan. Pada masa pemerintahannya, sepertiga penduduk Baghdad adalah tamatan universitas (Abdul Hadi W. M., 2000: 203-5).

Raja yang adil, seperti Umar bin Khattab, Harun al-Rasyid, Umar ibn Abdul Aziz, Abdul Rahman, dan Nusyirwan (Raja Parsi abad ke-6 M dari Daulah Sassaniyah), dapat dipandang sebagai khalifah Tuhan dalam arti yang sebenarnya dan layak dijuluki sebagai Zill Allah fi‘l-ardh (Bayang-bayang Tuhan di muka bumi). Sedangkan raja yang zalim, selain bebal dan tidak peduli terhadap ilmu pengetahuan, juga aniaya terhadap dirinya, Tuhannya, dan manusia lain. Mereka lebih senang mengumbar hawa nafsunya dan senantiasa berlaku kejam terhadap rakyatnya. Karena itu mereka pantas disebut sebagai Bayang-bayang Iblis dan Khalifah Setan di muka bumi (KH, 60).

Pada bagian akhir pasal 5, Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk (karangan Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Dinasti Saljug abad ke-11 M) tentang syarat-sayat seorang raja. Seorang raja yang baik adalah seorang Ulil Albab, yaitu orang yang berilmu pengetahuan, menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan pemerintahan. Adapun syarat menjadi raja itu ada sepuluh:

Pertama, akil baligh atau dewasa, dan berpendidikan. Dengan demikian, ia akan dapat membedakan yang baik dan yang jahat;

Kedua, seorang raja itu mesti memiliki ilmu pengetahuan yang banyak dan punya wawasan yang luas;

Ketiga, seorang raja mesti pandai memilih menteri. Menteri yang dipilih hendaknya

pandai dan berilmu pengetahuan, dengan demikian dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai bidangnya;

Keempat, hendaklah raja itu baik rupanya supaya semua orang menyukai dan mencintainya. Jika rupanya kurang baik, hendaklah budi pekertinya tinggi;

Kelima, hendaknya pemurah dan dermawan, sebab pemurah itu sifat bangsawan dan orang berbudi, sedang kikir itu sifat orang musyrik dan murtad;

Keenam, senantiasa ingat kebajikan orang yang pernah membantunya selama dalam kesukaran, dan membalasnya dengan kebajikan pula;

Ketujuh, hendaklah raja itu berani menegur jenderal dan panglima perang, jika yang terakhir ini memang menyalahi perintah dan undang-undang;

Kedelapan, jangan terlalu banyak makan dan tidur, sebab banyak makan dan tidur merupakan sumber bencana;

Kesembilan, tidak gemar main perempuan, sebab gemar akan perempuan bukanlah tanda orang berbudi;

Kesepuluh, raja hendaklah laki-laki, sebab perempuan lebih suka memerintah di belakang layar dan sering menurutkan emosi dibanding pertimbangan akal sehat. Perempuan dapat dijadikan raja apabila tidak ada pemimpin laki-laki yang patut dirajakan, asal saja dijaga jangan sampai mendatangkan fitnah (KH, 63-4).

Uraian yang menarik dalam kitab ini ialah tentang akal atau budi, serta kedudukan akal dalam kehidupan manusia. Pengarang menyebutkan bahwa dalam bahasa Arab, akal (al-‘aql) dikiaskan sebagai gua yang terletak di atas bukit yang tinggi dan sukar dicapai. Untuk menerangkan kedudukan akal, Bukhari al-Jauhari mengutip sebuah hadis qudsi dan menerangkan kisah Raja Nusyirwan I, Maharaja Parsi dari Dinasti Sassan abad ke-6 M yang selain dikenal adil. Selain itu, ia mencintai ilmu pengetahuan dan mendirikan lembaga pendidikan tinggi. Nusyirwan I juga dicintai oleh rakyatnya karena tidak seperti raja-raja Parsi lain yang membebani rakyat dengan pajak yang tinggi. Nusyirwan menetapkan pajak yang ringan bagi rakyat kebanyakan.

Ketika Nusyirwan ditanya mengenai kedudukan akal oleh seorang hakim, ia mengatakan bahwa akal merupakan perhiasan kerajaan dan tanda kesempurnaan raja-raja Parsi. Orang yang berakal budi disamakan dengan pohon yang elok dan lebat buahnya. Buah-buahnya bukan saja enak dan berguna, tetapi menimbulkan keinginan orang untuk mencintainya. Sebaliknya, raja yang zalim dan tidak pernah menggunakan akal budinya dengan baik, bagaikan pohon yang buruk dan tidak pernah berbuah. Karena itu, ia dijauhi dan tidak disukai orang beriman dan terpelajar, serta dijauhi rakyat. Yang mau mendekatinya hanya orang bebal dan jahat, yang berkepentingan dengan harta dan kedudukan (TS, 126). Ini ditegaskan dalam pernyataan dan puisi yang terdapat dalam pasal ini:

Qaul Allah Ta‘ala, ‘Fattaqu‘lLahu, ya Ulil‘l-albabi, artinya takutlah kamu akan Allah Ta‘ala, hai segala orang berbudi. Adapun ulil‘l-albabi dikatakan akan segala orang yang berbudi itu, dan budi itu pada bahasa Arab banyak namanya, dan termasyhur daripada segala namanya itu akal jua, dan sepatah kata akal segala ahli ilmu mengeluarkan daripada akal, dan akal pada bahasa Arab mengatakan akan sesuatu gua yang di atas bukit yang maha tinggi itu sukar sampai tangan orang padanya, lagi seperkara akal pada bahasa Arab mengatakan akan barang suatu yang teguh adanya itu. Maka daripada kebesaran budi itu Hadrat Nabi yang sempurna budinya itu bersabda: ‘Awwal ma khalaqa‘ lLahu‘l-‘aql‘, artinya: pertama yang dijadikan Allah itulah akal jua… Adapun dalam Kitab Sifatu‘l-‘Aqal wa‘l-‘Aqil dikata wujud manusia itu seperti suatu negeri yang makmur, dan raja negeri itu budi itulah, dan menterinya itu musyawarah, dan pesuruhnya lidah, dan suratnya itu katanya. Maka daripada kelakuan pesuruh dan daripada peri katanya itu nyatalah peri rajanya dan kebajikan kerajaannya, seperti berkata Bukhari:

Dengar olehmu hai budiman
Budi itulah sesungguhnya pohon ihsan
Karena ihsan itu peri budinyalah
Jika lain, maka lain jadilah
Orang yang berbudi itu kayalah
Yang tidak berbudi itu papalah
Jika kaudapat arti alam ini
Dan budi kurang padamu di sini
Sia-sialah jua adamu
Dan sekali pula sia-sia namamu
Jika kamu hendak menjadi kaya
Mintalah budi padamu cahaya
Hai Tuanku, Bukhari faqir yang hina
Pada budi minta selamat senantiasa

(TS, 167-78)
Apa saja tanda-tanda seorang raja yang berakal budi dan selalu bertindak berdasarkan pertimbangan rasionya? Bukhari al-Jauhari antara lain menyebutkan sebagai berikut: Pertama, bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, berusaha menggembirakan hatinya dan mengampuni bila benar-benar bertobat; Kedua, rendah hati kepada orang yang berkedudukan lebih rendah dan hormat kepada orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi; Ketiga, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan terpuji; Keempat, membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya; Kelima, senantiasa menyebut nama Allah dan meminta ampunan dan petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur; Keenam, mengatakan apa yang benar-benar dilihat dan diketahui, sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu berita; Ketujuh, dalam kesukaran selalu bergantung pada Allah SWT dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal saja mau berikhtiar dan banyak berdoa serta memohon ampunan-Nya (ibid).

Bukhari kemudian mengutip Imam al-Ghazali, dari kitabnya Ihya‘ Ulumuddin, yang menyatakan bahwa kedudukan akal dalam tubuh manusia seperti raja dalam sebuah negeri. Sebuah negeri akan baik apabila raja yang memerintah melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin yang adil, arif, dan ihsan, yaitu menggunakan akal budinya dengan sebaik-baiknya (KH, 168). Raja yang adil, arif, dan ihsan memenuhi lima syarat: Pertama, memiliki ingatan yang baik (hifz); Kedua, memiliki pemahaman yang benar atas berbagai perkara (fahm); Ketiga, tajam pikiran dan luas wawasan (fikr); Keempat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan untuk semua lapisan dan golongan masyarakat; Kelima, menerangi negeri dengan cinta dan kasih sayang (nur). Sebuah negeri diibaratkan sebagai manusia. Di situ raja merupakan akal budinya. Menteri-menteri ialah keseluruhan pertimbangan berdasarkan pikiran dan hati nurani, yang dilakukan melalui musyawarah; pesuruhnya (para pegawai) ialah lidah; suratnya ialah kata-katanya yang tidak sembarangan dan tidak menimbulkan fitnah (KH, 126).

Dari pernyataan-pernyataannya dapat diperkirakan bahwa Bukhari al-Jauhari adalah penganut madzhab Maturidi dalam teologi dan madzhab Hanafi dalam fikih. Kedua madzab ini banyak dianut di Asia Tengah, khususnya Bukhara, tempat leluhur Bukhari al-Jauhari. Dalam kitabnya, di antara pemimpin 4 madzhab fikih, hanya Imam Hanafi yang disebut-sebut. Madzhab Maturidi berbeda dari madzhab Asy‘ari, yang kini dianut sebagian besar ulama Indonesia. Madzhab Maturidi dalam menggali asas teologi Islam, selain berpegang pada sumber-sumber al-Qur‘an dan hadis (menggunakan dalil naqli), juga menggunakan pendekatan rasional (dalil ‘aqli). Sedangkan madzhab Asy‘ari hanya berpegang pada dalil naqli. Dalam bidang fikih, madzhab Hanafi selain menggunakan dalil naqli, juga memakai dalil ‘aqli. Sedangkan madzhab Syafi‘i, yang dianut sebagian besar ulama Indonesia, hanya berpegang pada dalil naqli. Karena itu, madzhab Maturidi dan Hanafi terbuka bagi pintu ijtihad (pembaharuan), sedangkan madzhab Asy‘ari dan Syafi‘i cenderung menutup pintu ijtihad (Ali Hasymi, 1995:1275-91).
Adil, Adab, dan Ulil Albab

Pasal terpenting kitab ini tentu saja fasal 6 yang membicarakan keadilan, karena keadilan merupakan tema sentral Taj al-Salatin. Bukhari menghubungkan keadilan dengan adab dan ulil albab. Ia mengutip al-Qur‘an, Surah al-Nahl ayat 90, “Inna‘l-Lahu ya‘muru bi‘l-‘adl wa‘l-ihsan”–-Sesungguhnya Allah ta‘ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Adapun adil ialah benar dalam pekerjaan/perbuatan dan perkataan, sedangkan ihsan ialah kebajikan dalam berbuat, bekerja, dan berkata-kata. Hadis Nabi juga menyebutkan bahwa adil itu tanda kemuliaan agama, sumber kekuatan seorang raja dan pangkal kebajikan insan.

Setelah itu, Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab al-Khairat al-Mulk, yang menyatakan bahwa raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman. Hadis lain yang dikutip ialah yang menyebutkan bahwa, ”Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu surga dan mengalami kesukaran untuk meraih rahmat Allah (TS, 67-8). Uraian dalam pasal ini dapat dirujuk pada uraian dalam pasal sebelumnya, khususnya bagian yang mengemukakan pemimpin ideal, seperti Nabi Musa as, Nabi Sulaiman as, Nabi Yusuf as, dan Nabi Muhammad SAW. Mereka memimpin kaumnya dan memerintah sebuah kerajaan untuk tujuan spiritual, bukan semata-mata untuk tujuan material. Karena itu, mereka rela berkurban demi kepentingan bangsa, kaum, dan umat, dan tidak menggunakan kekuasaannya untuk menumpuk harta dan makan kenyang (TS, 52-3). Sedangkan apabila dirujuk pada pasal 1, 2, dan 3, yang dimaksud adil oleh penulis kitab ini ialah sikap yang benar terhadap Tuhan, diri sendiri, manusia lain, serta dunia. Pengertian ini harus ditempatkan dalam konteks bahwa manusia itu adalah khalifah Tuhan di muka bumi dan hamba-Nya sekaligus.

Bilamana kedua hal itu, yakni adil dan ihsan itu, terdapat ”pada manusia maka baik adanya, dan bila ada keduanya pada raja lebih baik lagi” (TS, 67). Adil bukan saja tanda kemuliaan seseorang dalam pandangan agama, tetapi juga sumber kebajikan manusia. Lagi kata Bukhari, ”Raja itu umpama nyawa dalam tubuh, apabila nyawa bercerai dari tubuh nisacaya tubuh binasa” (TS, 68). Ini dapat ditafsirkan bahwa bagi penulis TS raja harus menyatu dengan rakyatnya dan tidak terasing. Caranya menyatu ialah dengan memberikan perhatian penuh pada nasib rakyat serta menjalankan pemerintahan secara adil dan benar. Kata Bukhari al-Jauhari:

“Adapun dalam Kitab Adab al-Salam dikatakan tiada dapat tidak akan raja yang adil itu mengetahui ihwal negerinya dan peri perbuatan hulubalangnya dan pekerjaan hambanya dan pekerti segala rakyatnya. Barangsiapa yang dengan ingatnya demikian…dialah raja yang adil dengan pekertinya, karena apabila tahu baik jahat segala yang bergantung pada kerajaannya itu adalah dibenarkan akan kebajikan kerajaan itu…” (TS, 72)

“Raja yang adil umpama matahari adanya, menghukumkan dengan hukum yang adil. Raja yang demikian memperoleh naungan Tuhan” (TS, 69). Sebaliknya, raja-raja yang tidak adil atau zalim adalah mendung tebal yang membuat bumi gelap gulita. Raja yang demikian berbeda antara perkataan dan perbuatan, selalu menuruti hawa nafsunya, tidak ingat perintah dan larangan Tuhan serta sunnah Rasul-Nya. Lupa pada dirinya dan tidak mengerjakan tugas pokok yang diembannya sebagai seorang raja. Maka, dia menjadi bayang-bayang iblis dan khalifah setan, musuh Tuhan dan Nabi. Ia melupakan rakyatnya dan hanya mengingat dirinya sendiri (TS, 60). Tentang raja yang demikian, Bukhari al-Jauhari merujuk pada hadis ”Barangsiapa daripada raja-raja yang tiada kasihan pada rakyat itu diharamkan Allah Ta‘ala atas surga” (TS, 70).

Dikisahkan bahwa di Negeri Syams dahulu kala ada seorang raja yang bijak dan suka menyantuni rakyatnya. Namanya Malik al-Saleh. Siang-malam dia selalu ingat Tuhan dan keadaan rakyatnya. Pada suatu hari, ketika mengunjungi sebuah masjid, dia melihat seorang fakir yang kehilangan sebelah kakinya sedang duduk di atas tikar. Malik al-Saleh lantas berdoa:

“Ya Ilahi, ya Tuhanku! Jikalau pada hari kiamat segala raja itu yang alpa dari hal segala fakir dan miskin, dan masygul dia dengan kesukaan dunia dan segala nikmat dan daulat dan kebesaran (sehingga) melupakan diri dan menurutkan jua ajar perinya (hawa nafsunya, pen.) dan (yang) kerajaannya itu (diperoleh) karena kebajikan segala manusia (orang lain, pen.)…daripada alpanya dikarenakan pangkat kebesarannya akan segala hambanya yang mukmin. Ya Tuhanku, jikalau pada hari kiamat (Engkau) memberi tempat dalam surga pada segala raja-raja (seperti itu) aku tiada akan mau masuk dalam surga itu” (TS, 88).

Bukhari kemudian mengutip Kitab Adab al-Umar, yang menyatakan bahwa raja yang adil tidak akan pernah mau membesarkan dirinya, karena orang yang suka membesarkan diri akan dimurkai oleh Tuhan dan kesombongannya akan membuat akal pikirannya tidak berkembang. Jika akal pikiran seseorang tidak berkembang, maka ia tidak akan bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah (TS, 91). Dikatakan pula oleh Bukhari bahwa, “Hendaklah raja yang menjunjung keadilan dan hukum itu lemah lembut perkataannya, manis mukanya, namun keras hukumannya kepada orang jahat dan perbuatan jahat” (TS, 94).

Setelah itu Bukhari beralih ke topik lain, seraya mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, ”Terbaik pekerjaan kerajaan itu: akan segala orang yang dapat mengerjakannya dan tahu perintah pekerjaan itu dan sangat jahat pekerjaan itu akan segala orang yang tiada dapat mengerjakannya dengan benar..” (ibid). Mengenai kaitan antara keadilan, kemakmuran, dan kesadaran hukum masyarakat, Bukhari mengatakan antara lain, “Bahwa apabila rakyat sentosa, negeri akan makmur. Apabila negeri makmur, banyaklah amal saleh dilakukan oleh manusia bagaikan pohon yang ditanam pada tempatnya.” Raja sempurna karena memiliki tentara yang kuat, tentara kuat karena berharta dan harta kekayaan sempurna apabila bisa dinikmati rakyat banyak dan rakyat sempurna karena rajanya adil dan insaf (TS, 104).

Dalam pasal 9 Bukhari membicarakan perbuatan aniaya dan kaitannya dengan pekerti raja yang zalim. Pasal ini dimulai dengan kutipan dari al-Qur‘an, Surah al-Mu‘min ayat 52, yang menyatakan bahwa pada hari kiamat kelak hukuman terberat akan diterima oleh raja-raja yang zalim. Bukhari lantas mengutip hadis Nabi yang menyatakan, “Dua golongan dari umatku yang tidak memperoleh syafaatku pada hari kiamat ialah raja yang zalim dan kedua orang yang melampaui batas sehingga menyimpang dari jalan agama.” Ada hadis Nabi yang lain, “Lima orang yang sangat dimurkai Allah ialah: pertama, raja yang aniaya; kedua, penghulu yang menyimpang; ketiga, orang yang tiada mengajarkan agama kepada keluarganya; keempat, orang yang menganiaya istrinya dan merampas hak-haknya; kelima, menistakan anak yatim piatu” (TS, 109-10).

Dalam pasal 10 dibicarakan syarat-syarat menjadi menteri dalam sebuah kerajaan. Hal ini penting dikemukakan karena menteri merupakan salah satu soko guru kerajaan. Menteri yang dimaksud ialah menteri yang berwibawa dan bijaksana. Tiga soko guru lainnya ialah: Pertama, panglima perang yang berani dan mulia, yang memelihara dengan sungguh-sungguh para prajurit dan menjaga keamanan, ketertiban, dan ketenteraman rakyat, khususnya dari serangan tentara musuh; Kedua, pemegang kas negara yang jujur dan dapat dipercaya, senantiasa bersedia diperiksa dan menggunakan kekayaan negera untuk kepentingan khalayak luas; ketiga, adanya penyair berita yang benar, baik dari bawah ke atas maupun dari atas ke bawah. Berita yang simpang siur merugikan pemerintahan dan meresahkan masyarakat, karena mudah menimbulkan pergolakan. Begitu pula banyaknya informasi yang tidak jelas akan membuat jalannya pemerintahan tidak mantap (TS, 109-21).

Merujuk pada Kitab Sifat al-Wazir, kemudian Bukhari menyebutkan menteri yang ideal dalam sebuah kerajaan: Pertama, selalu ingat pada laporan yang masuk dan perintah yang pernah dikeluarkan; kedua, mengetahui perbuatan dan perkataan penting berkenaan dengan kerajaan yang tersembunyi dari penglihatan dan pendengaran raja; ketiga, berani melakukan pekerjaan yang benar dan mengatakan sesuatu yang benar, walaupun ada orang dalam yang mau menghalangi; keempat, jujur, lurus hatinya, dan amanah; kelima, dapat memelihara rahasia rajanya; keenam, sabar dalam pekerjaan, baik parasnya dan lemah lembut kata-katanya; ketujuh, tahu kapan berbicara dan kapan diam (TS, 124-5). Sebuah kerajaan akan runtuh sebab hal-hal berikut ini:

Pertama, apabila menteri takabur dan hanya mengandalkan kebesaran dan kekuasaan raja; kedua, apabila raja terlalu mengharapkan menteri yang ternyata pengetahuannya tidak cukup untuk bidang pekerjaannya; ketiga, apabila menteri merasa serba tahu dan segan meminta pertimbangan orang-orang yang ahli dalam bidang-bidang yang dihadapi; keempat, apabila kerajaan diserahkan kepada pemimpin dan pejabat yang tidak terpuji akhlaknya; kelima, apabila menteri dan pegawai-pegawainya suka memperlambat pekerjaan yang seharusnya cepat diselesaikan dan sebaliknya mempercepat pekerjaan yang justru tidak terlalu mendesak untuk diselesaikan; keenam, apabila raja dan menteri tidak tahu prioritas utama dari tugas dan pekerjaannya. ketujuh, apabila menteri hanya mencari nama dan popularitas di kalangan tertentu agar mendapat dukungan dan pujian serta langgeng menempati kedudukannya; kedelapan, jika pemborosan uang negara tidak dapat dikendalikan, dan banyaknya pembangunan yang tidak memperhatikan manfaatnya bagi rakyat banyak (TS, 133-7).

Sebelumnya, Bukhari mengaitkan runtuhnya sebuah kerajaan dengan perilaku raja yang zalim. Raja yang zalim lebih senang bergaul dengan orang bebal dan jahat. Ia tidak mau tahu keadaan rakyat yang sebenarnya. Bukhari merujuk pada Kitab Adab al-Mulk yang di dalamnya antara lain dikatakan bahwa sebuah kerajaan akan cepat runtuh, apabila selain karena rajanya bebal dan zalim, juga karena: Pertama, raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; kedua, raja senang melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak, dan pengisap rakyat; ketiga, pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang menyulut konflik (TS, 73).

Dalam pasal 20, Bukhari al-Jauhari merumuskan seluruh pembahasannya perihal raja yang adil. Raja yang adil dan ihsan selalu memenuhi tugas dan kewajibannya dengan baik. Antara lain: Pertama, tidak menyombongkan diri serta memudah-mudahkan persoalan yang dihadapi rakyat; kedua, jangan mendengar laporan atau pendapat dari satu golongan atau pihak, sedangkan dalam masyarakat ada banyak golongan dan pihak yang mesti didengar; ketiga, tidak mudah memurkai atau menghukum orang, golongan atau kaum tertentu tanpa alasan yang mendasar dan bukti yang kuat; keempat, melindungi semua golongan, kaum, umat dan lapisan rakyat dengan sikap kasih dan sayang, serta menjauhkan diri dari sikap diskriminatif; kelima, jangan menghendaki istri bawahan atau rakyatnya; keenam, banyak berdialog dengan para ulama, cendekiawan, sarjana, ilmuwan, budayawan, ahli makrifat, dan pemimpin masyarakat yang berwibawa, serta mengurangi bertemu dengan orang bebal, tamak, dan jahat; ketujuh, hormat pada orang yang sudah tua dan santun terhadap fakir miskin; kedelapan, memenuhi janjinya kepada rakyat yang mendukungnya; kesembilan, tidak merendahkan hukum agama, bahkan ikut berusaha menegakkannya; kesepuluh, memberi hukuman yang adil pada orang jahat dan memuji orang yang berbuat baik, serta memelihara jangan sampai rakyat sakit hati oleh sebarang tindakannya; kesebelas, bersikap lemah lembut dalam menjalankan hukum dan perintah; kedua belas, memelihara diri dari segala aib dan dosa; ketigabelas, raja harus menjadi suri tauladan dalam segala perbuatan dan perkataan, sebab apa yang dilakukan oleh seorang raja pasti akan ditiru oleh rakyat. Maka, jika raja senang berbuat jahat, rakyat pun cenderung akan meniru melakukan perbuatan jahat; keempat belas, banyak bersedekah; kelima belas, menghargai fakir yang saleh dan berilmu, sebab dengan jalan demikian ia akan menerangi dunia, dibanding hanya bersahabat dengan orang kaya tetapi tidak berpengetahuan; keenam belas, ingat akan maut; ketujuh belas, memperbanyak jalan raya atau sarana transportasi; kedelapan belas giat meningkatkan perdagangan dan ekonomi rakyat; kesembilan belas, banyak membangun rumah ibadah, sarana khalayak seperti rumah sakit, madrasah, dan rumah yatim piatu; kesembilan belas, tidak tinggal diam apabila melihat kejahatan mulai merajalela di tengah rakyat (TS, 192-204).
Akhir Kalam

Dari apa yang telah dipaparkan nyatalah bahwa negara yang dicita-citakan oleh Bukhari al-Jauhari, sebagaimana dicita-citakan oleh pemikir Muslim lain sebelumnya pada zaman Daulah Umayyah (662-749 M) di Damaskus dan Daulah Abbasiyah (750-1258 M) di Baghdad, adalah sebuah negara hukum. Dalam negara seperti itu diperlukan adanya lembaga qadhi atau kehakiman seperti pada zaman Daulah Umayyah, kemudian berkembang menjadi Kementerian Kehakiman (Diwan al-Diyah) pada zaman Daulah Abbasiyah (Ali Hasymi, 1987:170-1;230-1). Dengan panjang lebar, penulis Taj al-Salatin menjelaskan secara terpisah dalam beberapa pasal bukunya. Menurut Bukhari al-Jauhari, keadilan tidak ada artinya apa-apa dan akan bersifat sementara apabila tidak didasarkan pada hukum yang dijunjung tinggi oleh raja, pembantu raja, pegawai kerajaan, para penegak hukum, dan segenap lapisan masyarakat. Hukum dan adab (tata cara) menjalankan pemerintahan penting dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama disebabkan hal-hal seperti berikut:

Pertama, kebanyakan manusia itu cenderung pada kejahatan dibanding pada kebaikan. Orang yang baik dan cenderung pada kebaikan itu tidak banyak, apalagi dalam sebuah negeri yang baru tumbuh dan masyarakatnya majemuk. Orang yang baik tidak ada gunanya dan malah mudah terbawa pada kejahatan apabila tidak ada jaminan hukum yang pasti. Tanpa supremasi hukum kejahatan akan semakin bertambah-tambah dan negara akan mudah mengalami disintegrasi.

Kedua, seorang raja atau pemimpin negara serta menteri-menteri dan para pegawainya tidak dapat menjalankan tugas dan pekerjaan dengan baik tanpa landasan hukum yang jelas. Apabila raja berbuat tanpa dasar hukum yang jelas, maka rakyat akan cenderung melihat perbuatan itu berdasarkan pertimbangan pribadinya semata-mata, dan dengan demikian mudah untuk tidak mematuhinya.

Ketiga, hukum diperlukan sebagai tolok ukur untuk menilai adil tidaknya seorang raja dan pemimpin, serta dapat menghindari kecenderungan perbuatan yang sewenang-wenang. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan akan cenderung berbuat sesuka hati untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Tetapi, hukum yang dimaksud ialah hukum yang didasarkan pada syarak dan kitabullah.

Kita juga memperoleh kesimpulan bahwa bagi Bukhari al-Jauhari, segala orang jahat itu tidak akan berbuat sekehendak hati apabila hukum benar-benar ditegakkan. Dan, tidaklah berguna pula segala orang yang baik di negeri itu apabila di sekelilingnya kejahatan merajalela. Pelaksanaan hukum secara ketat dan keras memungkinkan orang jahat mengendalikan niatnya untuk berbuat jahat. Dengan demikian, orang-orang baik dan rakyat akan dapat melakukan tugas, pekerjaan, dan pengabdian dengan baik dan ikhlas.

Buku ini juga relevan bukan karena membicarakan soal adab pemerintahan, tetapi karena menekankan pentingnya berbagai disiplin ilmu, dalam mengatur pemerintahan dan mengenal manusia. Tidak mungkin dapat mengatur pemerintahan dengan baik, tanpa mengenal dan memahami manusia. Usaha ke arah itu dapat dilakukan melalui empat disiplin ilmu atau metode, yakni: (1) melalui ilmu nubuwah, yaitu berdasarkan petunjuk al-Qur‘an dan hadis; (2) melalui ilmu wilayah, yaitu berdasarkan kearifan yang disusun oleh para hukama dan ahli makrifat; (3), melalui ilmu hukum, yaitu berdasarkan syariah, fikih, dan falsafah, atau ilmu-ilmu humaniora; (4) mengenal manusia berdasar ilmu qiyafah dan firasat, yaitu berdasarkan perangai, tabiat, dan sifat-sifat yang ada pada manusia dan tanda-tanda lahirnya.

Pembahasan tentang keempat ilmu tersebut diletakkan menjelang bagian akhir kitab, yaitu pasal 18 dan 19 (TS, 179-191). Pasal-pasal ini berperan sebagai petunjuk bagi seorang raja atau pemimpin alam melakukan hubungan dengan orang lain untuk berbagai kepentingan. Seperti halnya uraian tentang pedoman memimpin pemerintahan, pasal-pasal ini membuat buku ini digemari pembaca luas dan tidak kecil pengaruh kepada pembacanya, sebagaimana telah diuraikan. Pada akhirnya, dilihat dari berbagai aspek, buku ini memang relevan untuk dibaca oleh para pemimpin dan kaum cendekiawan Indonesia masa kini. Karya Bukhari al-Jauhari bukan hanya bisa dipertanggungjawabkan sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai buku ilmu atau manajemen politik yang didasarkan pada sumber-sumber ajaran agama dan falsafah.
Daftar Pustaka:

Al-Attas, S. Muhammad Naquib (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University Malaya Press.
Alfian, Ibrahim. 1999. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Brakel, L. F. 1969. “Persian Influences on Malay Literature”. Abr. Narrain Jil. IX/9:407-26.
Braginsky, V. I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7–19 M. Jakarta: INIS.
Browne, Edward G. A. 1976. A Literary History of Persia. 4 vols. Cambbridge: Cambridge University Press.
de Holander. 1984. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Jakarta: Balai Pustaka-ILDEP.
Djajadiningrat, Hussein. 1979. Kesultanan Aceh (Suatu Pembahasan atas Bahan-bahan yang Tertera dalam Karya Melayu tentang Sejarah Kesultanan Aceh). Alih bahasa Teuku Hamid. Banda Aceh: Proyek Rehabilisasi dan Perluasan Museum Aceh.
Doorenbos, Johann. 1933. De Geschriften van Hamzah Pantsoeri. Leiden: NV VH Batteljes & Terpstra.
Hadi W. M., Abdul. 2000. Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus:
———. 2002. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik atas Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Hasymi, Ali. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hill, A. 1960. ‘Hikayat Raja-raja Pasai: A Revised Romanized Version with an English Translation”. JMBRAS 33, 2:1-215.
Hooykaas, C. 1947. Over Maleische Literatuur. Leiden: E. J. Brill.
Hussain, Khalid. 1966. Tajus Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Iskandar, Teuku. 1965. “Bukhari al-Jauhari dan Tajus Salatin”, dalam Dewan Bahasa 9, 3 Mac.: 107-13.
Jones, R. 1987. Hikayat Raja-raja Pasai. Petaling Jaya: Fajar Bakti.
Jusuf, Jumsari. 1979. Tajussalatin. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kern W. 1956. Commentaar op de Salasilah van Kutai. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff (KITLV, VKI 19)
Lombard, Denys. 1986. Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda, 1607-1636. Alih bahasa Winarsih Arifin. Jakarta: Balai Pustaka.
Mulyadi, S. W. Rujiati. 1983. Hikayat Inderaputra, A Malay Romance. Dordrecht: Foris Publications.
Winstedt, R. O. 1920. ”Malay Woorks Known to Werndly in 1736”. JMBRAS 82,:163-5.
———. 1938. ”The Malay Annals or Sejarah Melayu”. JMBRAS 16, 3:1-225.
———. 1969. A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
______________

Tulisan ini pernah diterbitkan pada Jurnal Universitas Paramadina Jakarta, Vol. 3, No.2, Mei 2004.

-

Arsip Blog

Recent Posts