Oleh: Abdul Wahid
MENTERI Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana mati. Hakim diminta berani menerapkan hukuman mati karena hukuman mati bagi koruptor sudah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999.
Idealnya, tanpa harus diminta menteri hukum dan HAM, kalau regulasi yuridis sudah menggariskan bahwa ancaman hukuman mati sudah tersedia untuk menjaring koruptor, jaksa hingga hakim tinggal melaksanakannya. Tanpa perlu ada komando dari menteri hukum dan HAM, aparat penegak hukum yang sudah disumpah untuk menjalankan norma yuridis serta-merta harus menegakkannya secara egaliter dan militan.
“Ruang yuridis” untuk menghukum mati koruptor sebenarnya sudah cukup lama disediakan. Norma hukum sudah dibuat atau disediakan untuk menjaring siapa saja yang diduga melakukan korupsi. Meski demikian, norma yuridis yang disediakan itu tidak bersifat “for all” atau semua koruptor, melainkan bersifat khusus. Hanya koruptor tertentu yang bisa dijaring dengan sanksi hukuman mati.
Sayang, sepanjang sejarah perkembangan peradilan pidana korupsi, belum ada satu pun kasus korupsi yang diancam dengan hukuman mati. Hal itu tak lepas dari jenis kasus korupsi yang belum ditingkatkan atau dimasukkan dalam ranah korupsi khusus oleh jaksa penuntut umum.
Menjadi otoritas jaksa penuntut umum untuk memasukkan tindak pidana korupsi yang ditangani menjadi korupsi khusus atau bukan. Kalau jaksanya tidak memasukkan kasus korupsi sebagai korupsi khusus, hakim tidak bisa menjatuhkan sanksi di luar tindak pidana korupsi yang disangkakan, didakwakan, atau dituntut jaksa.
Keberanian jaksa untuk mengajukan kasus korupsi khusus dengan interpretasi (tafsir) “demi kepentingan keadilan” dan kemanusiaan guna menjaring seseorang (terdakwa) dengan ancaman hukuman mati hingga kini belum ditunjukkan. Padahal, di tangan jaksa itulah sejatinya bekerjanya hukum secara maksimal ikut ditentukan. Kalau jaksa hanya mengajukan tuntutan beberapa tahun hukuman penjara, bisa dipastikan hakim secara umum akan condong mengurangi tuntutan ancaman hukuman yang dirumuskan jaksa.
Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah diamandemen dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, dalam kondisi tertentu, koruptor yang melakukan korupsi bisa diancam dengan hukuman mati.
Lengkapnya disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 bahwa (1) setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Kata “keadaan tertentu” dalam produk yuridis itu menjadi dalil paradigmatis yuridis yang bisa membenarkan koruptor dihukum atau diperlakukan secara khusus. “Keadaan tertentu” mencerminkan keadaan sekarang atau saat koruptor menjalankan modus operandi penyimpangan uang negara (rakyat). Ancaman pemberatan atau penguatan hukuman bisa dilakukan sesuai kondisi masyarakat atau negara saat korupsi dilakukan.
Kata “keadaan tertentu” itu juga sudah ditafsirkan Maulana Haz (2009) bahwa pelaku korupsi dalam menjalankan aksinya disesuaikan dengan keadaan yang menguntungkannya, khususnya menguntungkan dari segi jabatan atau peran yang dimainkan maupun objek yang dijadikan target korupsinya. Jabatan yang semestinya digunakan memperlancar urusan atau hak-hak publik (public rights) seperti hak kebebasan masyarakat dari kemiskinan dan terhumanisasikan saat bencana alam justru dijadikan alat mengorupsi dan “melenyapkan” hak-hak rakyat tersebut.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) juga disebutkan, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi bila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Meski sudah ada rumusan yang menjelaskan “keadaan tertentu”, yang sebenarnya dalam beberapa hal bisa dibuktikan seperti negara sedang dilanda bencana alam atau krisis ekonomi, rumusan tersebut tidak digunakan sebagai dasar konsiderasi dalam menyusun ancaman hukuman mati. Kalau ancaman hukuman mati bagi koruptor digunakan, barangkali kisah atas ketukan palu hakim akan menjadi “kisah” tersendiri.
Sayang, tafsir “keadaan tertentu” yang mengarah pada ancaman pemberatan hukuman seperti hukuman mati tidak digunakan elemen penegak hukum, khususnya jaksa penuntut umum. Akibatnya, hakim tidak bisa berbuat banyak saat menjatuhkan putusan, meski sejatinya hakim mempunyai hak untuk melakukan penafsiran dan temuan hukum (rechsvinding).
Terbukti, tidak sedikit kasus korupsi di negeri ini yang tidak diputus dengan hukuman maksimal oleh hakim. Bahkan, tidak sedikit vonis yang dijatuhkan hakim bukanlah vonis yang memenuhi rasa keadilan publik, tapi menyakitinya. Tidak sedikit koruptor yang “dimanjakan” oleh hakim dengan putusan bebas atau putusan yang sangat ringan.
Ketika menyerahkan sederet nama hakim yang menjatuhkan vonis bebas atau vonis percobaan bagi terdakwa korupsi ke Komisi Yudisial (KY), Illian Deta Artha Sari dari ICW (Indonesia Corruption Watch) menyatakan, selama Januari hingga Desember 2009, di antara 199 perkara korupsi dengan 378 terdakwa, sebanyak 59,6 persen divonis bebas oleh hakim di pengadilan umum. Bahkan, ada kasus menarik, seorang hakim membebaskan 35 terdakwa korupsi (SK, 24 Januari 2010).
Dalam data yang diserahkan ke KY tersebut juga terdapat sekitar 100 nama hakim yang memberikan vonis bebas dan enam nama hakim di antaranya menjatuhkan hukuman percobaan. Di antara data itu, Pengadilan Negeri Makassar memegang angka tertinggi sebagai penghasil terdakwa korupsi yang dibebaskan. Sebanyak 38 terdakwa dari kasus yang mereka tangani justru menghirup udara kebebasan.
Terlepas dari dugaan terjadinya skandal atau praktik “korupsi” hukum saat vonis dijatuhkan hakim, tuntutan hukuman mati yang tidak ditembakkan jaksa merupakan segmentasi praktik pengistimewaan atau pemanjaan terhadap koruptor. “Keadaan tertentu” yang sudah terumus secara yuridis hanya menjadi rumusan ide-ide agung yang kehilangan makna empiris karena ditelanjangi oleh elite penegak hukum yang tak bernyali untuk menghukum mati koruptor. (*)
Abdul Wahid, dekan fakultas hukum dan pengajar program Pascasarjana Ilmu Hukum Unisma, Malang
Sumber : Jawa Pos, Sabtu, 13 April 2010