Kikis Patronase Bisnis!

Oleh: Hendardi

Pada tahun 2010, pemerintah dan aparat penegak hukum masih mewarisi banyak kasus korupsi yang menyedot perhatian publik. Sebut saja kasus Bank Century, aliran cek dalam pemilihan deputi gubernur BI, rekening gendut sejumlah jenderal polisi, kasus mafia pajak yang menyeret Gayus Tambunan, serta “jaksa nakal” dan “hakim nakal”.

Apakah kelanjutan praktik korupsi tak bisa ditempatkan sebagai tantangan serius bagi pemerintah dan penegak hukum? Apakah program pemberantasan mafia hukum hanya berayun di permukaan?

Konstruksi Korupsi

Memberantas korupsi ibarat membentur tembok kukuh. Persoalannya, watak sistem yang korup bersumber dari sejarah Orde Baru dengan memorak-porandakan kekuatan sosial, yakni buruh dan petani, serta disusul kemerosotan politik golongan menengah Muslim perkotaan.

Pola patronase bisnis menempati posisi dominan. Pola ini dibentuk lewat relasi politik, birokratis, dan bisnis yang erat. Dengan kebijakan negara dan peraturan proteksionis, akumulasi ekonomi bergantung pada koneksi, lisensi, dan proyek pemerintah. Di era Orde Baru patronase bisnis melingkar di sekitar Cendana. Setelah reformasi, jaringan patronase ini menyebar luas ke parlemen dan lembaga negara lain serta ke tingkat lebih kecil mengikuti proyek otonomi daerah. Dengan cara ini, konstruksi ekonomi-politik yang busuk tak pernah meruntuhkan patronase bisnis.

Militer secara formal diakhiri sebagai kekuatan politik, tetapi secara informal tetap sulit menyentuh jaringan bisnisnya. Ia menyebar pula di dalam lapisan elite negara dengan kelompok preman. Beberapa kota besar ditandai dengan koneksi mereka dengan golongan agama.

Mereka terus mewarisi watak pemburu rente sehingga ekonomi biaya tinggi tak pernah berakhir. Semua tingkat birokrasi hingga keamanan berebut sumber investasi dan proyek demi akumulasi pribadi serta kelompok sehingga mereka lebih mirip sebagai predator.

Pemilu dan pilkada lebih tampak sebagai ajang perang iklan, atribut, dan bentuk citra lainnya ketimbang adu program yang konkret dan realistis. Mengiringi proses politik ini, kerap pula muncul dugaan politik uang.

Simak pula bagaimana pemerintah di daerah menghasilkan ribuan peraturan daerah yang dinilai bermasalah dan tumpang-tindih dengan UU. Banyak perda menggandakan pungutan pajak dan retribusi demi menggemukkan pendapatan asli daerah, tetapi tak sedikit yang menguap.

Watak bisnis lain yang juga bertahan adalah memungut keuntungan sebanyak mungkin dalam tempo singkat. Banyak pelaku bisnis lebih mementingkan kepentingan jangka pendek. Mereka berebut semua sumber daya dan mengabaikan masa depan.

Tantangan

Konstruksi korupsi seperti itu terlalu lembek dan hanya olesan bibir belaka jika dilawan dengan politik pencitraan. Pemerintah harus serius tak saja merealisasikan program pemberantasan mafia hukum, tetapi juga menata ulang politik ekonomi.

Pertama, politik antikorupsi harus dimulai dengan program politik-ekonomi yang serius mengikis patronase bisnis yang telah sangat mengganggu operasi bisnis dan investasi di Indonesia. Kolusi politik-bisnis dan pungutan tak masuk akal adalah penyebab biaya tinggi serta minimnya jaminan jangka panjang.

Persoalan itu tak bersifat kasus per kasus, melainkan sistemis. Politik, birokrasi, ataupun penegakan hukum menjadi rangkaian praktik busuk yang menghalangi jalannya kenyamanan bisnis. Elite negara dan politik serta berbagai kelompok lain mekar ibarat lapisan predator.

Kedua, program mengikis patronase bisnis dapat membantu perbaikan upah buruh karena, dengan itu pula, ekonomi biaya tinggi bisa dikembalikan bagi kesejahteraan buruh. Jika jaminan masa depan investasi terbuka, membeludaknya jumlah penganggur bisa ditekan.

Ketiga, program pemberantasan mafia hukum harus disusun dan direalisasikan secara serius. Pemerintah harus memerintahkan Kepala Kepolisian Negara RI dan Jaksa Agung mengadopsi program ini untuk dijalankan. Setiap semester, kelemahan dan kegagalan harus dievaluasi. Campur tangan politik dalam penegakan hukum harus dikikis.

Keempat, sembari menghormati independensi penegak hukum dan kehakiman, DPR harus ikut memprioritaskan tekanan politik memberantas korupsi yang diamanatkan dalam penyelenggaraan negara yang bebas KKN. Parlemen perlu membentuk grup antikorupsi yang terus melakukan tekanan politik.

Kelima, partisipasi masyarakat memberikan tekanan politik atas sistem politik-ekonomi yang korup tak bisa dikesampingkan. Mereka tak terbatas pada LSM, mahasiswa, dan intelektual, tetapi juga kelompok yang paling dirugikan sistem korup.

Hendardi, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

Sumber: Kompas, Jumat, 14 Januari 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts