Oleh: J Danang Widoyoko
ADA pesan di jejaring sosial twitter yang tampaknya ditujukan kepada saya dan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang dianggap ikut-ikutan mengurusi sepak bola. Saya berpikir positif saja karena lebih baik kita ikut-ikutan menuju kebaikan daripada diam melihat pembusukan terus terjadi di depan mata. Melalui gerakan Save Our Soccer ICW bersama sejumlah LSM dan organisasi suporter bola turun tangan untuk mencoba membersihkan sepak bola kita dari praktek korupsi.
Beberapa pengurus klub telah mengungkapkan secara terbuka bagaimana pertandingan bisa diatur untuk kemenangan tim tertentu. Bahkan bukan hanya pertandingan, siapa yang akan menjadi juara liga juga sudah bisa diatur beberapa bulan sebelum liga berakhir. Juga klub yang promosi ke divisi di atasnya atau klub apa yang akan degradasi, sudah bisa diatur sebelumnya.
Di balik berbagai kecurangan dan keputusan yang mencurigakan itu ada praktek korupsi. Korupsi begitu merajalela di sepak bola di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Hal ini tidak mengejutkan karena Nurdin Halid pernah memimpin PSSI dari balik jeruji penjara ketika dia dinyatakan bersalah dalam dua kasus korupsi, yakni kasus korupsi distribusi minyak goreng dan beras impor.
Celakanya, seluruh pengurus PSSI tetap mempertahankan organisasi itu dipimpin dari dalam penjara. Walaupun Statuta FIFA melarang organisasi sepak bola dipimpin oleh kriminal, melalui proses pat gulipat Nurdin tetap bertahan memimpin PSSI hingga sekarang. IGK I Gusti Kompyang (IGK) Manila, mantan manajer timnas dan pernah menjadi pengurus PSSI, menyatakan secara terbuka bagaimana Nurdin Halid dari dalam penjara ikut mengatur wasit yang memimpin partai final sepak bola dalam Pekan Olahraga Nasional.
Sikap permisif terhadap praktek korupsi pada akhirnya membuat prestasi sepak bola kita terpuruk. Praktek suap-menyuap dalam sepak bola menjadikan kompetisi semakin buruk mutunya, yang pada gilirannya berujung pada kemunduran prestasi tim nasional. Jangankan mimpi ikut Piala Dunia, di kawasan Asia Tenggara pun kita tidak bisa juara lagi. Pada ajang AFF Cup akhir tahun lalu, meski telah memakai dua pemain naturalisasi yakni Christian Gonzales dan Irfan Bachdim, tetap saja gelar juara gagal direbut.
Akar Persoalan
Maraknya korupsi dan mundurnya prestasi tim nasional sepak bola kita bisa dilacak akar persoalannya di PSSI. Selain karena permisif terhadap praktek korupsi dan membiarkan diri dipimpin oleh seorang narapidana kasus korupsi, ada sejumlah persoalan lain.
Pertama, banyak klub yang tidak dikelola profesional. Klub bergantung pada pembiayaan oleh APBD sehingga tidak mengembangkan sumber-sumber pendanaan lain. Tiket pertandingan yang menjadi sumber utama pemasukan klub tidak dikelola dengan baik. Juga sponsor dari perusahaan belum menjadi pemasukan signifikan karena toh sudah ada APBD.
Tidak banyak klub yang mampu mandiri dan dikelola profesional. Barangkali hanya Arema Malang yang hidup dari suporter atau beberapa klub yang dibiayai oleh BUMN dan perusahaan swasta. Sebagian besar klub yang bertanding di liga adalah klub “milik” pemda. Ketergantungan yang akut pada APBD itu terkait dengan kepentingan elite politik di daerah. Lihat saja kepengurusan klub yang pada umumnya dipimpin oleh kepala daerah atau keluarga kepala daerah.
Bisa ditebak, ujung-ujungnya adalah menggunakan sepak bola demi pemenangan Pilkada. Dengan sistem Pilkada langsung, popularitas kandidat menjadi faktor dominan. Semakin populer seorang kandidat, semakin besar peluangnya terpilih. Dan sepak bola adalah sarana yang paling efektif untuk mendapatkan popularitas.
Karena sarat dengan kepentingan politik, maka tidak mengherankan bila alokasi untuk klub milik pemda bisa jauh lebih besar daripada alokasi untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu contohnya adalah klub kebanggaan kota Semarang, PSIS. Dari penelusuran yang dilakukan ICW, pada 2006 Rp 14 miliar APBD Kota Semarang dialokasikan untuk hibah PSIS. Sementara untuk pendidikan anak usia dini hanya mendapat Rp 1,4 miliar dan dana perbaikan gizi masyarakat hanya Rp 607 juta.
Tidak ada informasi berapa alokasi untuk cabang olahraga lain, tetapi saya bisa menduga angkanya jauh lebih kecil daripada anggaran untuk PSIS. Demikian juga dana untuk bulu tangkis yang telah terbukti mampu mengharumkan nama bangsa di level internasional, saya kira tidak akan sebesar dana yang digelontorkan untuk sepak bola.
Terakhir, sepak bola mengajarkan kepada kita pentingnya integritas dan bagaimana berjuang dengan keras melalui latihan yang spartan untuk meraih keberhasilan. Sepak bola juga mengajarkan kepada kita soal keadilan dan kepatuhan kepada aturan main dan keputusan wasit. Apa pun keputusan wasit, seperti halnya hakim di pengadilan, harus dipatuhi oleh pemain dan penonton. Nilai-nilai yang terkandung dalam sepak bola kompatibel dengan nilai-nilai yang diperjuangkan dalam pemberantasan korupsi.
Karena itu tidak berlebihan bila gerakan pemberantasan korupsi harus memberikan perhatian kepada pemberantasan korupsi dalam sepak bola. Melalui sepak bola yang bersih dari korupsi, kita bisa memberikan pelajaran berharga kepada masyarakat untuk menghormati hukum, menegakkan integritas dan memperjuangkan keadilan.
Sepak bola juga memberikan pelajaran kepada kita tidak ada jalan pintas untuk menjadi juara. Indonesia hanya bisa juara kalau infrastruktur dibenahi dan pembinaan pemain muda mendapatkan perhatian.
Naturalisasi pemain keturunan Indonesia juga tidak akan mampu mengantar negeri ini sebagai juara kalau PSSI tidak berhasil dibersihkan dari korupsi dan diperbaiki tata kelolanya. Oleh karena itu, bila kita ingin sepak bola maju, maka langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan turut mengatakan tidak kepada korupsi, termasuk korupsi di tubuh PSSI. (43)
J Danang Widoyoko, Koordinator Badan Pekerja ICW
Sumber: Suara Merdeka, Senin, 17 Januari 2011