Oleh: Mohammad Fajrul Falaakh
Hak menyatakan pendapat DPR merupakan instrumen pengawasan parlemen yang diatur secara umum (lex generalis) dan secara khusus (lex specialis) dalam konstitusi, masing-masing di Pasal 20A dan Pasal 7A-7B UUD 1945. Secara khusus hak menyatakan pendapat DPR dalam rangka pemakzulan presiden/wakil presiden harus didukung 2/3 dari 2/3 anggota yang hadir pada Rapat Paripurna DPR.
Kedua “jenis” hak menyatakan pendapat (HMP) diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 27/2009 (UU MD3). Pertama, HMP tentang kejadian luar biasa maupun sebagai konsekuensi hak angket dan hak interpelasi. Kedua, HMP dalam rangka pemakzulan presiden/wapres. Tanpa membedakan jenis HMP, Pasal 184 Ayat (4) UU MD3 menambahkan tahap baru, yaitu usul penggunaan HMP bagi kedua HMP dan harus didukung oleh 3/4 dari 3/4 anggota yang hadir pada Rapat Paripurna DPR (M Fajrul Falaakh).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23 dan 26/PUU-VII/2010 membatalkan Pasal 184 Ayat (4) itu. MK menyatakan, penyamarataan itu bertentangan dengan maksud dan semangat konstitusi yang mengatur HMP secara umum dan khusus. MK menilai ketentuan UU MD3 itu mempersulit pelaksanaan hak dan kewenangan konstitusional DPR karena lebih berat dari persyaratan konstitusi. Menurut MK, Pasal 184 Ayat (4) melemahkan demokrasi dan dapat mengakibatkan pelanggaran dalam proses kontrol terhadap presiden/wapres. MK juga berpendapat, persyaratan saat mengusulkan penggunaan HMP seharusnya lebih ringan dari lex specialis dalam konstitusi.
Prospek Pemakzulan
Lancarkah usul pemakzulan presiden/ wapres jika tak terhalang Pasal 184 Ayat (4)? Keputusan DPR atas laporan Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Penalangan Bank Century (Pansus Centurygate) sebetulnya dapat menjadi HMP. Saat itu (3/3/2010) Rapat Paripurna DPR dihadiri 95 persen anggota (537 dari 560 anggota), dan 325 menyetujui kesimpulan versi C dan 212 mendukung versi A.
Jumlah kehadiran anggota DPR maupun 60 persen kekuatan “oposisi plus” pendukung versi C itu dapat melahirkan HMP dalam rangka pemakzulan, tetapi UU MD3 mengharuskan versi C didukung 403 suara (3/4 x 537). Presiden/wapres beruntung karena PPP, PKB, atau PAN tak menggenapi selisih 33 suara (403-325) pada “oposisi plus”. Golkar juga beruntung, cepat berbalik arah dan memimpin Sekretariat Gabungan Partai Koalisi.
Beruntung sistem presidensial mencegah pembubaran pemerintah oleh mosi ketidakpercayaan mayoritas anggota parlemen. UUD 1945 mengatur pemakzulan presiden/wapres oleh MPR “sekadar” melancarkan proses peradilan pidana yang diduga melibatkan presiden/wapres, yaitu menghilangkan rintangan jabatan untuk mendudukkan presiden/wapres setara dengan warga negara. Meski MK sudah membatalkan syarat “politis” berupa jumlah kuorum dan dukungan suara yang mempersulit usul HMP, HMP dalam rangka pemakzulan harus memenuhi syarat kualitatif seperti dugaan pelanggaran pidana.
Pembatalan Pasal 184 Ayat (4) tak serta-merta bermuara kepada pemakzulan presiden/wapres. DPR lebih mudah memutuskan dugaan pelanggaran hukum oleh presiden/wapres, tapi dugaan itu akan diputuskan MK berdasarkan proses pembuktian dalam sidang (vide: Pasal 7A-7B UUD 1945 dan Pasal 80 UU MK 2003). Keputusan DPR mengenai terjadinya pelanggaran dalam penalangan Bank Century ataupun keterlibatan Gubernur Bank Indonesia Boediono (wapres saat ini) tak cukup hanya dirumuskan secara umum, yaitu tak secara jelas menyatakan dugaan tindak pidana tertentu yang dilakukan Boediono, serta tanpa bukti.
DPR tak boleh semena-mena menyatakan terjadinya tindak pidana tertentu pada penalangan Bank Century, atau perkara lain, tanpa bukti sama sekali. Sekarang sulit membayangkan, partai-partai pengusung pemakzulan beramai-ramai hendak mengubur diri menjelang Pemilihan Umum 2014 karena menyajikan “bukti” bohong-bohongan.
“Motion to Censure”
Saat ini banyak pihak menilai proses peradilan bagi pihak-pihak yang terlibat Centurygate terkendala oleh kelambanan KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Tim Pengawas Hasil Pansus Centurygate “terpaksa” diperpanjang masa tugasnya. Apakah kemudahan melahirkan HMP dapat mempercepat penyelesaian skandal Centurygate oleh ketiga lembaga penegak hukum itu?
Ancaman HMP mungkin melancarkan penyelesaian Centurygate. Tampaknya kelambanan penanganan Centurygate oleh ketiga lembaga penegak hukum itu harus dipacu dengan proses politik juga. Politik kelambanan penegakan hukum didesak oleh politik pengawasan terhadap eksekutif. Berarti beban penyelesaian Centurygate yang ditimpakan kepada proses hukum akan diambil DPR untuk ditimpakan langsung kepada pemerintah, atas nama fungsi pengawasan.
Seperti saya tulis (Kompas, 24/2/2010), UUD 1945 juga mengenal mosi tidak percaya terhadap kebijakan eksekutif. Dalam tradisi presidensialisme yang mapan seperti di Amerika Serikat, motion to censure the executive merupakan pilihan yang selalu terbuka untuk mengoreksi kebijakan pemerintah meski (atau justru karena) masa jabatan pemerintah dijamin konsti- tusi. HMP dapat mengambil bentuk ini.
Dalam pemerintahan berbasis koalisi multipartai, teknik pengawasan parlemen ini bisa jadi senjata ampuh menekan kebijakan pemerintah. Namun, fungsi ini dapat berubah jadi suara gaduh yang mempertaruhkan nasib masyarakat luas hanya dengan kepentingan partisan.
Mohammad Fajrul, Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Senin, 17 Januari 2011