Perahu Lesung, Transportasi Suku Asmat

Masyarakat Asmat bermukin di daerah dataran rendah yang berawa dan berlumpur. Di daerah sepanjang pantai tertutup hutan rimba tropis yang di dominasi pohon mangrove dan hutan sagu. Kondisi daerah masyarakat Asmat yang berawa menuntut masyarakat Asmat mempunyai perahu sebagai alat transportasi. Salah satu alat tersebut adalah perahu yang bagi masyarakat Asmat disebut perahu Lesung.

Kegunaan lain perahu Lesung bagi masyarakat Asmat adalah sebagai alat untuk perang. Perahu Lesung masyarakat Asmat memiliki panjang sekitar 2,5–5 meter. Perahu ini dapat memuat penumpang berjumlah 5-6 orang. Perahu Lesung dibuat 5 tahun sekali dan saat peresmian perahu harus ada ritual yang dilakukan. Dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Asmat, perahu Lesung berfungsi sebagai pengangkut dan pencarian bahan makanan yaitu untuk mencari ikan, mengambil sagu, berburu buaya, berdagang, bahkan berperang. Dengan perahu ini, mereka dapat melintasi sungai hingga puluhan kilometer.

Dalam 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu Lesung baru. Dalam menciptakan perahu Lesung bahan yang digunakan adalah kayu yang jarang digunakan yaitu diantaranya adalah kayu kuning, ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut yerak. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu.

Untuk membuat perahu Lesung waktu yang diperlukan sekitar 5 minggu. Proses pembuatan perahu yaitu pertama, batang kayu yang kasar dan bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit siput, sama halnya dengan bagian luar. Bagian bawah perahu dibakar supaya laju jalan perahu menjadi ringan. Panjang perahu mencapai 15-20 meter. Setelah semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pun di cat. Bagian dalam di cat putih, bagian luar di cat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan daun sagu.

Sebelum digunakan, semua perahu harus diresmikan melalui upacara. Ada 2 macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga yang tidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter. Sedangkan perahu kelompok biasa memuat antara 20-20 orang dengan panjang 10-20 meter. Sedangkan untuk dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi atau kayu pala hutan. Karena dipakai sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi dengan rawa-rawa.

Dalam proses pengerjaan perahu Lesung ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempat membuat perahu Lesung. Pantangan yang lain adalah masyarakat Asmat meyakini jika batang kayu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak bisa dipindahkan.

Adapun perahu-perahu Lesung sudah pasti akan dukir oleh masyarakat Asmat yaitu bagian muka perahu terdapat ukiran yang dinamakan cicemen, diukir menyerupai burung atau binatang lainnya dengan makna sebagai perlambang pengayauan kepala. Lalu ukiran manusia yang melambangkan saudara yang telah meninggal. Kemudian perahu dinamakan sesuai dengan nama saudara yang telah meninggal itu.

Di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran suku Asmat. Ukiran pada perahu bagi suku Asmat dapat menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. Selain itu, pada masyarakat Amsat terdapat upacara untuk menyambut panglima besar suku Asmat yang merupakan Bupati Kabupaten Asmat.

***

Sumber: wacananusantara.org

Foto: wacananusantara.org

- See more at: http://www.permatabangsa.web.id/perahu-lesung-transportasi-suku-asmat/#sthash.M0vvVpi1.dpuf
-

Arsip Blog

Recent Posts