Tarmudi, Wong Cilik yang Masih Berdoa

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sabtu pagi, pada hari Natal, 25 Desember 2010, di perumahan Nogotirto Elok 2, Yogyakarta. Ketika saya lagi istirahat dari olahraga sepeda di sebuah pos ronda, dari jarak yang tidak jauh terdengar suara penjaja barang dagangan bernama Tarmudi (54): “Keset, sapu, sulak.”

Saat mendekati pos ronda, Tarmudi saya tanya, “Apakah ada keset yang bagus?”

Dijawab, ada dua jenis, harga Rp 5.000 dan Rp 8.000 yang terbaik. Saya membeli keset dan membayar Rp 10.000, kelebihannya yang Rp 2.000 tidak perlu dikembalikan. Rute perjalanan Tarmudi adalah ini: berangkat pagi dengan bus dari Muntilan ke Terminal Jombor (Sleman). Pulang sore dari Terminal Giwangan (Yogyakarta) ke Muntilan.

Saya tak bertanya sudah berapa lama kerja keras serupa ini dijalaninya. Boleh jadi sudah tahunan. Dalam dialog singkat itu juga tak sempat saya ketahui apakah rumahnya diguyur lahar Merapi, panas atau dingin, yang sempat membuat Muntilan kota mati. Beban berat harus dibawanya. “Demi mencari makan,” ujarnya, sambil meraba perut.

Dengan sisa uang Rp 2.000 itu, Tarmudi senang sekali. Katanya, untuk tambahan beli jajan. Kemudian dia terus berlawalata dari kampung ke kampung, berjam-jam saban hari. Entah berapa kilometer dia harus menggunakan kakinya yang beralaskan sandal jepit itu menjunjung barang dagangannya yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Bagi Tarmudi, si rakyat kecil, rupiah demi rupiah yang dikumpulkan sungguh berharga.

Modal dagangannya Rp 300.000. Jika laku semua, keuntungan kotornya sekitar Rp 50.000. Dipotong biaya transportasi dan jajan, sisa yang dibawa pulang hanya berkisar Rp 30.000. Sekiranya berlawalata 30 hari per bulan, rezeki yang diperoleh hanyalah Rp 900.000. Keringat dan tenaga yang dikerahkan tidak dihitung. Jika jatuh sakit, tentu semuanya menjadi kosong. Untung ada seorang anaknya yang ikut kerja bangunan, demi meringankan beban bapaknya yang usianya kian lanjut.

Stamina Rakyat Kecil

Di sejumlah daerah di Nusantara, kita bisa menemukan manusia tipe Tarmudi ini. Berupaya melangsungkan kehidupan dengan berdikari, pantang jadi pengemis, sekalipun hasilnya mungkin lebih besar. Dalam serba kekurangan dengan pakaian lusuh, Tarmudi tetap menjaga harga diri, menapaki kehidupan, berjualan dengan beban berat yang bertengger di kepalanya.

Dengan serbuan toko-toko swalayan ke kampung-kampung dan desa-desa sebagai bagian sistem ekonomi neoliberal, nasib penjaja seperti Tarmudi akan semakin tak tertolong. Jenis dagangan Tarmudi tersedia semua di pusat perbelanjaan neoliberal yang berlawanan 100 persen dengan seluruh nilai Pancasila itu. Tetapi siapa yang masih peduli dengan serbuan pasar yang mematikan kehidupan rakyat kecil ini? Jika kecenderungan buruk semacam ini tidak dibendung kekuatan nasionalisme dalam tempo dekat ini, pemerintah jangan lagi berbicara sebagai pembela rakyat kecil. Tarmudi-Tarmudi lain yang jumlahnya puluhan juta pasti akan semakin kehabisan energi, terkapar dilindas sistem ekonomi yang antirakyat ini.

Bagaimana dengan puluhan juta penganggur pedesaan yang kondisi kehidupannya jauh di bawah Tarmudi? Jawabannya sangat gamblang: di ujung lorong sana, kematian secara pelan-pelan sedang menanti. Atau mereka menyerbu kawasan perkotaan untuk mengadu nasib dalam pertarungan hidup yang sangat kejam. Sebagian besar pasti terkapar. Bab XIV UUD 1945, Pasal 33 (asli) tentang Kesejahteraan Sosial, sudah lama tak dijadikan acuan membangun sistem perekonomian yang kian dirasakan tak berpihak ke rakyat kecil.

Untuk menyegarkan bunyi dan ruh Pasal 33 itu, di bawah ini saya turunkan selengkapnya. (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal inilah sebenarnya yang dapat membentengi bangsa dan negara ini agar tidak ditelan oleh arus kuat neoliberalisme yang kini sedang dijalankan oleh pemerintah kita.

Protes-protes dari kekuatan prorakyat seperti tak berdaya. Namun, Anda jangan salah baca. Arus bawah justru semakin kuat, tinggal menunggu peluang untuk membalikkan jalan sejarah ke arah yang benar. Semoga tetap dalam bingkai konstitusi dan tanpa pertumpahan darah.

Dalam pembicaraan saya dengan berbagai kalangan, sipil dan militer, semuanya sangat resah dengan situasi kita sekarang yang semakin menjauh dari nilai-nilai Pancasila atas nama pembangunan. Kelemahan kekuatan pro-rakyat ini adalah karena mereka belum mampu menyatukan barisan. Namun, pengalaman pahit kita dalam berbangsa dan bernegara sejak Proklamasi mengatakan bahwa perubahan pasti datang jika tiga syarat terpenuhi: (1) pemerintah semakin kehilangan legitimasi moral dan sosial, sekalipun masih mengantongi legitimasi konstitusional via pemilu yang diduga kuat tak jujur; (2) jika harga-harga keperluan hidup sudah tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar rakyat; (3) munculnya kepemimpinan nasional yang lebih dipercaya.

Dalam dua-tiga tahun mendatang, perlu dicermati, apakah ketiga syarat itu semakin terpenuhi atau masih bisa dipoles melalui berbagai cara, tetapi untuk jangka panjang akan menggiring bangsa dan negara ini pada situasi kehilangan kedaulatan di tangan agen-agen asing yang tunamoral.

Seorang Tarmudi dan puluhan juta anak bangsa yang lain dalam kesehariannya yang serba kurang tentu tetap berharap dan berdoa agar kedaulatan negeri ini jangan sampai digadaikan, sebab itu adalah sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan.

Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Januari 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts