Oleh: Eddy OS Hiariej
Alat yang tertua dan terampuh yang dimiliki oleh kejahatan terorganisasi dalam melawan proses penuntutan kriminal adalah membunuh para saksi yang bersaksi melawan mereka (Gerald Shur, A Fathers Dream Come True dalam WITSEC: Pengalaman Program Perlindungan Saksi Federal AS: ELSAM, 2006).
Hal ini dilakukan untuk melanggengkan kejahatannya terhadap setiap orang, terlebih para mafioso yang berkhianat dari anggota kelompok mafia. Oleh karena itu, setiap mafioso yang tertangkap selalu mempertahankan omerta (hukum tutup mulut) untuk tidak memberikan informasi apa pun terkait La Cosa Nostra (nama sebenarnya dari organisasi mafia yang berarti ‘milik kami’).
Pemberantasan terhadap mafia tidaklah mudah karena mereka memiliki akses pada lembaga-lembaga pemerintah, termasuk polisi, jaksa, dan hakim-hakim yang korup. Perlawanan terhadap omerta pertama kali dilakukan oleh Joe Valachi, seorang mafioso yang tertangkap. Secara gamblang dia menceritakan organisasi La Cosa Nostra yang saat itu dipimpin oleh Vito Genovese. Sebagai imbalan, negara mengubah hukuman mati yang dijatuhkan kepada Valachi menjadi hukuman seumur hidup dan dia dipindahkan ke sebuah pulau di Pasifik barat.
Demikian pula yang dilakukan Pascal Calabrese -mafioso yang mau bekerja sama dengan Negara- terhadap organisasi mafia yang dikendalikan Stefano Magaddino. Dalam rangka melindungi Calabrese, negara memalsukan identitasnya. Nama Calabrese diganti menjadi Angelo dan meminta seorang pendeta di Buffalo untuk memberikan sertifikat baptis baru dengan nama palsu mereka dan membujuk seorang pemilik sekolah di Buffalo untuk mengganti nama akhir dari anak-anaknya di rapor sekolah menjadi Angelo. Departemen Kehakiman kemudian merelokasi Calabrese bersama keluarganya dari incaran para mafia (ELSAM, 2006, halaman xiv–xviii).
Praktik di Indonesia
Dalam konteks pemberantasan mafia hukum di Indonesia, ini bukan merupakan suatu hal yang mudah. Para mafioso hukum sudah memasuki institusi Polri, kejaksaan, pengadilan, advokat sampai pada politisi parpol dan pengusaha nakal. Kalau di negara asalnya, para mafioso yang memberikan informasi mengenai kejahatan yang dilakukan La Cosa Nostra dikejar dan dibunuh dalam pengertian sesungguhnya, maka lain halnya di Indonesia.
Para mafioso yang melawan omerta dan membuka kebobrokan institusinya yang korup, alih-alih mendapat perlindungan negara, justru diincar dan dibunuh alias dibungkam dengan berbagai tuduhan kejahatan, baik yang dilakukan olehnya maupun yang direkayasa.
Masih segar dalam ingatan kita peristiwa Endin Wahyudin, yang menelanjangi tiga hakim agung yang menerima suap dan pelakunya adalah ia sendiri, harus mendekam dalam jeruji besi dengan pasal pencemaran nama baik, sementara ketiga hakim tersebut bebas berkeliaran tanpa rasa malu. Demikian pula yang diderita Komisaris Jenderal Susno Duadji yang membuka aib institusinya dalam kasus mafia pajak. Saat ini Susno terpaku di kursi pesakitan sebagai terdakwa dengan tuduhan korupsi selama yang bersangkutan menjabat Kapolda Jawa Barat.
Tidak kalah buruknya juga terjadi pada Gayus HP Tambunan, mafioso yang sepak terjangnya sangat luar biasa. Kendati telah memberikan semua informasi kepada Tim Independen Polri perihal kasus mafia pajak dan secara terang benderang Gayus telah bercerita di depan sidang pengadilan mengenai keterlibatan sejumlah petinggi Polri dan kejaksaan dalam kasus tersebut, para penguasa kedua institusi itu seolah buta dan tuli untuk tidak memproses anak buahnya.
Kalau dalam kisah di atas negara memberikan identitas palsu kepada mafioso yang mau bekerja sama dalam rangka melindunginya, maka berbeda di Indonesia, Gayus mendapatkan identitas palsu—yang sudah pasti melibatkan aparat—untuk mempertahankan praktik mafia hukum.
Di sisi lain, instrumen hukum kita tidak begitu memadai untuk melindungi orang-orang seperti Endin, Susno, dan Gayus. Ketentuan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada hakikatnya menyatakan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Akan tetapi, Ayat (2) undang-undang tersebut berbunyi, “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.
Ketentuan Ayat (2) sebenarnya bersifat contra legem dengan Ayat (1)-nya. Pada kenyataannya, ketentuan Ayat (2) ini yang selalu dipakai aparat untuk memproses para saksi kunci, sementara para pelaku kelas kakap tidak pernah tersentuh oleh hukum. Sayangnya, ketika Pasal 10 Ayat (2) ini dimohonkan pengujiannya oleh Susno Duadji, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut.
Dimulai dari “Kepala”
Lalu bagaimana untuk mengakhiri semua ini? Meminjam istilah yang dikemukakan JE Sahetapy bahwa ikan yang busuk bukan berawal dari ekornya tetapi berawal dari kepala ikan, maka yang harus dibersihkan lebih dulu adalah para petinggi di institusi penegak hukum.
Presiden harus berani menonaktifkan mereka yang terlibat dalam praktik mafia hukum dan mengusut tuntas semua kasus tersebut meskipun harus menyeret para perwira berbintang di tubuh Polri, para petinggi di Kejaksaan Agung, hakim-hakim korup, termasuk advokat, politisi, dan pengusaha nakal.
Bukan saatnya lagi Presiden bersembunyi di balik kata-kata “tidak mau melakukan intervensi hukum” untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pemberantasan mafia hukum. Bukankah Presiden adalah atasan langsung Kapolri dan Jaksa Agung? Kalau Kapolri dan Jaksa Agung adalah para penegak hukum tertinggi di institusi masing-masing, maka Presiden sebagai kepala negara adalah penegak hukum tertinggi di Indonesia.
Sudah saatnya Presiden bertindak tegas dengan membuang segala kebimbangan untuk memproses para mafia hukum, kecuali kalau pemberantasan mafia hukum yang sering kali dikemukakan oleh Presiden hanya suatu retorika belaka.
Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Sumber: Kompas, Jumat, 14 Januari 2011