Ada 3 tahap perkembangan penting di Kalimantan; (1) memberadabkan Dayak melalui misi agama (Hindu, Islam dan Kristen) dan politik identitas (Dayak dan Melayu), (2) Kapitalisasi Tanah. Ini terjadi sejak tahun 1960-an sampai sekarang ini. Serta (3) Demokratisasi. Memperkenalkan konsep universalitas-demokrasi-pluralisme, dll dikalangan Dayak.
Memberadabkan Dayak
Sejak awal abad 1, pedagang India membawa ajaran Hindu di tanah Kalimantan. Terjadi barter barang pedagang dengan penduduk. Peralatan Besi dan logam diperkenalkan.
Awal abad 4, pedagang Cina dan Siam masuk. Terjadi barter barang lagi. Diperkenalkan keramik-keramik, guci, manik-manik, dll.
Pada abad 14, pedagang Cina (dipimpin Laksamana Cheng Ho) masuk dengan membawa ajaran Islam di Sambas. Penduduk yang tidak mau masuk Islam menyingkir ke hulu sungai dan pedalaman. Beberapa Raja berhasil masuk Islam setelah pedagang Arab dan Bugis masuk dan melakukan perkawinan dengan gadis setempat. Pan Islam semakin masif di pedalaman. Orang yang tidak mau masuk islam di angkat jadi pegawai kerajaan, dan yang masuk islam diberi identitas baru;”Laut, Senganan, dll”.
Pada masa ini, Pan Chinese masuk melalui Sultan-Sultan yang dikirim dari Brunei untuk menambang emas, khususnya di Monterado (Kabupaten Bengkayang, pen) dan Mandor (Kabupaten Landak, pen). Awalnya koloni ini sedikit, seiring perkembangan perdagangan emas yang semakin baik, Cina dari daratan didatangkan. Mereka mendirikan perusahaan yang dikenal dengan nama Kongsi. Ratusan kongsi bersekutu, sehingga membentuk semacam negara “republik” yakni Lan Fang di Mandor dan Hae Sun di Monterado. Republik ini beberapa kali berperang dengan Sultan dan Orang-Orang Dayak, untuk memperoleh akses sumber daya alam yang melimpah.
Pada abad 16, Kristen masuk melalui pegawai-pegawai kolonial Belanda yang dikirim dari Batavia (Jakarta sekarang, pen). Belanda diundang Sultan yang terdesak dalam peperangan melawan “Republik” Lan Fang dan Hae Sun. Terjadi perjanjian antara keduanya. Hasilnya, Belanda berhasil membubarkan Kongsi-kongsi. Para penambang dan pedagang emas beralih profesi menjadi petani, pekebun dan peternak. Yang tidak mau tunduk pada Belandak, sebagian diantaranya melarikan diri ke Sarawak dan Singapura. Sebagian kecil pulang ke Cina daratan. Pemerintah Belanda memperbolehkan misionaris dan zending masuk pada awal abad 19, didorong oleh masifnya gerakan pan islamisme di perhuluan dan pusat-pusat perdagangan penting. Untuk mempermudah kontrol penduduk, Belanda memberlakukan politik identitas; muslim di sebut Melayu dan non Muslim disebutnya Dayak. Dalam prakteknya, Melayu dikenal sebagai pegawai pemerintah dan Dayak sebagai pembayar pajak setia. Untuk masuk menjadi pegawai, Dayak harus merubah dirinya menjadi Melayu. Dayak yang masuk Melayu dikenal sebagai Senganan, Urakng Laut, dll dan tidak mau mengaku diri sebagai Dayak. Menjelang akhir abad 19, Dayak berusaha melakukan kooptasi, dan berhasil melalui jalur politik; Partai Persatuan Daya. Dayak mulai percaya diri, dan dengan identitas baru; kami orang DAYAK. Tapi situasi ini tak berlangsung lama, kira-kira hanya dua puluh tahun (1941-1966).
Kapitalisasi Tanah. Proses ini mulai terjadi awal tahun 1960-an, ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan yang mengelola kayu dan membangun perkebunan skala besar. Sertifikasi masal tanah terjadi melalui Jakarta. Undang-Undang dibuat untuk “menaklukan” tanah adat menjadi tanah negara. Jadilah 2,8 juta hektar tanah terkapling oleh ratusan perusahaan negara dan swasta asing. Perubahan besar terjadi pada Orang Dayak. Penduduk dari berbagai pulau berdatangan dan hidup bersama Orang Dayak. Terjadi dinamika sosial yang hebat; asli vs pendatang, untung vs rugi. Ekonomi menjadi jargon utama dalam pembangunan Dayak. Sebuah peradaban baru yang sarat perubahan yang sulit mereka ikuti dengan menguntungkan.
Demokratisasi. Perubahan besar yang terjadi sejak 1960 menyebabkan Orang Dayak mulai diambang kebingungan. Terjadi krisis identitas, krisis kepercayaan diri, dan berbagai krisis lainnya. Tanah dan Hutan semakin menyempit, penduduk mulai heterogen dengan komposisi yang relatif seimbang dan arus gerakan global; demokrasi-universalitas-teknologi. Orang Dayak mengalami kekhawatiran, menjadi asing ditanah sendiri atau mengikat diri untuk ambil bagian dalam perubahan.
Menurut pastor asal Belanda yang sudah menjadi warga Negara RI ini, sebelum Jepang masuk, propaganda mengenai Indonesia cukup kuat masuk didaerah Kalbar (pasti juga termasuk dikampungku). Aktivis Indonesia, katanya, juga keluar masuk kampong, membentuk pengurus dan mencari anggota. Banyak diantara orang kampong yang menjadi pengurus dan anggota. Dari sekian banyak Indonesianis, yang cukup aktiv dan didukung orang sekampung adalah Parindra dan P.A.B (Persatuan Anak Borneo). Pada waktu itu, orang kampong berbicara mengenai agama Katolik, agama Parindra dan agama P.A.B.
Dalam Majalah Battaki, edisi khusus Januari-Maret 1997, Pater yang sudah 49 tahun hidup ditengah orang dayak ini menulis, bahwa keadaan ini berubah drastic sesudah Jepang. Segala-galanya berubah. Orang Dayak, juga mengalami dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri. Penjajahan Belanda dengan perantara Sultan dan Panembahan telah berakhir.
Orang Dayak (saya “merasa” bagaimana orang dayak ketika itu, ketika membaca buku ini) merasa diri sungguh-sungguh dihargai. Gubernur pertama dan 4 Bupati orang Dayak. Mereka adalah pejabat P.D (partai politik peserta pemilihan umum pertama di Indonesia tahun 1955, yang dibentuk oleh intelektual dayak untuk memperjuangkan orang dayak secara politik). Pembesar-pembesar ini semua beragama Katolik, alumni persekolahan Nyarumkop. Beberapa penyelidikan yang sudah pernah dilsayakan, menyebutkan bahwa mereka dapat diangkat karena mereka memperoleh suatu pendidikan yang baik di seminari menengah, sebelum Jepang.
Sepanjang sejarah Indonesia, Orang dayak (dan juga di kampungku), tidak pernah menuntut republic sendiri. Mereka dengan senang bergabung dalam Republik Indonesia. Aspirasi politik mereka, disalurkan lewat P.D. (Partai Dayak). Pada waktu itu juga, mulai muncul penyadaran bahwa sangat diperlukan suatu penyesuaian dengan zaman modern. Mereka mulai ingin ke sekolah-sekolah.
Mereka juga mulai menganut agama, Katolik. Banyak hal yang mendorong mereka untuk memilih agama ini, mereka sudah kenal dengan pastor-pastor dan suster-suster, yang melayani mereka dengan sungguh, secara khusus di bidang pendidikan dan kesehatan. Rumah-rumah sakit (dan RS Bersalin, pen) yang ada semua dari Gereja Katolik. Sekolah-sekolah kebanyakan sekolah Katolik. Satu hal yang terpenting, Gereja Katolik, menghargai adat, lebih dari agama lain.
Pendeknya, dunia orang dayak mulai terbuka. Dunia luar masuk dan mereka masuk dunia luar. Dan ini terjadi tanpa konflik yang berarti. Belum banyak jalan raya, perubahan terjadi tidak terlalu cepat. Identitas cultural tidak terancam. Dan…..sekitar tahun 1993, terjadi suatu perubahan besar….Ekonomi makro mulai berkembang, infrastruktur pedesaan membaik. Tetapi, keberadaan (kami) sebagai suku dengan identitas sendiri dan tanah sendiri mulai terancam.
Kampungku, yang sebelumnya dilihat sebagai suatu daerah yang kurang berguna, dengan tanah yang kurang subur, mulai dilihat sebagai suatu daerah yang potensial. Tanah ternyata cocok untuk banyak jenis tanaman, persediaan tambang banyak dan bermacam-macam. Sebuah perusahaan perkebunan swasta besar masuk, Rokan Group. Memiliki beberapa anak perusahaan, diantaranya PT Agrina (membuka lahan perkebunan kelapa hibrida seluas ±12.000 Ha di Desa Menjalin dan Desa Raba) serta PT Purna Kahuripan (membuka lahan perkebunan kelapa hibrida dan coklat seluas ±10.000 Ha di Desa Nangka dan Desa Rees).
Sejak itu, kampungku mulai terbuka…..Tetapi, akibat dari cara yang dipakai untuk membuka daerah, mengeksploitasi dan memproduktifkan sumber daya alam, lambat laun, orang di kampungku mulai hilang dari pusat perkembangan itu. Mereka hilang dari tempat dimana diambil keputusan mengenai masa depan tanah leluhurnya. Mereka masuk dalam bahaya besar menjadi orang pinggiran. Dan ini, terjadi karena dorongan dari luar, tetapi juga kelemahan diri mereka sendiri.
Secara umum, Orang dayak (dan juga dikampungku), hamper tidak ada lagi suara di pemerintahan, tidak ada orang dalam militer yang menempati jabatan strategis. Mereka juga tidak memiliki modal. Memang, mereka mempunyai tanah. Tetapi ini mulai diambil dari mereka (demi pembangunan) dengan bermacam-macam cara. Ekonomi dan kepentingan orang tertentu dalam praktek pembangunan menjadi lebih penting daripada keberadaan dan masa depan mereka sendiri. Mereka sering disepelekan dan disisihkan.
Di Borneo Barat, masih ada banyak guru orang dayak. Tetapi situasi inipun akan berubah drastic dalam 20 tahun mendatang. Dengan dihapusnya SGA tahun 1980-an, SPG tahun 1990-an, dan PGSD tahun 2000, kemungkinan untuk orang dayak menjadi guru sangat berkurang. Kalaupun sekarang ada FKIP di universitas negeri, orang dayak sulit masuk. Hanya ada peluang jika pemuda dayak mendaftar di STKIP swasta, tetapi berbiaya mahal. Sekolah-sekolah swasta yang dikelola Gereja Katolik diperkotaan, siswa dan mahasiswa umumnya bukan orang dayak. Sekali lagi, mereka kesulitan.
Orang luar memang pintar. Dengan kekuasaan ditangan, mereka memusatkan dan memperhatikan fasilitas pendidikan, ekonomi, pemerintahan di kota-kota besar, kemungkinan bagi orang dayak, menikmati itu dalam praktek cukup berkurang. Mereka tidak bisa mempergunakan nepotisme, dan juga tidak ada koneksi, tak bias kolusi dan tak punya uang upeti. Dalam praktek, semua bidang, dipusatkan di kota dan diurus oleh orang bukan dayak.
Sejak tahun 1981, berpuluh-puluh orang datang dari kota, keluar masuk kampong. Mereka ini utusan dari berbagai proyek besar pemerintah pusat di Jakarta. Ada proyek P2KP, P3DT, PPK, dll. Ada juga dari berbagai utusan LSM, yang kantornya di kota besar. Hamper setiap bulan, petugas-petugas khusus ini datang ke kampong dan menggurui orang kampong, memperlsayakan mereka sebagai anak yang masih bodoh, sampai orang kampong merasa diri lagi dalam keadaan zaman dulu: sultan atau panembahan dan mereka (dayak) sebagai bawahan.
Selama ini, saya juga menyaksikan langsung pergumulan dikampungku dan kampong-kampung sekitarnya. Dalam pembagian subsidi untuk bidang agama, misalnya, pemerintah memegang “teguh” distribusi uang/proyek untuk bangun rumah Tuhan dengan prosentase 90% islam dan 10% non islam, walaupun di Kalbar menurut statistic pemerintah tahun 1990, 41% Dayak dan 13% Cina. Ini berarti bahwa pasti 54% non-islam. Kelompok-kelompok non dayak mampu dengan bantuan pemerintah membangun rumah ibadat yang bagus, tetapi orang dayak (dan juga dikampungku) sering tidak mampu. Dan ini, sangat mengganggu perasaan keadilan dan kejujuran yang dimiliki oleh orang dayak.
Dan apa yang paling dirasakan oleh orang dayak adalah transmigrasi. Proyek ini telah berlangsung secara resmi sejak tahun 1960, 1970, 1980, 1990, 2000, dan sekarang. Yang tidak resmi (dengan bantuan pemerintah), saya rasakan justru paling besar. Untuk proyek transmigrasi itu, pemerintah menyiapkan tanah (dibebaskan) 2 hektar per keluarga, diberi sertifikat, rumah, jalan raya, puskesmas, rumah ibadat, biaya hidup selama dua tahun, dan lain-lain.
Para transmigran umumnya beragama islam. Mereka ditempatkan disatu tempat dan diisolir mula-mula (cukup lama) dari orang setempat. Dilain pihak, orang dayak disekitar lokasi pemukiman proyek transmigrasi kurang diperhatikan. Tetap dalam kondisi yang sengaja diciptakan sebagai yang tersisih.
Saya juga pernah merasakan sebagai anak transmigrasi. Selama 7 tahun (1982-1989), saya hidup dipemukiman transmigrasi ini. Namanya, proyek transmigrasi local. Tetapi dalam proyek-proyek itu, menurut cerita bapakku, korupsi pelaksana proyek sering begitu merajalela bahkan hamper tidak punya arti lagi bagi warga transmigrasi seperti bapakku. Warga transmigrasi local tidak diberi tanah 2 hektar, tidak ada sertifikat, tidak ada rumah ibadat, tidak ada puskesmas. Yang disediakan hanya rumah, dan biaya hidup selama dua tahun. Setelahnya, warga dituntut untuk mandiri. Akibatnya, mereka menjadi buruh tani (sewa lahan penduduk setempat untuk membuka sawah dan lading), buruh pada perkebunan karet. Lagi-lagi, mimpi untuk keluar dari kemiskinan pupus diera ini.
Saat ini, saya baru dapat mengerti bahwa ketidakpuasan orang dayak dengan situasi, bersama dengan suatu ketakutan besar bahwa terancam hilang dipulau sendiri, dan frustasi karena system dan kekuasaan, menyebabkan mereka terluka yang teramat dalam. Akibatnya, mereka keluar atau meledak dalam kemarahan besar terhadap suku lain, yang dianggap ancaman terdekat (fisik), dan terkadang terjadi berulang-ulang selama puluhan tahun lalu. Saya melihat dan mengalami sendiri ledakan amarah orang dayak ini ditahun 1984, 1987, 1996, 1997 dan 1999.
Kalau dikaji lagi lebih jauh, dari berbagai kerusuhan itu, kenapa umumnya generasi muda (usia SD-perguruan tinggi) banyak terlibat ? menurutku, hal teramat penting adalah karena mereka kecewa dan frustasi dengan situasi yang ada. Sekolah dan tidak sekolah sama-sama sulit untuk mendapat pekerjaan, meskipun proyek-proyek besar ada dikampung mereka.
Kesimpulan
Adat yang mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat holtikultural Dayak Salako dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem kehidupan ini.
Berdasarkan world-view (pandangan dunia)-nya, masyarakat dayak salako mamahami manusia itu sebagai bagian dari alam dalam suatu bentuk sistem kehidupan. Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan hidup bersama dari unsur manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia (organisme dan non-organisme). Kesemua unsur dalam sistem itu memiliki nilai dan fungsinya masing-masing. Pandangan kosmologi tersebut telah berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropocosmic, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak terpisahkan, hal ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam sistem kehidupan itu dimana manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah memanifestasikan diri mereka sebagai raja penguasa atas alam. Pandangan kosmologi yang demikian itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup yang tercakup dalam adat sehingga membuat masyarakat Dayak Salako mempunyai sikap menghargai, menghormati dan bersahabat terhadap alam.
Dengan demikian, manusia tidak dapat bertindak semau-maunya terhadap alam, mengeksploitasi alam sehabis-habisnya demi kepentingan ekonominya. Bagaimanapun juga kesejahteraan hidup manusia secara keseluruhan- termasuk kesejahteraan hidup generasi yang akan datang- tetap akan tergantung dari kesehatan dan kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan dan satu-satunya lingkungan hidupnya. Religi yang telah diwariskan para leluhur dan telah diuji dan dipraktekkan sepanjang sejarah kehidupan mereka sebagai peladang berpindah dan perambah hutan- telah berhasil melestarikan lingkungan hidupnya. Mereka melalui religinya telah berhasil membuat suatu bentuk kehidupan berkelanjutan (sustainable life) dalam kehidupan mereka.
Adat sebagai produk akumulasi dari pengalaman manusia-produk adaptive strategy dalam interaksinya dengan alam agar supaya mereka mampu bertahan hidup (survive)- telah berkembang menjadi budaya disepanjang kehidupan manusia tersebut. melestarikan budaya berarti melestarikan lingkungan hidup karena di dalamnya terdapat etika lingkungan hidup. Mencela budaya karena sifatnya lokal (ketinggalan jaman) berarti mencela para leluhur yang telah mewariskannya yang sekaligus menolak untuk melestarikan lingkungan hidup. Dengan melestarikan budaya maka berarti kita semua – kehidupan manusia dan bumi-akan tetap SUNIO (lestari).
Akhirnya, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa contoh-contoh di atas dipilih untuk memberi gambaran bahwa praktek keagamaan yang dilandasi kepercayaan agama asli di kalangan penganut agama-agama besar dunia dan disayai negara Indonesia masih marak. Sekalipun agama asli tidak memiliki hak legalitas tentang keberadaannya namun elemen-elemen tertentu dari agama asli ini masih dipelihara dan dipraktekkan oleh penganut agama dunia ini. Untuk mencari jawab sekitar daya tahan agama asli ini tidaklah terlalu gampang. Secara teori agama asli bisa meresap dan tetap dipelihara di balik agama dunia sebab sejak awal dalam para pewarta agama dunia itu memberi toleransi besar kepada praktek-praktek agama asli itu. Kasus inilah sinkretisme terang-terangan. Bahwa bagaimanapun, agama asli haruslah tetap dihargai sebagai bagian yang takterpisahkan dari peradaban dunia. Untuk mencari jawab sekitar daya tahan agama asli ini tidaklah terlalu gampang.
Secara teori agama asli bisa meresap dan tetap dipelihara di balik agama dunia sebab sejak awal dalam para pewarta agama dunia itu memberi toleransi besar kepada praktek-praktek agama asli itu. Kasus inilah sinkretisme terang-terangan. Bahwa bagaimanapun, agama asli haruslah tetap dihargai sebagai bagian yang takterpisahkan dari peradaban dunia. Tulisan ini sekaligus juga menyanggah bahwa adat Orang Dayak adalah agama, yang dalam ilmu sosiologis dan antropologis digolongkan sebagai agama asli. Dengan demikian, saya boleh katakan bahwa praktek adat bukanlah praktek animisme, sebagaimana yang dikatakan orang luar seperti sekarang ini. Untuk itu, saya menyarankan kiranya diperlukan dialog-dialog antar peradaban, baik penganut agama asli, evangelis protestan maupun katolik pada level komunitas.
Untuk menghindari konflik dikomunitas, saran saya bagi penginjil atau apapun namanya, yang mau menyebarkan agama dikampung ini ada baiknya terlebih dahulu mempelajari dan mendalami mitos-mitos dan upacara-upacara adat serta keagamaan mereka. Kemudian mereka (penginjil,dll) juga harus sanggup merumuskan ajaran-ajaran agamanya sesuai dengan sikap dan pandangan hidup mereka tanpa perlu mengorbankan nilai-nilai hakiki agama yang disebarkannya itu. Dengan demikian agama betul-betul bisa berakar dalam kehidupan masyarakat.
Tantangan
Bagaimanapun juga pengaruh mentalitas pencerahan yang mengglobal ini telah merasuki kehidupan kita, mengubah pandangan kita untuk menjadi tuan dalam segala hal. Masihkan adat, pandangan kosmologi dan mitos-mitos survive (bertahan hidup) ditengah kehidupan generasi muda suku Dayak Salako di era globalisasi sekarang ini? Pertanyaan ini merupakan bahan renungan untuk kita semua, khususnya generasi suku Dayak Salako, mengingat Indonesia tercatat sebagai “Rekot dunia” dalam hal penghancur hutan tercepat di dunia pada tahun 2000 – 2005 (Kompas, Jum’at 4 Mei 2007, silahkan baca lampiran di halaman sebelah).
Daftar Pustaka
Child, Alice B., et.al. Religion ang Magic in the Life of Traditional People. New Yeysey:
Prentice-Hall, 1993.
Darwin, Charles. The Origin of Spicies. Diterjemahkan oleh F. susiloharjo & Basuki
Harwono. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
Dunselman, Donatus, OFM Cap. Bijdrage Tot de Kennis van de Taal en Adat der
Kanayatn Dayaks van West Borneo, 1950.
Hofes, M. Lewis. Religion of the World. New york: Macmillan Publishing Co., Inc.:
1983.
Johnstones, R.L. relogion and Society in interaction. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1975.
Kottak, Conrad Phillip. Anthopology. The Ekploration of Human Diversity. New York:
Mcgraw-Hill, Inc. 1974.
Nugroho, Alois A. Fungsi rasio Alfred North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. Translated by John W. Harvey. London: Pelican
Books, 1959
Priyono, Herry. Nilai Budaya Barat dan Timur Menuju Tata Hubungan Baru. Dalam
Jelajah hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: PT. gramedia, 993.
Sanderson, Stephen K. Macrosociology. An Introduction to Human Societies. New York:
Harper Collins Purblishers, 1991.
Schleiermacher, Friedrich. On Religin. Translated by John Oman. New York: Frederick
Ungar Publishing Co. 1995.
Skolimowski, Henryk. Eco-Philosophy: Designing New Tactics for Living. London:
Marion Noyars Publishers Ltd., 1981.
Sumber : http://yohanessupriyadi.blogspot.com