Oleh: Yadi Mulyadi
Staf Pengajar Jurusan Arkeologi
Universitas Hasanuddin
Prolog
Keberadaan airlah yang menyebabkan munculnya aktifitas kemaritiman. Dominasi air yang begitu besar menjadikan hampir 70 % permukaan bumi berupa lautan yang menjadi pemisah antar daratan. Untuk memadukan lautan, manusia dengan akalnya menghasilkan budaya maritim yang merupakan refleksi kehidupan dalam mengarungi lautan. Salah satunya adalah perahu dan kapal yang berfungsi sebagai sarana transportasi untuk menjelajahi lautan sehingga memungkinkan manusia untuk berpindah dan satu daratan ke daratan lainnya di muka bumi ini. Dengan kapal pula manusia, mengadakan perjalanan jauh membawa komoditi perdagangan untuk mereka jual di daratan lain atau pulau lain. Demikian pula di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, aktifitas kemaritiman telah berlangsung sejak lama. Hal ini didukung dengan adanya temuan nekara, manik¬manik, dan alat-alat logam lainnya yang menyebar dari Sabang hingga Merauke,, menjadi bukti sejarah bahwa perdagangan di Indonesia sudah dimulai dari jaman prasejarah (Mahmud, 2002). Sedangkan temuan manik-manik kaca Indo-Pasifik yang menyebar di seluruh kawasan Indonesia hingga Pasifik merupakan bukti nyata terjadinya perdagangan antar bangsa dan lebih meningkat berkat adanya hubungan maritim yang dilakukan dengan menggunakan kano atau perahu sejenisnya (Bellwood, 2000). Pada akhirnya perdagangan dan kemaritiman menjadi dua hal yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia.
Indonesia yang terletak pada jalur persilangan lalu lintas perdagangan dunia menjadikannya sebagai jalur terpadat perdagangan maritim di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini yang memicu munculnya kerajaan-kerajaan besar dengan pelabuhan laut yang besar pula. Sebut saja Kerajaan Aceh, Samudra Pasai, Sriwijaya, Melayu, Singasari, Majapahit, Mataram, Gowa-Tallo, Buton, Temate, Tidore hingga Demak Bintoro memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing dan nusantara. Adanya pelabuhan laut tersebut maka mendorong arus distribusi barang berlangsung sangat cepat. Sehingga kebutuhan barang ekspor dan impor semakin meningkat pesat. Barang-barang dagangan baik yang merupakan komoditi ekspor maupun impor diperjualbelikan antar pedagang nusantara dan juga pedagang asing yang memasuki perairan nusantara.
Aktifitas perdagangan di masa lalu itulah yang kemudian menyisakan tinggalan-tinggalan budaya yang mencerminkan kemaritiman. Dalam arkeologi tinggalan tersebut menjadi objek utama kajian arkeologi maritim. Perdagangan masa lalu selama ini lebih banyak dikaji dan kajian ilmu sejarah, arkeologi maritim yang memfokuskan kajian pada tinggalan bendawi kemaritiman dapat memberikan perspektif baru tentang sejarah perdagangan dan kemaritiman di Indonesia. Sebagaimana yang diutarakan oleh Sedyawati, arkeologi maritim meliputi dua ranah garapan. Pertama, mempelajari dan menangani segala tinggalan di bawah air. Kedua, mempelajari segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, namun datanya terdapat di daratan (Sedyawati, 2006:30). Pelayaran tentu saja identik dengan aktifitas perdagangan. Dengan pelayaran, perdagangan antar kawasan dapat terjadi dan menciptakan pusat-pusat perdagangan termasuk di Indonesia bermunculan pusat-pusat perdagangan yang pernah berjaya di masanya.
Salah satu pusat aktifitas kemaritiman adalah Aceh, yang merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan teramai pada masanya. Kajian tentang perdagangan dan kemaritiman di Aceh masih sangat minim, sehingga apa yang dihasilkan dan penelitian arkeologi maritim di Aceh dapat semakin mempertegas jejak sejarah kemaritiman di Indonesia. Selain itu, potensi kesejarahan maupun keberadaan objek dan tinggalan maritim tersebut berpeluang untuk dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata budaya yang dapat menambah pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sekilas Sejarah Aceh
Membicarakan sejarah Aceh berarti menguraikan jejak panjang perjalanan suatu peradaban yang gemilang yang telah ditempuh. Berbicara tentang sejarah Aceh tidak dapat dilepaskan dari fakta sejarah akan keberadaan kerajaan ataupun kesultanan di Aceh yang menjadi pusat agama Islam di nusantara. Sebagai kajian awal mengenai potensi arkeologi maritim di Aceh, maka sejarah Aceh diuraikan secara umum saja untuk memberikan gambaran betapa Aceh tidak dapat dilepaskan dari kemaritiman.
Dalam beberapa literatur sejarah disebutkan bahwa Aceh merupakan pusat penyebaran Islam di Nusantara. Bahkan di Aceh pula pertama kali muncul kerajaan Islam yang berperan dalam penyebaran agama Islam ke wilayah lain di nusantara. Dalam catatan A. Hasymi, di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M telah berdiri Kesultanan Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Ironisnya nama Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia kurang begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Namun demikian, nama Kesultanan Perlak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1293.
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Pada masa itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang, sehingga memasuki awal abad ke-8 M, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Selain Perlak terdapat pula kesultanan Benua Tamiang merupakan kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak. Belum ditemukan data dan sumber yang pasti tentang kapan masuknya Islam, proses perkembangannya, hingga mulai terbentuk Kesultanan Benua Tamiang yang telah dipengaruhi oleh sistem politik yang berasaskan Islam. Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu masa awal pembentukan Negeri Tamiang sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan Benua Tamiang. Bukti adanya Negeri Tamiang adalah bersumber dan data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut 'Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.
Proses islamisasi di Tamiang berlangsung relatif singkat. Setelah masuknya rombongan ke Tamiang dan melakukan dakwah keagamaan, banyak rakyat Tamiang yang kemudian memeluk Islam. Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan). Keberadaan sungai-sungai ini bagi masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan sebagai pengairan tanaman pangan juga dapat digunakan sebagai alat transportasi, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan, maupun untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi.
Adapun kerajaan lain yang paling terkenal di tanah Aceh adalah kerajaan Aceh yang berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majapahit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhimya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dan Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dan penaldukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dan dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dan lokasi asal alirannya.
Potensi dan aspek pengelolaannya sebagai sumberdaya budaya
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa Aceh merupakan wilayah yang memiliki potensi tinggalan arkeologi maritim yang cukup melimpah. Wilayah yang dulu merupakan pusat kerajaan-kerajaan di Aceh dapat ditelusuri kembali untuk mengetahui jejak sejarah aktifitas kemaritiman di Aceh. Seperti wilayah Perlak yang pada abad 8 M merupakan pelabuhan niaga yang sangat maju. Demikian pula wilayah sungai Simpang Kiri dan sungai Simpang Kanan serta sungaiXrueng Kaloy yang merupakan pusat wilayah kesultanan Benua Tamiang.
Hal tersebut memberikan gambaran bahwa Aceh merupakan sebuah kawasan budaya yang begitu luas dan perlu segera ditangani dengan tepat. Kegiatan penelitian yang eksploratif dan deskriptif dapat dilakukan secara kontinyu untuk memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah pengelolaan sumberdaya budaya maritim tersebut untuk kepentingan jangka panjang yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sumberdaya budaya merupakan aset yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum, baik kepentingan idiologis, akademis maupun untuk kepentingan yang bersifat ekonomis (Cleere, 1989: 5-10). Dalam hubungan ini maka sumberdaya budaya perlu mendapat penanganan (pengelolaan) secara tepat agar dapat terjaga dan terlindungi kelestariannya. Berkenaan dengan pengelolaan, diperlukan bentuk dan jenis pengelolaan yang merujuk langsung pada kepentingan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya budaya temasuk sumberdaya arkeologi. Hal itu diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan situs yang merupakan sumber data utama bagi kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta kepentingan penelitian arkeologi pada khususnya. Selain itu, dengan tetap lestarinya peninggalan budaya tersebut maka dapat tetap dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan masyarakat umum.
Satu hal yang sangat penting dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumberdaya budaya, adalah upaya perlindungan dengan menerapkan suatu mekanisme yang disebut dengan zoning (pemintakan). Pemintakan dalam hal ini adalah penataan ruang kawasan. Gagasan ini sebenarnya diperuntukkan untuk mengontrol dan mengatur penggunaan tanah untuk pembangunan masa yang akan datang. Sebagimana dikemukakan oleh Callcott (1989) bahwa:
"Zoning is a tool that provides a local government wih a basic framework for land-use control ang regulating future depelopment. The power to zone is provided by each state through enabling to its munificalities. Since zoning is one the basic factor that affect property its uses, and its building, varyng applications of this techniques must be understood by those interested in rural conservation" (Callcott, 1989: 16).
Konsep ini dipakai untuk melindungi dan mengatur dalam upaya pelestarian obyek sejarah dan arkeologi dan nilai-nilai yang dikandungnya serta keaslian lingkungan masa lalu.
Secara khusus upaya penanganan terhadap sumberdaya arkeologi di Indonesia, telah dilakukan sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda, yang dilakukan oleh suatu badan berbentuk kepanitiaan bernamaCommisie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Oderzoek op Java end Madoera tahun 1901 (Mundardjito, 1996: 124) yang kemudian berganti menjadi Oudheidkundig Dienst (Jawatan Purbakala) tahun 1913. Sementara secara operasional pada tahun 1931 dikeluarkan Monumenten Ordonantie Staatblad Nomor 238 yang mengatur tentang perlindungan dan penanganan peninggalan sejarah dan purbakala dalam wilayah Hindia Belanda. Perangkat hukum ini dianggap tidak memadai, dan oleh pemerintah Indonesia menggantikannya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Baru pada tahun 1980-an gaung pengelolaan sumberdaya budaya di Indonesia mulai dirintis oleh para akademisi dan para peneliti arkeologi, sebagai tanggapan serius dan issu internasional. Di samping mengingat bahwa Indonesia adalah salah satu "kawasan" dengan sumberdaya budaya beraneka ragam. Pusat-pusat budaya arkeologi di Indonesia tersebar di hampir seluruh kepulauan, yang membutuhkan penanganan serius dan terpadu.
Kenyataan menunjukan bahwa sumberdaya budaya yang juga meliputi tinggalan¬tinggalan arkeologis, tidak hanya berupa benda yang dapat dipindah tempatkan (movable) tetapi juga dapat berupa bangunan (fitur), atau jejak-jejak lain yang melekat permanen (unmovable). Misalnya lukisan prasejarah yang terdapat di dalam gua-gua serta benda¬benda lainnya yang merupakan satu kesatuan budaya. Potensi budaya "mati" ini secara teknis dapat dikelola dengan berbagai pendekatan dengan maksud-maksud akademik, pelestarian, penelitian, ekonomi dan pariwisata serta sebagai sarana pencitraan kebudayaan bangsa Indonesia.
Salah satu pengertian pengelolaan sumberdaya budaya adalah bagaimana mengelola dengan baik sehingga dapat dimanfaatkan secara efektif dan tidak saling berbenturan antar kepentingan. Pengertian ini bermakna bahwa mengabaikan sumberdaya budaya sebagai akses penting pembangunan nasional adalah tindakan yang berbahaya. Demikian pula, bahwa penggarapan lingkungan secara tidak terkendali dapat membahayakan ekosistem, keseimbangan lingkungan dan terancamnya sumber-sumber kehidupan demikian pula sumberdaya arkeologi.
Seiring dengan perkembangan secara global, terjadi pergeseran lingkup kegiatan pengelolaan sumberdaya budaya. Awalnya hanya meliputi kegiatan preservasi budaya materi, baik melalui kegiatan rekaman data maupun preservasi tinggalan fisiknya yang seringkali memisahkan tinggalan arkeologis dengan kawasan budayanya dan dengan masyarakat lokal. Kemudian pengelolaan sumberdaya budaya berkembang menjadi kegiatan preservasi terhadap segala sesuatu yang masuk dalam pengertian dan konsep tentang budaya yang lebih luas. Secara lebih nyata, perkembangan pemahaman baru tersebut dapat diamati melalui berbagai piagam, deklarasi dan implementasi yang mengalami perkembangan.
Salah satunya yang dihimpun dalam Burra Charter yang disusun tahun 1979 hingga 1988 di Australia. Demikian pula di Amerika Serikat yang telah mengeluarkan Wasington Charter pada tahun 1987. Secara lebih global, kebijakan pengelolaan sumberdaya budaya di beberapa negara kemudian merujuk pada ratifikasi dan UNESCO conventions, seperti World Heritage Convention tahun 1972, Valetta Convention danConvention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage tahun 2001. Selain merujuk pada kebijakan-kebijakan tersebut di atas, terdapat juga kebijakan-kebijakan yang lebih spesifik bagi situs-situs tertentu, terutama bagi situs yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Di tingkat nasional pun geliat pengelolaan sumberdaya budaya mengalami perkembangan yang positif, terlepas masih adanya kasus-kasus pengrusakan sumberdaya budaya. Seperti dapat dilihat dengan munculnya kebijkan-kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya budaya berupa peraturan-peraturan daerah. Misalnya Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya. Dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa lingkungan cagar budaya adalah kawasan di sekitar atau di sekeliling bangunan cagar budaya yang diperlukan untuk pelestarian bangunan cagar budaya dan/atau kawasan tertentu yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain itu pemerintah Kota Yogyakarta pun telah memiliki peraturan daerah yang mengatur kawasan cagar budaya di kota.
Dengan perkembangan tersebut, lingkup kajian pengelolaan sumberdaya budaya kemudian tidak hanya terfokus pada lingkup data arkeologis yang bersifat fisik (tangible) saja, melainkan juga terhadap semua manifestasi dan budaya manusia, di antaranya seperti mitos, seni, bahasa, musik, dan tradisi budaya, yang lebih bersifat nonfisik (intangible) dalam suatu konteks kawasan budaya tertentu (Parson and Sullivan, 1995). Perubahan lingkup kajian tersebut disebabkan karena munculnya pemahaman barn yang melihat bahwa komponen-komponen sumberdaya budaya seringkali tidak berdiri sendiri. Keberadaan sumberdaya budaya saling berkaitan dengan aspek-aspek lain, yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini yang semakin dinamik, dalam satu kawasan. Dengan pemahaman tersebut, maka disadari bahwa keberadaan sumberdaya budaya merupakan satu kesatuan dalam kawasan cagar budaya yang tidak dapat dipisahkan dan masyarakat.
Penutup
Potensi tinggalan arkeologi maritim yang begitu besar di Aceh tentu saja sangat disayangkan apabila tidak ada tindakan nyata untuk penangannya. Penanganan dalam hal pengelolaan sebagai sumberdaya budaya. Pada hakekat cultural resource management (CRM) atau managemen sumberdaya budaya adalah pelestarian atau konservasi, dimana konsep pelestarian harus dipahami dalam konteks transformasi budaya, proses transformasi dan konteks sistem ke konteks arkeologi. Pelestarian menjadi hal yang vital dalam CRM ini karena sumberdaya arkologi alias sumberdaya budaya pasti akan mengalami degradasi, semakin lama semakin menghilang. Semakin purba budaya diciptakan semakin langka untuk tetap bertahan. Sehingga dalam hal ini hakekat pelestarian adalah berusaha mempertahankan sumberdaya budaya agar tetap dalam konteks sistem atau mengembalikannya ke dalam konteks sistem dengan cara selalu memberi makna bagi sumberdaya budaya.
Sedangkan dengan diterapkannya sistem zonasi, diharapkan keberadaan tingalan arkeologi maritim sebagai sumberdaya budaya di Aceh dapat terus dilestarikan. Sehingga menghindarkannya dan bahaya kerusakan yang mengancam sambil dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti; ideologi, guna memantapkan identitas budaya bangsa; kepentingan akademik, terutama dalam rangka penyelamatan sumber-sumber data dan; kepentingan ekonomik dalam hubungannya dengan kepariwisataan. Namun dalam prakteknya nanti, tentu tidak lepas dan reaksi masyarakat terhadap rencana pengembangan ini, baik yang mendukung maupun yang sama sekali menolak. Untuk itu posisi masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja, namun semua yang berkaitan dengan warisan budaya baik penelitian, pelestarian dan pemanfaatannya harus mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas (McGimsey dan Davis, 1977; Mcleod, 1977; Cleere, 1989; dalam Tanudirjo, 1993: 3-7). Sehingga hasil manajerialnya dapat mengakomodir semua kepentingan dan proses pelestarian dan pemanfaatannya sebagai obyek wisata akan seiring dan sejalan dengan upaya pengembangan ekonomi masyarakat setempat.
Hasil dari seluruh kegiatan pengelolaan potensi tinggalan arkeologi maritim di Aceh yang dilakukan harus dapat digunakan untuk keperluan perawatan dan perencanaan ke depan demi kelestarian obyek tersebut. Sementara bagi masyarakat setempat dan Pemerintah Propinsi NAD dapat memanfaatkan kesempatan ini dalam usaha mendongkrak Pendapatan Asli Daerah-nya.
Terpulang dari itu semua, usaha pelestarian sumberdaya budaya, kembali pada kebijakan yang keluarkan pemerintah untuk melindungi dan mempreservasi sumberdaya budaya, yang tidak lepas dan tiga komponen utama yakni; kebijakan harus merupakan statement nasional yang kuat untuk melindungi, mempreservasi situs budaya, struktur dan jenis sumberdaya yang lain; memiliki dukungan politik dalam penerapannya dan ; diimplementasikan secara kooperatif antara departemen atau kementrian pada level nasional, dengan level pemerintahan lain dan dengan publik (Francis P. McManamon dan Alf Hatton, 2000; 6).
Dalam konteks inilah, penerapan CRM pada tinggalan arkeologi maritim di Aceh akan memberikan manfaat yang positif. Pemberian makna barn terhadap tinggalan-tinggalan arkeologi maritim dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif akan dapat mempertahankan keberadaan sumberdaya budaya tersebut. Dengan melestarikan sumberdaya budaya maka kita akan dapat mengambil manfaatnya, dan jika kita ingin memahami manfaat yang kita peroleh, kita harus menerjemahkan pengetahuan yang kita peroleh untuk masyarakat. Pada intinya dan masyarakatlah proses ini berawal dan kepada masyarakat pula semua itu harus diserahkan. Dengan konsep ini manajemen sumberdaya budaya harus diterapkan dengan keterlibatan masyarakat secara aktif sehingga tercipta masa depan bagi masa lalu Aceh yang lebih baik.
Rata Penuh
Sumber Bacaan
Cleere, H.F. 1989. Archaeological Heritage Management in the Modern World. London: Unwin Hyman.
Kusumohartono, Bugie .1993. "Penelitian Arkeologi Dalam Konteks Pengembangan Sumberdaya Arkeologi". Dalam Berkala Arkeologi. Yogyakarta: Tahun XII Balai Arkeologi Yogyakarta.
McLeod, Dodal G. .1977. "Peddle or Perish: Archaeological Marketing form Concept to Product". Dalam Conservation Archaeology. London: Academic Press.
McManamon, Francis & Alf Hatton (ed). .2000. Cultural Resource Management in Contempory Society. New York: Routledge
Mundardjito .1996. "Pendekatan Integratif dan Partisipatif Dalam Pelestarian Budaya". Dalam Jurnal Arkeologi Indonesia II. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Nuryanti, Wiendu. 1999. Tourism and Culture Global Civilization in Change?. Lester Borley. Heritage and Environment Management : The International Perspective. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Pearson, Michael dan Sullivan Sharon .1995. Looking After Heritage Places the Basics of Heritage Planning for Mangers, Landowners and Administrators. Melbourne: Melbourne University Press.
Renfrew, Colin dan Bahn Paul .1991. Archaeology, Theories, Method and Practice. London: Thames and Hudson Ltd.
Saridewi, Dian .2002. "Karakteristik Kota Purworejo Tahun 1830-1942" skripsi sarjana, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Scovill .1977. Managing Archaeology. New York: Roudledge Tj Press Ltd.
Tanudirjo, Daud Aris .1993. Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumberdaya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.