Oleh: Budiarto Danujaya
Andai Gayus HP Tambunan sejenis maling guno -sesosok Robin Hood yang sengaja melanggar hukum untuk membuktikan kebobrokan tatanan penegakan hokum- rangkaian akrobatnya mungkin sudah patut diacungi dua jempol. Gerak pikatannya seakan memukat keluar kebusukan jejalin korupsi, kolusi, dan nepotisme para aparat di hampir segenap jajaran penegakan tertib dan hukum di negeri ini, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, perpajakan, hingga sekarang juga imigrasi.
Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menutup tahun 2010 dengan kesimpulan bahwa penegakan hukum belum berjalan baik, korupsi masih merebak, dan birokrasi belum efektif; Gayus seperti memberikan sense of reality betapa ketiga masalah mendasar tersebut juga berbaku-kelindan satu sama lain sehingga saling mengunci. Penegakan hukum dan birokrasi pemerintahan takkan mungkin berjalan efektif selama korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih dibiarkan merajalela; serta vice versa KKN masih merebak dan akan tetap terus merebak apabila penegakan hukum dan birokrasi pemerintahan tak diniatkan untuk terselenggara lebih efektif.
Kebebasan pemberitaan pada era reformasi sejak lama telah membuka mata publik atas ringkihnya jajaran penegakan hukum dan penyelenggaraan negara kita terhadap pikatan KKN. Betapapun, belum pernah kiranya mata publik demikian dibelalakkan oleh kenyataan pelik, luas, dan mendalamnya perkelindanan mafioso lintas jajaran penegak hukum dan penyelenggara negara semasif perkara Gayus ini.
Sungguh sayang, betapapun luar biasa akrobatnya, Gayus cuma maling biasa.
Marjin Kontrol Publik
Tentu saja, menghidup-hidupkan optimisme publik atas penegakan hukum, apalagi di tengah merebaknya krisis kepercayaan masyarakat akibat serial pelecehan hukum komplotan pengemplang pajak ini, merupakan tugas pemerintah. Kehidupan bernegara hanya bisa berlangsung saksama apabila tertib dan hukum ditegakkan semestinya; dan upaya ini mustahil terlaksana tanpa kepercayaan masyarakat akan manfaatnya dalam menyelenggarakan keadilan bagi mereka semua.
Dalam konteks inilah kiranya Menko Polhukam Djoko Suyanto mencoba mengobati keraguan publik akan pengungkapan tuntas kasus yang bagi masyarakat kebanyakan semakin mengaromakan kongkalikong kalangan bisnis, politik, dan mafia hukum tingkat tinggi ini. Bagi Menko Polhukam, optimisme justru terpampang karena lewat perkembangan perkara ini tampak jelas semakin hidupnya kontrol publik. Sebagaimana luas diberitakan, episode pelesiran akrobat Gayus terkuak bukan lewat pengusutan penegak hukum, melainkan lewat “ketidaksengajaan” dua warga negara biasa.
Di tengah kemerosotan partisipasi publik dalam politik, seperti terlihat lewat rerata keikutsertaan pilkada yang cuma berkisar 60 persen, tentu saja sumbangan kepedulian lewat jepretan foto wartawan Kompas (Agus Susanto) dan surat pembaca Kompas (Devina) tersebut jelas menggembirakan. Mungkin ini bisa kita sebut sebagai contoh konkret tafsir kontemporer Bernard Flynn (1995) atas diskursus klasik La Boethia mengenai penghimpunan kuasa oleh penguasa sebagai yang tunggal lewat masyarakat sebagai yang banyak. Lewat partisipasi orang banyak, sang kuasa bak mendadak mengalami “penggandaan tubuh”: mempunyai lebih banyak mata untuk mengawasi, kepala untuk memikirkan, dan tangan-kaki untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara.
Betapapun, pertanyaannya lalu adalah: tidakkah ironis sebuah negeri dengan jajaran penegak hukum yang mampu cepat membongkar jejaring terorisme berkelas internasional tiba-tiba bak lumpuh dan harus menggantungkan kewajiban kerjanya pada ketidaksengajaan dua warga biasa?
Dalam teori peran negara yang paling minimal, seperti diskursus “negara sebagai penjaga malam” sekalipun, penegakan hukum sebagai bagian pengondisian penyelenggaraan kehidupan bernegara yang waras berada pada urutan paling utama sebagai wilayah ketika masyarakat boleh berleha-leha tidur karena negara berkewajiban terjaga untuk menyelenggarakan kehidupan bersama. Dalam konteks ini, betapapun sangat penting dan perlu, sungguh ironis jika kepedulian warga diandalkan sebagai sandaran pokok negara dalam menyelenggarakan kewajibannya.
Gelombang pasang kontrol publik, yang memang semakin kita rasakan lewat terkuaknya banyak kasus ketidakadilan dan penyelewengan hukum belakangan ini, memang pantas kita sambut gembira. Namun, penegakan tertib dan hukum sebaiknya tetap sepenuhnya hak dan kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara negara. Sementara partisipasi masyarakat, agar tidak eksesif, sebaiknya tetap ditempatkan di marjin ekstralegal sebagai mata-ekstra yang ikut mengawasi penyelenggaraan kehidupan bersama belaka. Tanpa marjin yang jelas, seperti kita tengarai banyak terjadi belakangan ini, pembiaran campur tangan masyarakat yang semula dimaksudkan sebagai partisipasi warga dalam berbagai kasus yang seharusnya legal-formal, terkadang justru mengkhawatirkan karena berbuntut kekerasan dan main hakim sendiri.
Mafia Pajak Tak Tersentuh
Seperti gamblang lewat kasus ini, penegakan hukum merupakan bagian ketiga persoalan mendasar kita yang harus serempak ditanggulangi karena baku-kaitnya terbukti saling mengunci. Betapapun, menilik KKN merupakan permasalahan yang paling melibatkan terlalu banyak pihak di luar kendali pemerintah, sementara penegakan hukum terbukti sangat tak berdaya akibat cengkeraman KKN yang mengurat mengakar pada jajaran penegakan hukum di negeri ini, boleh jadi upaya memperbaiki kondisi ini harus kita mulai dari niat untuk menyelenggarakan birokrasi yang lebih efektif.
Celakanya, perkara ini belakangan juga banyak menerbitkan kegundahan tersendiri. Sehubungan dengan kasus Gayus, misalnya, kita tahu bahwa Presiden telah berulang kali memerintahkan penuntasannya. Bahkan, lewat Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, terbetik janji pemerintah untuk membongkar tuntas kasus ini dalam 10 hari. Namun, kasus ini bak bergeming. Hanya berputar-putar di sekitar akrobat Gayus, sementara para mafia pajak lebih besar, khususnya para pengusaha besar yang telah disebutnya secara resmi di pengadilan, tetap tak kunjung disentuh. Sungguh jauh dari efektif.
Oleh karena itu, kalau Presiden memang ingin lebih efektif memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini, seperti janji kampanyenya, mungkin sudah waktunya mengganti pidato dengan instruksi. Dalam kasus ini, misalnya, menilik telah terbukti terlalu dalamnya keterlibatan para pihak di lingkungan Polri, tanpa basa-basi lagi menginstruksikan pengalihan penanganan kasus ini dari Polri ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tanpa langkah pengendalian yang lebih konkret semacam ini, dongeng menggundahkan mengenai politik sandera menyandera di lingkungan elite politik berkuasa yang telah beredar luas di masyarakat akan semakin melumpuhkan kepercayaan hukum masyarakat. Terlalu kerap kita dengar lewat media massa, banyak pihak semakin percaya bahwa elite Partai Demokrat menjadi tak berdaya membuat terobosan karena disandera kasus Bank Century, sementara elite Partai Golkar disandera kasus Lapindo dan Gayus.
Sungguh menggundahkan. Mungkin supaya dongengnya lebih mengharu biru bisa kita bumbui dengan menggejalanya sindrom Stockholm, yakni ketika para sandera akhirnya manut kehilangan daya perlawanan karena jatuh cinta kepada para penyanderanya. Dalam hal ini, lantaran masing-masing dienakkan karena telah diberi alasan pemakluman untuk tidak perlu bekerja keras memajukan penegakan tertib dan hukum di negeri ini.
Budiarto Danujaya, Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB-UI
Sumber: Kompas, Senin, 10 Januari 2011