Psikologi Korupsi

Oleh: Komaruddin Hidayat

SETIAP tindakan seseorang selalu bersifat intensional, di sana ada pertimbangan dan kalkulasi untung-rugi sebelum seseorang melakukan. Termasuk ketika melakukan korupsi.

Salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain). Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi. Terlebih lagi dengan uang banyak di tangan segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat susah segalanya.

Ada ungkapan klasik, it is money that makes the world in motion. Dalam legenda Yunani kuno, pada mulanya alat tukar yang sekarang disebut uang adalah berupa kepingan logam yang didesain secara khusus untuk sesaji dewi Monata agar tidak marah dan, sebaliknya, diharapkan melimpahkan rezeki. Dari nama dewi inilah kemudian muncul kata money yang diterjemahkan menjadi uang. Dulu ketika alat tukar masih berupa logam emas yang terjadi adalah perampokan, bukannya korupsi berupa angka nominal melalui teknologi komputer dalam waktu yang amat cepat dengan prosedur yang dibuat berbelit dan berliku agar sulit ditelusuri oleh pengawas.

Ketika jumlah penduduk bumi sudah di atas 5 miliar, serta muncul saling ketergantungan ekonomi dan perdagangan antarwarga bangsa, alat nilai tukar paling praktis adalah lembaran uang seperti kita saksikan sekarang. Bahkan, sekarang tak mesti membawa uang kalau bepergian dan melakukan transaksi bisnis, cukup dengan kartu kredit. Ini sebuah revolusi besar dalam sejarah peradaban manusia. Hanya saja, ketika uang jadi komoditas, bahkan menyaingi dan mengungguli komoditas riil, malapetaka sosial tak terelakkan. Monopoli, manipulasi, dan korupsi serta capital flight keuangan sangat mudah dilakukan.

Karena kekayaan saat ini berupa uang, maka yang dianggap kaya adalah mereka yang tabungannya banyak, sekalipun uangnya tidak produktif. Pusat kekayaan tidak lagi di desa dengan lahan sawah yang luas, tetapi di dunia perbankan dan kantor pajak karena di situ terakumulasi uang triliunan rupiah. Lebih celaka lagi jika orang merasa kaya dengan uangnya yang banyak, tetapi disimpan di bank asing. Bukankah uang laksana darah bagi tubuh? Kalau disimpan di bank asing, sama halnya mengisap darah rakyat sendiri sehingga mereka itu tak ubahnya sebagai gerombolan economical vampire.

Musuh Rakyat dan Negara

Kalau korupsi dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat negara ataupun perusahaan dalam jumlah yang kecil pula, dampaknya tidak begitu terasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa sebuah bendungan raksasa akan jebol bermula dari kebocoran yang kecil dan tidak segera diatasi. Begitu pun sebuah bangunan besar akan habis termakan api yang dimulai oleh jilatan api yang juga kecil.

Sungguh menjadi problem serius bagi bangsa ini karena yang melakukan korupsi saat ini tidak lagi pegawai rendahan, tetapi mereka yang kedudukan dan pendidikannya tinggi serta gaya hidupnya sangat mewah sehingga korupsi berlangsung secara sistemik dan jumlahnya miliaran. Ibarat ulat, yang dimakan bukan saja daun, dahan, dan buahnya, melainkan batang tubuhnya yang lama-kelamaan akan menjalar ke akar kehidupan bernegara. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin yang bermakna menghancurkan. Jadi para koruptor memang sudah berhasil menghancurkan martabat dan wibawa pemerintah serta bangkrutlah kekayaan negara dan bangsa.

Jadi, masyarakat dan pemerintah mestinya menempatkan para koruptor sebagai kelompok subversi musuh rakyat dan negara yang mesti ditindak tegas, jika perlu dihukum mati karena negara dan rakyat banyak yang menjadi kurban. Daya rusak tindakan korupsinya jauh lebih dahsyat ketimbang teroris pelaku bom bunuh diri. Karena daya rusak korupsi berlangsung sistemik dan menghancurkan tubuh birokrasi negara serta mental pejabat, rakyat mesti marah dan bangkit melawan koruptor. Jika perlu segera dibuat undang- undang pembuktian kekayaan terbalik terhadap pejabat negara yang strategis. Masih banyak putra bangsa yang ingin mengabdi untuk melayani rakyat dengan gaji di bawah Rp 50 juta per bulan selama lima tahun.

Di kalangan sufi terdapat keyakinan kuat bahwa harta haram itu ibarat madu yang akan mengundang semut, maksudnya syaitan, untuk berkerumun. Artinya, jika rezeki yang masuk aliran darah adalah haram, seluruh aktivitas hidupnya akan mudah tergelincir ke jalan syaitan. Makna syaitan mirip dengan kata korupsi yang berasal dari bahasa Latin corrumpere, yaitu menghancurkan. Syaitan adalah energi tidak terkendali sehingga menimbulkan daya destruktif.

Jadi apa yang dilakukan koruptor sesungguhnya menghancurkan dirinya, keluarganya, bangsanya, dan rakyatnya. Bangsa dan negara yang sehat dan bermartabat pasti akan membenci korupsi. Bahkan, negara komunis dan sekuler yang tidak bertuhan pun antikorupsi demi menjaga masyarakatnya agar sehat dan sejahtera. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah, bahwa misi utama risalahnya adalah membentuk akhlak yang terpuji. Orang yang mengaku beragama, tetapi membuat orang lain sengsara, dikatakan mendustai agama dan Tuhan. Begitu firman Allah. Nilai hidup macam apakah yang akan diwariskan kepada anak dan masyarakat jika hidupnya bangga bergelimang korupsi?

Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Sumber : Kompas, Selasa, 13 April 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts