Oleh: Khalisah Khalid
BEBERAPA waktu yang lalu, secara tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum memberantas mafia penebangan liar (illegal logging).
Pertanyaan kritisnya kemudian adalah apakah cukup pernyataan dari Presiden ini membuat hutan Indonesia terselamatkan dan rakyat sejahtera dengan kekayaan yang dimilikinya? Pernyataan SBY sangat jauh dari cukup, terlebih di tengah situasi kedaruratan ekologi yang kian genting dan sulit terpulihkan. Juga di tengah kondisi di mana sekitar 39 juta hektar luasan hutan kita yang tersisa setiap saat terancam oleh kepungan industri yang semakin masif, baik ekspansi perkebunan sawit skala besar maupun industri tambang, bahkan dalam kawasan hutan lindung sekalipun.
Benarkah persoalan di sektor kehutanan hanya soal penebangan liar sehingga yang dibutuhkan adalah pemberantasan mafia pembalakan liar? Soal hutan bukan hanya soal penebangan liar karena di Indonesia kerusakan hutan justru dilakukan oleh banyak industri kehutanan yang legal atau usahanya memiliki izin.
Sebelum menjawab itu, mari kita melihat apa akar persoalan yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia. Sampai saat ini, sektor kehutanan Indonesia belum beranjak dari 3 (tiga) persoalan mendasar yang selalu melingkarinya. Pertama, pengelolaan kekayaan hutan selama ini ditujukan untuk melayani kepentingan investasi dan mengabaikan fungsi-fungsi kawasan hutan sebagai tumpuan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Dari sinilah muncul berbagai konflik pengelolaan hutan, di mana rakyat semakin dihilangkan akses dan kontrol terhadap ruang hidupnya. Persoalan berikutnya terkait besarnya kapasitas produksi industri kehutanan yang terus beranjak naik setiap tahunnya.
Yang tidak kalah mengerikan di sektor kehutanan adalah soal korupsi yang merajalela, di mana Walhi dengan berbagai organisasi lingkungan sedikitnya telah melaporkan 13 kasus korupsi di sektor kehutanan kepada KPK dan Mabes Polri yang belum ditindaklanjuti. Korupsi di sektor kehutanan ini memanfaatkan dengan sangat baik melempemnya penegakan hukum lingkungan di Tanah Air ini, ditambah lagi konstelasi politik yang berbiaya tinggi, terutama pada masa otonomi daerah. Kasus-kasus korupsi yang terkuak ke publik yang melibatkan anggota DPR memperlihatkan bagaimana tali-temali di bidang kehutanan ini bekerja, untuk membiayai ongkos politik yang sangat mahal.
Pemulihan
Walhi mencatat, setiap hari muncul satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana yang terdiri dari banjir, kekeringan, longsor, badai, dan kebakaran. Sebagian besar angka- angka tersebut disebabkan oleh salah urus negara dalam pengelolaan kekayaan alamnya. Dalam kurun waktu yang panjang, sektor strategis yang menjadi andalan negara ini secara kolosal telah melahirkan kebangkrutan dan bencana ekologis. Nilai yang hilang akibat penghancuran hutan sekitar Rp 27 triliun setiap tahun, belum termasuk angka kerugian dari dampak ekologi dan sosio-kultur yang diterima oleh komunitas lokal.
Dalam situasi darurat seperti ini, pernyataan saja tidak cukup meskipun itu keluar dari sosok Kepala Negara. Jika sebelumnya Presiden ditengarai memimpin penghancuran lingkungan dengan berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan melalui berbagai instansi pemerintah selama kepemimpinannya, kini SBY didesak untuk memimpin upaya perlindungan dan pemulihan terhadap kondisi hutan yang kritis.
Pemulihan Indonesia bisa dimulai dari perubahan perilaku, terutama perilaku pengurus negara. Bagaimana mungkin negara ini mampu melepaskan diri dari krisis ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya yang mengepungnya bila watak dan cara berpikir terhadap kekayaan alam masih business as usual dan sangat sektoral dengan slogan “lanjutkan!” jual murah dan keruk habis. Karena itulah SBY harus mengoreksi model pembangunannya dan semua kebijakan yang selama ini tidak pro rakyat dan lingkungan.
SBY ditantang untuk segera mengambil langkah-langkah penting dan mendesak untuk menyelamatkan hutan dan mengeluarkan rakyat dari krisis berkepanjangan. Prasyarat yang harus dipenuhi haruslah dengan lebih dulu menghentikan semua investasi yang merusak dan menghabiskan hutan, bukan hanya dari industri kehutanan, melainkan juga industri ekstraktif lain yang semakin mengancam, seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar.
Berikutnya, SBY harus memastikan, semua kasus kejahatan kehutanan yang telah dilaporkan oleh berbagai organisasi lingkungan ke aparat penegak hukum ditindaklanjuti sebagai pembuktian bahwa hukum lingkungan benar-benar dapat ditegakkan. Bukankah keluarnya surat perintah penghentian penyidikan atas kasus illegal destruktif logging terhadap 13 perusahaan industri kehutanan di Riau, akhir 2008, berada pada masa pemerintahan SBY, apakah Pak SBY tidak tahu?
Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Sumber : Kompas, Senin, 19 April 2010