Abstrak
Hikayat Teungku di Meukek adalah sebuah teks sastra Aceh yang menukilkan berbagai peristiwa sejarah dan penuh dengan pesan sosial dan politik. Wacana yang diungkapkan cukup relevan kepada para pembaca kolonial yang berpegang kepada perspektif orientalisme, dan juga pada pembaca pribumi kini yang berpegang pada perspektif poskolonialisme. Tulisan ini menjelaskan tentang pengaruh kolonial dalam hikayat tersebut.
Naskah kuno yang merupakan karya sastra peninggalan masa lalu yang di dalamnya banyak mengandung berbagai nilai budaya, baik tentang kepercayaan, adat istiadat, filsafat, pendidikan, ekonomi, sosial politik bahkan sejarah. Pembedahan, pengkajian dan pengungkapan berbagai warisan nilai budaya yang terpendam di dalamnya sangat diperlukan sebagai upaya mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Naskah Hikayat Teungku di Meukek ini merupakan salah satu naskah lama yang isi di dalamnya menggambarkan perlawanan rakyat di daerah Meulaboh, digerakkan oleh seorang pemimpin agama terhadap hulubalang yang didukung oleh Belanda. Hikayat ini ditulis karena untuk mengabadikan persengkataan antara kedua belah pihak tersebut, dan untuk melihat bagaimana perlawanan masyarakat terhadap kolonial. Dari karya sastra tersebut bisa kita lihat adanya pengaruh kekuasaan dalam hikayat ini pada masyarakat Aceh dulu. Disini dapat dilihat bahwa adanya pendekatan poskolonial dalam pengkajian sastra karena kritik poskolonial menganalisis karya-karya yang diproduksi oleh masyarakat dan budaya sebagai respon terhadap dominasi kolonial dari masa kolonialisme sampai sekarang.
Key Word: postkolonial, hikayat teungku meukek, perlawanan
Pendahuluan
Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan gaya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut (Djojosuroto,2006:77). Hakikat karya sastra adalah bercerita yang merupakan bentuk dari hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Djojosuroto,2006:77). Di indonesia terlalu banyak peninggalan warisan budaya nasional yang saat ini belum terungkapkan. Warisan budaya nasional yang tak ternilai harganya itu masih banyak berserakan di seluruh pelosok tanah air, baik yang berada di tangan anggota masyarakat tanpa perawatan yang berarti, maupun yang masih terpendam tanpa diketahui di mana adanya. Salah satu diantara warisan budaya nasional yang masih bertebaran pada sebagian anggota masyarakat adalah naskah-naskah kuno, sebagai warisan intelektual bangsa Indonesia.
Hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya nasional kita. Semuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang. Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.
Berbicara tentang Naskah merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang sangat banyak nilainya, naskah mempunyai dimensi dan makna yang sangat luas, karena merupakan hasil tradisi yang melibatkan berbagai keterampilan dan sikap budaya. Dalam naskah terkandung kekayaan yang melimpah. Isi naskah tidak terbatas hanya pada kesusastraan akan tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum adat, obat-obatan, teknik dan lain-lain. Naskah kuno mengandung berbagai warisan rohani, perbendaharaan pikiran dan cita-cita nenek moyang bangsa Indonesia, adalah merupakan sumber aneka informasi ilmu pengetahuan dan perkembangannya, diantaranya adalah Hikayat Teungku di Meukek.
Hikayat kalau diartikan dalam bahasa Aceh adalah penyampaian secara lisan sering dengan irama lagu yang indah agar dapat menarik perhatian para pendengarnya. Hikayat di Aceh terdapat banyak jenis dalam ungkapan Aceh beuet-(ba-), berarti membaca Hikayat, peugah; menceritakan Hikayat, Ruhe, Hikayat jenaka yang tidak mengisahkan sesuatu masih tertentu, tetapi fantasi pengarang yang kadang-kadang didasarkan kepada pengalamannya sendiri atau orang lain; neuba mangat that s., Ia Meu-, mempunyai Hikayat. Membaca hikayat oleh orang yang mengisahkan Nadham dan Sanjak (Sakti dan Dally,2002:7). Hikayat masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Aceh sampai sekarang sebagaimana terlihat dalam resitasi[1] yang dilakukan masyarakat bahkan untuk mempermudah dalam membacanya banyak hikayat yang sudah dicetak yang disebut dengan “Litho Graphi” dan ditransliterasi ke latin seperti melalui peredaran yang dilakukan oleh berbagai penerbitan atau toko buku di Aceh sekarang(Seno,2002:19).
Hikayat ini memberi pengaruh yang kuat dan merupakan salah satu sastra kitab Hikayat populer diminati masyarakat Aceh, bagi masyarakat Aceh terutama di bidang kebudayaan yang terkandung dalam naskahnya, sehingga hampir setiap masyarakat Aceh terutama tokoh-tokoh masyarakat mengadopsi ilmu-ilmu yang terdapat dalam naskah lama tersebut ini terutama masalah adatnya. Dalam naskah ini memberikan nilai penting yang harus dipelajari oleh masyarakat Aceh sejak dulu bahkan hingga sekarangpun masih berlaku di dalam masyarakat Aceh. Bahkan Hikajat juga mengisi setiap acara waktu senggang masyarakat Aceh, sehingga daerah Aceh terkenal pula dengan kekayaan literaturnya.
Adapun yang dimaksud dengan teungku adalah gelar tokoh-tokoh agama di Aceh, atau orang yang taat beribadah dalam masyarakat Acehsehingga diberi gelar teungku. Sedangkan Meukek adalah nama tempat atau daerah yang terdapat di daerah Meulaboh AcehBarat. Teungku di Meukek tersebut datang ke rundeng untuk menyebarkan agama Islam dan menetap di daerah rundeng tersebut. beliau sangat disegani oleh masyarakat rundeng sehingga, para penguasa disekitar wilayah tersebut tidak senang dengan keadaannya. Hikayat Teungku di Meukek ini merupakan salah satu karya sastra lama yang dikarang oleh masyarakat Aceh pada masa itu karena melihat persengketaan yang terjadi pada masyarakat Aceh pada masa itu, dan karena melihat kejadian-kejadian konflik antara masyarakat Aceh dengan para Hulubalang di bawah pemerintahan Belanda, Belanda menghasut para Hulubalang untuk menyerang Teungku di Meukek.
Dari hikayat di atas kita bisa melihat bahwa ada pengaruh poskolonial dalam hikayat tersebut yaitu adanya campur tangan Belanda pada masa itu, untuk menghasut para Hulubalang yang iri dan tidak senang dengan Teungku di Meukek sehingga atas bantuan pemerintahan Belanda para Hulubalang menyerang daerah Rundeng tersebut.
Isi Ringkas Hikayat Teungku Di Meukek
Hikayat Teungku di Meukek ini berasal dari naskah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh G W.J. Drewes tahun 1980 dengan judul "Two Achehnese Poems" yang di peroleh dari Drs. Wamad Abdullah Banda Acehbulan Juni 1982. Buku setebal 99 halaman ini dengan ukuran 23 X 16 cm, teks bahasa Acehnya telah disunting dengan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan. Hikayat ini merupakan hikayat lama dan sudah dibicarakan oleh Dr. Snouck Hurgronje dalam bukunya edisi Inggris "The Achehnese" (Harun,1983:7) G.W.J. Drewes sendiri mendapat kedua naskah ini dari Leiden University Labrary. Menurut G.W.J. Drewes hikayat ini merupakan karya asli pengarang Aceh, bukan terjemahan atau saduran dari karya asing, seperti sementara hikayat Aceh lainnya. Tidak ada catatan mengenai tahun penulisan kedua karya tersebut( Harun,1983:7).
Penyalin hikayat ini ialah Panglima Nyak Amin yang mendapat naskah aslinya dari Juhan Muda Pahlawan, yaitu putra Lila Peukasa, yaitu penguasa Meulaboh pada masa itu. Pengarang aslinya adalah Teungku Malem penduduk asli Trumon, tinggal di kampung Peunaga, karena kawin dengan seorang wanita dari Peunaga (Harun,1983:7). Penyair mengabadikan sengketa yang berlangsung dalam tahun 1893 dan 1894 antara tokoh tokoh penguasa Meulaboh yang bersahabat dengan Belanda, dan kelompok perlawanan yang bermarkas utama di Rundeng dan dipimpin oleh tokoh suci Teungku di Meukek (Hargronje,1985:124).
Syekhuna, demikian nama sebutan seorang ulama yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Teungku di Meukek karena perlawanannya terhadap Belanda. Ulama tersebut memperkuat kedudukannya di Rundeng, dekat Meulaboh sambil menyebarluaskan ilmu agama serta mendirikan kubu-kubu pertahanan dengan tujuan hendak melawan Belanda. Dari berbagai kampung orang berdatangan untuk memuliakan Teungku di Meukek dengan membawa berbagai buah tangan sebagai hadiah. Kegiatan Teungku di Meukek memperkuat negeri Rundeng dianggap oleh para hulubalang yang berkuasa sekitar negeri itu sebagai mengganggu ketertiban dan keamanan. Belanda yang mengetahui hal itu segera memanggil para hulubalang dan menghasut mereka supaya menyerang negeri Rundeng dan melawan Teungku di Meukek, seraya membekali mereka dengan alat senjata yang diperlukan. Para hulubalang yang berkedudukan sebagai raja menyambut baik bantuan Belanda dan mempersenjatai anak negeri.
Di bawah pimpinan Raja Lila Perkasa dari Meulaboh, rakyat siap menyerang Rundeng. Begitu rakyat Rundeng dan Teungku di Meukek mendengar berita bahwa pihak Belanda akan membantu para hulubalang, mereka semakin giat memperbanyak benteng-benteng pertahanan dan mengatur siasat perang di masing-masing tempat. Dengan semangat yang tinggi Teungku di Meukek dengan khutbahnya yang berapi-api mengumumkan perang jihad fisabilillah melawan Belanda dan kaki tangannya Lila Perkasa. Tanggal enam dianggap hari yang paling baik untuk memulai perang menyerang Rundeng. Di bawah pimpinan Teuku Panglima Dalam, Teuku Haji Ben, Panglima Nyak Yeb dan berpuluh-puluh panglima lainnya secara serentak rakyat Meulaboh menyerang Rundeng dari segala jurusan. Selama beberapa hari pertempuran berlangsung, satu demi satu kubu pertahanan Rundeng jatuh ke tangan hulubalang antara lain Kuta Nibong, Kuta Asan, Padang Sirahet dan Kuta Sijaloh. Ketika peperangan sedang berlangsung di Rundeng, para pembesar Belanda di Kutaraja memutuskan untuk mengirimkan bala bantuan guna membantu Raja Lila Perkasa yang sedang berperang melawan Teungku di Meukek. Beberapa hari kemudian tiga buah kapal perang Belanda berlabuh di Lhok Meulaboh. Sejumlah serdadu didaratkan dan langsung menyerang Rundeng, sementara meriam-meriam kapal terus menerus menembaki kubu-kubu pertahanan kaum pejuang. Korban berjatuhan di pihak kaum muslimin. Kemudian peperangan terhenti seketika.
Di dalam tubuh pejuang sendiri terjadi keretakan. Orang-orang yang berasal dari Woila dan Bubon meninggalkan Teungku di Meukek. Tanggal dua puluh tujuh bulan Ramadan, Teungku di Meukek keluar dari benteng pertahanannya setelah melakukan sembahyang dan berdo'a kepada Tuhan semoga dapat mengusir musuh. Sambil berzikir, di malam yang gelap itu Teungku di Meukek pergi dari satu benteng ke benteng musuh yang lain. Dalam malam yang gelap gulita disertai hujan lebat Teungku di Meukek masuk ke dalam sebuah benteng yaitu Kuta Haji Sarong seraya menanyakan kepada seorang pengawal di mana Haji Sarong dan Teuku Panglima Dalam berada. Sebelum sempat memberi jawaban pedang Teungku di Meukek sudah merengut nyawa pengawal itu. Maka terjadilah keonaran dan huru-hara di malam yang gelap itu antara Teungku di Meukek dengan para pengawal benteng. Setelah terjadi pertarungan singkat, mereka terpaksa melarikan diri meninggalkan benteng yang dikuasai Teungku di Meukek.
Beberapa saat kemudian Teuku Panglima Dalam dan Teungku Haji Sarong yang sedang berada di Kuta Nibong, datang mencari Teungku di Meukek setelah mendengar peristiwa yang baru saja terjadi. Dalam keadaan berhadap-hadapan antara Teuku Panglima Dalam dan Teungku di Meukek di kegelapan malam itu, tiba-tiba Panglima Muda yang ikut serta dengan Teuku Panglima Dalam melepaskan tembakan. Teungku di Meukek rubuh dan tewas seketika. Keesokan harinya mayat Teungku di Meukek diambil oleh Belanda dan dibawa berlayar. Tidak ada orang yang mengetahui ke mana mayat Teungku di Meukek dibawa dan di mana dikuburkan. Dengan syahidnya Teungku di Meukek, para hulubalang dan Belanda dapat berkuasa kembali dengan leluasa.(Dikutip dari Transliterasi hikayat Ranto ngon Hikayat Teungku di Meukek, transliterasi Ramli Harun, 1983). Dalam hikayat ini berakhir dengan kematian Teungku di Meukek. Di sini nampak salah satu kekhasan orang Aceh. Sang penyair, walau berada di pihak pemerintah Belanda, menggambarkan Teungku di Meukek sebagai seorang sahid dan para pengikutnya sebagai wakil-wakil agama. Tidak perduli di pihak mana seorang Aceh berada, ia selalu menggambarkan musuh kaum kafir sebagai pendukung perjuangan yang benar. (Hargronje,1985:124).
Untuk menafsirkan atau mengkaji persoalan ini, maka teori yang cukup relevan digunakan adalah teori poskolonial. teori postkolonial adalah teori kritis yang mencoba mengungkapkan kesadaran bahwa sudah sekian lama terjadinya perjalanan waktu, ada masalah-masalah yang perlu dipertimbangkan, yang sebelumnya belum disadari, akibat negatif yang ditinggalkan oleh kolonialisme Barat. Akibat yang dimaksudkan adalah tidak lebih bersifat degradasi mental.
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa poskolonial ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi di dialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Dengan perkataan lain, poskolonial sebagai alat atau perangkat kritik yang melihat secara “jernih” bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi digerakkan untuk kepentingan kelas dominan atau pusat. Poskolonial mencoba membongkar mitos-mitos yang “mengerdilkan” daya kritis dari penguasaan hegemoni melalui gerakan budaya dan kesadaran yang subtil (Anderson,1999:8).
Untuk itu dapat dikatakan bahwa poskolonial adalah perlawanan sehari-hari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ben Anderson bahwa sebentuk mode atau siasat perlawanan massa rakyat kecil tanpa politik yang dilakukan dengan gerakan “picisan” untuk mengkaji ulang “politik modern” identitas adiluhung kalangan elite yang (sedang) berkuasa(Anderson,1999:9).
Pengaruh Postkolonial Dalam Hikayat Teungku Dimeukek
Kajian poskolonial adalah salah satu kajian akademis yang berkembang setelah tahun 1980-an. Perkembangan ini sebagai dampak pemikiran teori kritis dan postmodern yang mewarisi pemikiran Nietszhe, seperti: Heidegger, Derrida, Michel Foucault, Bataille dan lain sebagainya. Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama teori kritis dan postmodern yaitu bahwa teori sosial berguna untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan yang lebih memungkinkan perubahan lingkungan sosial budaya secara rasional dan lebih manusiawi. Hal ini
terlihat jelas pada kajian poskolonial. Oleh karena itu, Akhyar mengemukakan bahwa teori kritis dan postmodern berjasa besar dalam menumbuhkan kesadaran di kalangan ilmuwan bahwa dalam praktek-klasifikasi ilmiah, pemahaman dan penelitian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan, kekuasaan dan ideologi (Ahyar,2006:199).
Menurut Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum oriental) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi sosial-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka. Karena itu pandangan dan teori-teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif sebagaimana mereka duga. Edward Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori Kritis sebagai dasar untuk teori poskolonialnya. Edward Said menggunakan pemikiran tokoh tersebut untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang di kemukakan kaum kolonialis dan orientalis(Baso,2005:59).
Bukan lagi rahasia umum bahwa segala sesuatu yang dipaksakan Barat pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia selalu bersifat subjektif. Naskah hikayat Teungku di Meukek merupakan salah satu hikayat yang membahas tentang persengketaan antara masyarakat Aceh pada masa itu terhadap Belanda sehingga masyarakat Aceh pun melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial telah terjadi naratif heroik baik di Indonesia maupun di tempat-tempat lain, perjuangan melawan para penjajah dan kobolator mereka tidak hanya menggerakkan banyak orang, tetapi juga memberikan tujuan moral yang jelas (Faulcher dan Day, 2002:468). Mengenang kembali revolusi dan mengklaim legitimasi, tetapi juga bisa menjadi cara untuk mengkritik rejim sekarang karena menkhianati cita-cita terdahulu(Faulcher dan Day, 2002:468).
Hikayat Teungku di mekek menyajikan suatu ulasan yang jelas tentang sejarah Aceh dan wawasan yang cemerlang mengenai kondisi Aceh pada saat itu bahkan mempunyai nilai sejarah khusus, karya ini mempunyai latar belakang sejarah yang cukup jelas walaupun fakta-faktanya dicerminkan melalui medium imajinatif yang seluruhnya bersesuaian dengan ciri-ciri khas Aceh. Penjelasan-penjelasan menarik tentang kejadian-kejadian sederhana, fakta sejarah yang sebenarnya. Kita dapat lihat bagaimana Belanda menghasut Hulubalang untuk memerangi Teungku Meukek di Rundeng, seperti kutipan dibawah ini,
Raja Beulanda atejih sosah
Jikeumeung pinah sinan Syekhuna
Jimupakat sabe keudroe-droe
Tapangge jinoe raja raja
'Oh ka tapangge dum Hulubalang
Dudoe tayue prang bakjih teuma
Meunankeu pakat di kompeuni
Ban narit jibri ka ubak raja
Nanggroe Rundeng jak leh taprang
Beulanja tuan ulon peuna
Han sep siribee dua lhee ribee
Bek kamalee kaprang lanja
Peue meusaket atra kompeuni
Jinoe kubri keu beulanja
Nyankeuh teuku cuba pike
Ubat beude ulon peuna
Artinya:
Raja Belanda hatinya susah
Dia ingin mengusir syekhuna atau Teungku di Meukek
Mereka melakukan muwafakat dengan sesamanya(Belanda)
Untuk memanggil setiap para raja atau para Hulubalang
Setelah dipanggil para Hulubalang
Kemudian kita ssuruh perang sama mereka
Begitulah muwafakat para kompeni
Begitulah khabar yang disampaikan sama raja
Negeri rundeng mari kita perang
Semua keperluan tuan akan kami sediakan
Tidak cukup siribu dua ribupun kami kasih
Jangan kalian pikirkan kita perang saja
Jangan kalian susah dengan harta kompeni
Sekarang kami berikan untuk belanja
Sekarang coba anda pikirkan
Kalau masalah senjata ada sama kami
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Belanda mengajak dan menghasut para Hulubalang untuk menyerang Teungku di Meukek di rundeng, bahkan Belanda juga menyiapkan semua fasilitas-fasilitas yang diperlukan para Hulubalang baik uang maupun senjata seperti yang digambarkan dalam hikayat. Belanda menghasut para Hulubalang karena para Hulubalang juga sangat membenci Teungku di Meukek karena Teungku di Meukek adalah seorang pendatang yang datang ke daerah rundeng untuk menyebarkan ajaran islam, bahkan selain itu Teungku di Meukek juga telah membuat daerah rundeng maju dan terkenal. Bahkan sebab lain para Hulubalang membenci Teungku di Meukek karena orang wilayah-wilayah yang dekat dengan rundeng juga banyak yang berdatangan untuk belajar pada Teungku di Meukek terutama belajar ilmu agama.
Dalam hikayat tersebut digambarkan bahwa belanda sudah lama ingin menguasai wilayah Rundeng, dan sudah sudah pernah mejajah wilayah Rundeng tersebut dan juga wilayah disekitarnya, tapi tidak pernah berhasil karena orang rundeng tidak terpengaruh dengan kedatangan Belanda diwilayah tersebut, bahkan masyarakat juga menolak kedatangan kolonialis ke wilayah mereka. Oleh karena itu Belandapun menghindar dan tidak berani melawan Teungku di Meukek yang memimpin wilayah rundeng pada masa itu, karena teungku di meukek terkenal sangat kuat dan sangat sukar untuk ditaklukkan. Namun begitu Belanda mengetahui bahwa para Hulubalang Meulaboh merasa sakit hati pada Teungku di Meukek dan ingin menyerang Wilayah rundeng tersebut, maka Belanda mulai mengatur siasat yaitu menggunakan kesempatan untuk bekerja sama dengan para Hulubalang.
Hikayat Teungku di Meukek menunjukan adanya ketidak sesuaian antara masyarakat Aceh yang satu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga munculnya perlawanan masyarakat Aceh pada saat itu. Dalam hikayat ini juga menggambarkan bagaimana sosok seorang ulama dalam menyebarkan Islam dijalan Allah. Hikayat ini memberikan gambaran perjuangan seorang dalam menghadapi penjajahan dan secara tegas menggambarkan musuh utama itu orang Belanda yang tampil sebagai wakil semua bahaya yang mengancam mereka dari Eropa.
Dalam hikayat ini juga menggambarkan kesabaran kepada kita bahwa Teugku Meukek walaupun dihina dan dicemoohkan oleh para Hulubalang dan Belanda, tetapi beliau tetap menjalankan tugasnya sebagai ulama. Bahkan Teungku di Meukek dalam peperangan melawan Belanda dan Hulubalang dibantu oleh para ulama-ulama lain dan oleh seluruh warga Rundeng dan sekitarnya. Hampir setiap masyarakat dan para ulama membantunya dalam melawan para penjajah. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang luar biasa pada masyarakat dalam membantu Teungku di Meukek untuk melawan para Hulubalang dan penjajah.
Oleh karena itu hikayat ini menampilkan ideologi bahwa bagaimana seruan dalam menyongsong ke arah perbaikan, melawan penjajahan, dan mempertahankan wilayahnya dari tangan penjajahan. Dalam hikayat ini menunjukkan bahwa masyarakat melakukan perjuangan-perjuangan sosial dalam praktek politik nyata, dan berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang di kemukakan kaum kolonialis atau orientalis.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Chatterjee yaitu tentang identitas kultural yaitu sebagai salah satu cara untuk melawan campur tangan kolonial (Faulcher dan Day, 2002:253). Perjuangan-perjuangan sosial dalam praktek politik nyata. Ia berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang di kemukakan kaum kolonialis atau orientalis.
Tetapi salah satu masalah yang senantiasa menghantui bekas-bekas tanah jajahan pasca revolusi adalag bahwa mengusir pemerintah kolonial tidak memebuat kekuasaan menguap di udara atau mendistribusikan secara merata diantara semua anggota masyarakat. Pemerintah pasca penjajahan tetap juga pemerintah, dan ketika para pemegang kekuasaan bergandengan tangan dengan militer yang kuat serta modal internasional untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka, kemungkinan besar jauh lebih eksploitatif dan membelenggu daripada yang pernah dicapai oleh pemerintah penjajah itu sendiri berkat kemajuan-kemajuan dalam penegakan hukum dan pemasaran (Faulcher dan Day, 2002:468). Mengenang kembali revolusi kemudian bisa menjadi salah satu cara bagi suatu rezim untuk mengklaim legitimasi, tetapi juga menjadi cara untuk mengkritik rezim sekarang karena mengkhianati cita-cita terdahulu (Faulcher dan Day, 2002:468).
Dalam Hikayat ini diberikan paparan yang cemerlang, tentang bagaimana sikap para penjajah terhadap masyarakat Aceh, dan juga menunjukkan bagaimana respons masyarakat Aceh yang tertindas pada masa itu, sehingga dari kesabaran yang kuat sehingga munculnya dorongan untuk melawan para penjajahan, dan adanya semangat dalam melakukan perjuangan dalam bekerja sama untuk melawan penjajah tersebut. Begitu juga nilai-nilai yang terdapat dalam Hikayat, sebagian dari nilai-nilai tersebut mengajarkan hal yang serupa tentang semangat untuk bertahan hidup. Ciri khas lain yang ada dalam hikayat adalah adanya motif yang menggerakkan cerita.
Kesimpulan
Hikayat Teungku di Meukek merupakan salah satu karya sastra lama yang ditulis dalam bahasa Aceh oleh masyarakat Aceh dulu. Hikayat ini menggambarkan tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintahan kolonial yang menghasut para Hulubalang. Dalam hikayat ini menunjukkan adanya Perjuangan-perjuangan sosial dalam praktek politik nyata. Ia berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang di kemukakan kaum kolonialis atau orientalis. Adapun naskah ini menceritakan tentang perlawanan terhadap para penjajah maka poskolonial ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Teori postkolonialisme dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi.
Daftar Pustaka
Akhyar Yusuf Lubis, 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu.
Baso, Ahmad. 2005. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme
dan Liberalisme. Bandung: Mizan Pustaka.
Benedict Anderson, 1999. Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-Usul dan
Penyebaran Nasionalisme (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar- Insist.
Dally, Ramli A. dan Teuku Abdullah Sakti. 2002. Hikayat Akhbarul Karim
Transliterasi Dan Terjemahan, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi NAD.
Djojosuroto, Kinayati. 2006. Analisis Teks Sastra dan pengajarannya. Cet 1.
Yogyakarta:pustaka
Faulcher dan Tony Day. 2006. Clearing A Space, Kritik Pasca Kolonial Tentang
sastra Indonesia Modern (terj). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harun, Ramli. 1983. Hikayat Ranto Ngon Hikayat Teungku di Meukek. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hurgronje, C. Snouck. 1985. Aceh Dimata Kolonialis. Jilid II. Jakarta: Yayasan
Soko Guru.
Seno, 2002. Mitos dan fakta “Hikayat Raja-raja Pasai” (Kisah Tentang
Pelanggaran Hukum Yang Menyebabkan Kehancuran), dalam Buletin Haba edisi 24, Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Aceh.
[1] Resitasi adalah pembacaan hafalan atau pengajian di muka umum.
Sumber : http://www.acehinstitute.org