Menengok Tudung Manto, Menyulam Kembali Persaudaraan Melayu

Daik, Kepri - Sepintas tak ada yang berbeda dari tutur dan bahasa orang-orang Johor, Malaysia, yang tergabung dalam Persatuan Sejarah Malaysia (PSM) saat menapakkan kaki ke Daik Lingga. Persaudaraan yang memang telah lama berabad-abad lalu disemenanjung Melayu, semakin terikat erat dengan kunjungan 33 sejarawan serta pemerintah Kota Tinggi, Johor, di Bunda Tanah Melayu.

Selain datang menelusuri jejak emperium kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berpusat ibukota di Daik, para pecinta sejarah melayu ini juga sempat menengok bagaimana perempuan-perempuan melayu Daik menyulam Tudung Manto yang kini telah tercatat sebagai warisan budaya nasional. Orang-orang Johor pun cukup antusias memperhatikan aktifitas di Rumah Tekat Tudung Manto ‘Halimah’ di Kampung Mentok, Daik. Selain menjamu mata, menengok kearifan lokal, bubur lambok dari olahan berbahan sagu pun ikut menjadi jamuan lidah bagi orang-orang melayu di seberang.

“Kalau dari bahasa, sama saja dengan di Johor. Cuma beda lenggok (red dialek) sedikitlah. Disini masih sangat alami. Benarlah ini Bunda Tanah Melayu,” kata Ketua Kampung Kota Tinggi, Tn Yatim, di Rumah Tekat Tudung Manto Halimah, Sabtu (15/10) kemarin .

Bertahun-tahun lalu sejak ia kecil lagi, nama Daik telah cukup dikenal luas di Johor Malaysia. Baik dari bait pantun melayu, maupun sejarah yang tercatat dalam buku-buku kesultanan Johor tersebut. “Tapi ini baru kali pertama sampai ke Daik,” tuturnya dalam bahasa melayu Johor-Daik yang fasih.

“Moyang sayapun dulu asalnya dari Daik. Tapi sekarang, kami sudah tidak tau lagi susur galur kerabat di sini,” sambung wisatawan Johor lainnya.

Namun begitu, kunjungan ke Daik kali ini dirasakan para wisatawan Malaysia ini cukup menjawab pertanyaan letak emperium terakhir kesultanan Melayu yang berhasil mempertahankan wilayah semenajung Melayu. Kini menjadi tiga negara yaitu Malaysia, Singapura dan Indonesia. Mengenai Tudung Manto, kata Tn Yatim, tidak terdapat di Johor. Kearifan lokal ini memang sangat khas dan kental dengan budaya Lingga.

“Manto tidak ada di Johor. Kawan-kawan juga ada yang membeli sebagai buah tangan untuk dibawa pulang,” lanjutnya.

Ditempat yang sama, Ketua Pengurus Rumah Tekat Tudung Manto ‘Halimah’, Said Asy’ari mengatakan sangat berterimakasih adanya kunjungan wisatawan Johor yang datang langsung melihat kearifan lokal orang-orang melayu di Daik. Ia juga mengajak semua orang melayu, menjadikan Manto sebagai identitas perempuan melayu hingga ke Malaysia.

“Wisatawan Johor sangat mengapresiasi kerajinan tekat yang kami buat di sini. Di Lingga, masih sangat lestari tanggapan mereka dan mensuport agar karya seni budaya ini terus dipertahankan dan diangkat. Kami berharap, upaya kami di rumah Tekat ini didukung pemerintah, masyarakat Kepri khususnya agar dapat terus dilestarikan sebagai identitas perempuan melayu dunia,” ungkapnya.

Kedepan, Ari berharap kunjungan-kunjungan budaya dapat lebih ditingkatkan lagi. Baik dari persiapan daerah hingga promosi-promosi budaya untuk memperkuat Daik sebagai sentral Bunda Tanah Melayu.

“Kalau tuan menebang kayu, kayu dibawa ke Sawah Lunto. Ape ciri perempuan Melayu, Berbaju Kurung Bertudung Manto,” tutup Ari dengan bait pantun.

-

Arsip Blog

Recent Posts