Dari Dusun Gebug, Seni Kuda Lumping Dilestarikan

Ungaran, Jateng - Sejak 1988, Dusun Gebug, Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, memang dikenal sebagai lingkungan yang mempunyai kesenian tradisional kuda lumping. Tidak hanya di Kabupaten Semarang, kesenian rakyat dari salah satu dusun di lereng Gunung Ungaran ini pun kerap pentas ke luar wilayah.

Sesepuh kesenian kuda lumping Rukun Karya Budaya Sakti (RKBS) Kalisidi, Suwarsono (62) mengatakan, hingga saat ini paguyuban kuda lumping tertua di Ungaran Barat tersebut masih aktif berlatih. Selain melibatkan belasan pemain yang sudah sepuh, pihaknya juga mengajak generasi muda atau anak usia sekolah untuk ikut berlatih.

“Masih aktif berlatih, latihan rutin setiap Senin malam. Anak-anak kita libatkan untuk kepentingan regenerasi,” katanya kepada Suara Merdeka, Kamis (13/10) siang.

Seiring berjalannya waktu, disamping seni kuda lumping sekarang juga dikembangkan kesenian pendamping. Diantaranya kesenian reog, gerakan prajuritan, tarian topeng penthul, dan seni barongan. Demikian halnya dengan alat musik yang digunakan, menurut dia, sudah mengaplikasikan musik gabungan tradisional dan moderen.

“Musik tradisional sudah terpadu dengan instrumen drum dan keyboard. Ketika tampil biasanya kita belibatkan 20 hingga 25 orang pemain, termasuk petugas pengiring musik,” ujarnya.

Ditanya cirikhas seni kuda lumping Dusun Gebug, pria yang gemar berkebun ini menjawab, permainannya tergolong kalem atau tidak beringas. Artinya, saat ada pemain yang kerasukan tidak serta-merta mengejar penonton berbaju merah.

“Ciri khasnya jarane kalem, mangane sitik ora kaya jaran liya. Jadi yang nanggap juga tidak repot,” imbuhnya.

Ketika berada di rumah Suwarsono, di RT 1 RW IX Dusun Gebug, Kalisidi, pandangan tamu yang datang pasti tertuju pada instrumen musik kesenian kuda lumping yang tertata rapi. Mulai dari kendang, gong, beberapa gamelan, hingga tratak pentas ada di sana.

Demikian halnya dengan barongan yang ia pesan dan didatangkan langsung dari Purbalingga, serta kelengkapan topi tarian hanoman putih dan hanoman merah. Semuanya ditempatkan di pendapa halaman depan rumah.

Dirinya mengakui, sejak didirikan hingga sekarang seni kuda lumping RKBS tetap direspon baik oleh masyarakat. Tidak jarang, beberapa warga sering bertanya-tanya kapan ada pentas lagi? Menyusul bagaimanapun juga, perekonomian ikut bergerak. Ditandai dengan larisnya jajan khas desa yang dijual warga setempat.

Bila mengacu sejarah dan cerita tutur, kebudayaan dan kesenian tradisional kuda lumping di Dusun Gebug, Desa Kalisidi, Ungaran Barat erat hubungannya dengan sosok dan peran Mbah Kyai Surowono atau Mbah Kyai Ageng Sudrajad. Keterangan yang dihimpun dari masyarakat setempat menyebutkan, bila Mbah Kyai Surowono memang dikenal sebagai panglima perang saat itu.

Kendati terkenal garang saat menghadapi musuh, nama Suro yang berarti pemberani dan Wono yang artinya hutan ini, di sisi lain memang penyuka seni budaya. Itu diperkuat dengan cerita adanya beberapa benda milik Mbah Kyai Surowono yang ditempatkan di beberapa lokasi yang saat ini merupakan sekitar lokasi makam dirinya bersama isterinya di Dusun Gebug RW IX Desa Kalisidi.

Benda yang dimaksud berupa gamelan lengkap, perabotan dapur, beberapa pusaka, dan kuda putih. Ketika Suara Merdeka berusaha menelusuri jejak peninggalan di sekitar lokasi Makam Mbah Kyai Surowono bersama Juma’in (74) sesepuh Dusun Gebug, dan Pamong Budaya setempat, masih terlihat jelas pohon belimbing yang oleh warga disebut pohon belimbing keris.

Warga setempat meyakini, di bawah pohon belimbing berumur ratusan tahun itulah pusaka milik Mbah Kyai Surowono ditempatkan. Begitu pula dengan hamparan sawah yang disebut-sebut sebagai kandang kuda putih.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Semarang, Dewi Pramuningsih melalui Pamong Budaya Kecamatan Ungaran Barat, Bramantyo Agus Saputra menambahkan, pihaknya memang terus berupaya memacu kreatifitas pegiat seni kuda lumping.

“Sebagai pamong budaya saya tetap berkeinginan agar kesenian ini bisa lestari,” terangnya.

Pihaknya tidak memungkiri, untuk berkumpul kemudian berlatih rutin memang sulit. Alasannya lebih dikarenakan adanya rutinitas harian para pemain atau pegiat seni. Mereka ada yang bekerja di pabrik, sekolah, dan berkebun.

“Perlu dukungan dari seluruh lapisan masyarakat untuk membangkitkan atau mengundang wisatawan luar daerah datang ke sini. Apalagi bila dikaitkan dengan paket wisata ke suatu obyek, saya pikir itu akan lebih baik,” tukas Bramantyo.

-

Arsip Blog

Recent Posts