Memasarkan Wisata Aceh di Dunia Maya

Oleh: T. Farhan Alian

Beberapa waktu lalu, Aceh Green-UNDP dan Aceh IT Center menggagas program pelatihan bertajuk “Peumulia Jamee-Adat Geutanyoe”. Program ini bertujuan meningkatkan kapabilitas dan wawasan para pelaku wisata di Aceh seperti, aparatur pemerintah di Dinas Pariwisata Banda Aceh, Aceh Besar dan Sabang, operator lokasi wisata Aceh, Supir taksi, dan tukang becak.

Tukang becak dibekali materi tatakrama berhadapan dengan turis dan belajar bahasa Inggris dasar. Program yang berlangsung selama 3 hari ini diselenggarakan di Gedung Aceh IT Center (Garuda Theater). Dalam program ini saya juga ikut terlibat sebagai pemateri dengan topik “E-Marketing for Tourism”, bagaimana memasarkan pariwisata Aceh via internet. E-Marketing atau pemasaran menggunakan internet saat ini telah menjadi suatu keharusan dalam mempromosikan produk atau jasa yang ingin ditawarkan.

Setiap hari, pengguna internet semakin bertambah. Dari 6 Milyar penduduk dunia, ada 1,8 Milyar orang sehari-hari menggunakan internet. Di Indonesia sendiri, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, jumlah pengguna internet mencapai 30 Juta jiwa (www.internetworldstats.com), dengan pertumbuhan mencapai seribu persen. Lalu, apa pentingnya bagi dunia pariwisata Aceh. Industri Pariwisata adalah salah satu industri yang memberikan kontribusi yang besar bagi ekonomi dan mampu menyerap banyak tenaga kerja baru. Data terakhir menyebutkan, total penerimaan bagi industri pariwisata seluruh dunia mencapai US$ 1.1 trillion atau US$ 3 billion per hari. Amerika Serikat sebagai negara dengan penerimaan paling banyak dari industri pariwisata menerima US$ 94.5 Billion pada tahun 2009 (wikipedia.org). Kota yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan asing adalah Paris, disusul dengan Bangkok, Singapore dan Kuala Lumpur pada urutan 3,4 dan 6 mewakili Asia. 87 persen pengguna internet mencari sumber informasi mengenai informasi wisata sebelum memutuskan tempat wisata yang akan dikunjungi (Oxford internet Surveys, June 2009). Data ini menunjukkan, Asia masih menjadi tujuan wisata favorit para wisatawan asing. Dan semua kota tersebut menggandalkan E-Marketing sebagai salah satu ujung tombak strategi promosi pariwisata.

Pariwisata Aceh
Lantas, bagaimana dengan Aceh? Kita bersyukur, Aceh memiliki potensi wisata yang bahkan bisa dikatakan lebih baik diantara kota-kota lain di Asia bahkan Dunia. Terlebih, Aceh pascatsunami menjadi magnet bagi wisatawan asing yang penasaran ingin melihat objek-objek mengagumkan sisa-sisa peninggalan dahsyatnya tsunami. Hal ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam memeromosikan wisata Aceh lainnya, jangan sampai kita merasa cukup dengan berbangga hati dengan adanya peninggalan tsunami saja tanpa memperdulikan objek wisata Aceh lainnya yang harus turut dirawat dan dipelihara dengan baik. Cukup sudah, kita bicara potensi, potensi dan potensi, saatnya implementasi.

Visa On Arrival
Kita juga senang melihat perkembangan dunia pariwisata Aceh yang didukung oleh pemerintah kota dengan mencanangkan Visit Banda Aceh Year 2011, hal ini ditunjukkan dengan mulai diberlakukannya Visa On Arrival (VoA) sejak Selasa 8 Juni lalu. Dengan diberlakukannya VoA, maka warga asing yang datang dan masuk lewa SIM tidak perlu lagi menghubungi perwakilan Indonesia untuk memohon visa masuk ke Indonesia. Tapi, cukup menunjukkan paspor, visa langsung diberikan oleh petugas Imigrasi. Ini merupakan sebuah prestasi tersendiri karena Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) merupakan yang ketiga yang memberlakukan Voa setelah Bandara Soekarno Hatta dan Bandara Ngurah Rai di Bali.

Kehadiran VoA ini perlu diiringi dengan persiapan matang fasilitas informasi wisata Aceh karena jika terjadi ledakan wisatawan yang berkunjung ke Aceh dan wisatawan kecewa karena kurangnya informasi yang tersedia bukan tidak mungkin wisatawan enggan berkunjung kembali ke Aceh. Upaya yang cukup baik telah dilakukan oleh pemerintah kota dengan dicetaknya peta objek wisata Banda Aceh terkini dan brosur-brosur seperti brosur kuliner yang disiapkan dengan tampilan yang menarik. Namun, saya cukup prihatin setelah melihat brosur wisata kuliner Aceh, karena alamat website yang tercantum di bawah logo Dinas Pariwisata Aceh adalah alamat website pemerintah kota Banda Aceh, www.bandaacehkota.go.id. Ini menunjukkan, pemerintah kota belum siap dalam mempromosikan wisata Aceh alias masih “cilet-cilet”. Bagaimana mungkin, website pemerintah yang biasa digunakan untuk tender melalui internet dan menyediakan informasi seputar kegiatan pemerintah kota dapat menginterprestasikan website pariwisata Aceh. Ini sebuah kelucuan dan terkesan pemerintah kota tidak professional. Website adalah pintu gerbang informasi wisatawan sebelum memutuskan pergi ke suatu tempat yang ingin mereka kunjungi. Even-even lokal yang diselenggarakan pemerintah seperti Festival Perahu, Wind Surfing, Pekan Kebudayaan Aceh seharusnya dipromosikan menggunakan internet agar wisatawan mendapat informasi event-event menarik yang diselenggarakan di Aceh.

Sinergi Sektor Lokal
Kita bersyukur, peran masyarakat dalam membantu peran pemerintah dalam memajukan pariwisata Aceh melalui internet sangat besar walau para sektor lokal ini tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Sebut saja, website Aceh.Net yang populer pada mesin pencari google.com dengan kata kunci “Aceh”, “Visit Aceh” dan “Aceh Tourism”, website ini dapat menginterprestasikan pusat informasi pariwisata Aceh karena contentnya yang lengkap dan berbahasa Inggris. Atau website TravelAceh.Com, satu-satunya blog yang turut mempromosikan pariwisata Aceh dan juga akrab dengan mesin pencari Google.com dengan kata kunci “Travel Aceh”, “Visit Aceh”. Dan masih banyak lagi sektor swasta (private sector) yang bergerak memajukan Aceh seperti Hotel Hermes Palace (hermespalacehotel.com), thepade.com, grandnanggroe.com, acehblogger.com, aceh-adventure.org, gunung-leuser-trek.net, acehtrip.com, acehtours.com, travelnurin.com, virtualaceh.com dan bahasaaceh.wordpress.com.

Seandainya ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam membangun pariwisata Aceh, Insyallah pariwisata Aceh akan lebih cepat maju dan berkembang. Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah New York dengan mengeluarkan dana sebesar US$20 Million kepada private sector yang bergerak mempromosikan wisata New York tetapi dampaknya pemerintah menerima US$10 Billion dari sektor swasta. Jadi, sesungguhnya tidak ada yang rugi jika kita mau bekerjasama memajukan Aceh dengan niat dan cara yang baik.

Bukankah, aparatur pemerintah kita sering berkunjung ke luar negeri dan bahkan terkadang dalam waktu yang lama. Seharusnya, pemerintah dapat mengambil pengalaman berharga dari negara-negara lain yang sudah sukses dengan industri pariwisatanya.

Cukup sudah kita bicara potensi, potensi dan potensi. Saatnya berbuat nyata untuk memajukan pariwisata Aceh dengan membuka akses ke seluruh dunia melalui internet, merawat dan memelihara objek wisata Aceh dan yang terpenting merangkul, menjalin sinergi dengan sektor swasta yang saat ini terus bergerak memajukan parawisata Aceh.

* Penulis adalah Konsultan IT di Banda Aceh.

Sumber: http://www.serambinews.com
-

Arsip Blog

Recent Posts