Suku Batak sampai kini masih menjadi objek penelitian yang menarik bagi para peneliti Indonesia maupun asing, karena suku tersebut masih menyimpan kebesaran kesenian megalitik. Namun, dari berbagai kekayaan kesenian tersebut, seni patung primitif Batak ternyata nyaris paling terlupakan.
Menurut Drs Daulat Saragi MHum, pengajar Jurusan Seni Rupa FPBS Universitas Negeri Medan (Unimed), selama ini perhatian para peneliti selalu tertuju pada sistem masyarakat, religi, hukum adat, sastra dan musiknya saja, sehingga eksistensi patung primitif Batak terpinggirkan. “Padahal, sebenarnya patung primitif Batak merupakan jenis kesenian yang tahan lama dan sarat makna,” kata Daulat Saragi dalam promosi doktor bidang ilmu filsafat di Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Kamis lalu.
Menurut promovendus, patung primitif Batak merupakan kekayaan dan simbol suatu peradaban religi masa lalu, yang juga merupakan salah satu artefak budaya material sebagai bukti kebesaran peradaban megalitik Indonesia. Namun, untuk mengetahui pengalaman estetik dan makna simbol patung primitif Batak, harus terlebih dahulu memasuki alam pikiran dan sistem kepercayaan lama masyarakatnya.
Daulat Saragi menunjukkan, patung primitif Batak yang masih banyak ditemukan di sekitar Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara, bagaikan teks-teks yang ditulis dengan huruf teramat kecil sehingga tidak terbaca. “Maka filsafat sebagai “kaca pembesar” berusaha membaca teks-teks itu agar dipahami. Dengan demikian, makna yang terkandung dalam teks tersebut dapat membongkar ide-ide masyarakatnya lebih dahulu tentang hubungan mereka dengan kosmos,” tuturnya.
Disebutkan, prinsip hidup manusia zaman mitis adalah hidup harmoni dengan kosmosnya. Maka, pengetahuan tentang kosmologi kepercayaan mereka menjadi amat utama. “Konsep budaya mitis adalah kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dan yang transenden. Kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa,” tuturnya.
Masyarakat Batak lama disebutkan selalu menghadirkan patung pada suatu ritus dan menempatkannya pada suatu wilayah suci dan keramat, karena diyakini sebagai simbol atau medium suatu kekuatan yang transenden. Paduan motif antropomorfis dan zoomorfis pada patung “Tunggal Panaluan” dan “Pangulubalang” sangat bersahaja sebagai simbol adanya kekuatan adikodrati yang dipercaya mampu melindungi marga, rumah, desa, dan menolak bala demi kelangsungan kosmis.
Lebih lanjut dijelaskan, fungsi patung primitif sebagai pedoman iman menciptakan jarak terhadap realitas. Terdapat pesan yang akan disampaikan lewat patung tersebut, tetapi sungkan untuk diungkapkan langsung sebagaimana maksud sebenarnya. Selalu diciptakan jarak antara manusia dan ide-ide tersebut.
Penyambung jarak, menurutnya, dilakukan dengan bentuk-bentuk simbol yang kadang sulit untuk diungkapkan maknanya seperti apa yang dilihat secara kasat mata. “Masyarakatnya menciptakan “sesuatu” dalam bentuk patung, sesuatu yang sakral, punya muna dan magi,” sebutnya.
Menurut Daulat Saragi, patung primitif mengandung isyarat bahasa pikiran nenek moyang orang Batak yang harus dibaca sesuai dengan makna semula. “Harus disadari bahwa selama ini generasi muda Batak dan Indonesia umumnya terputus dengan bahasa gambar nenek moyangnya sendiri. Mereka justru lebih memahami bahasa gambar nenek moyang bangsa-bangsa asing,” katanya.
Karena itu, lanjut Daulat Saragi, budaya material yang diciptakan berdasarkan ide, filosofi dan religi masyarakat pada masa lalu serta pandangan tentang dunia dan cara berpikirnya, dengan sendirinya telah lewat bersama berlalunya generasi-generasi pendukungnya.
Namun, berkat simbol-simbol inilah, dapat dibaca serta dihayati arketip-arketip filosofi masyarakat terdahulu, tentang pandangan mereka akan manusia, dunia, dan Tuhan. “Dengan pemahaman simbol akan diketahui pesan, pikiran, dan filosofi nenek moyang tentang eksistensinya terhadap kosmos. Sehingga, budaya dan filosofi bangsa akan tetap mengakar pada kearifan lokal budaya tradisional,” katanya berharap.
Sumber: (B Sugiharto) Suara Karya Online