Oleh Radhar Panca Dahana
Bila kita perhatikan sejarah dunia, negeri dan bangsa yang ada di benua (daratan), atau yang mengusung peradaban kontinental, memiliki ciri hampir serupa, khususnya dalam soal hubungan antar masyarakat (bangsa)-nya. Konflik. Ya, sejarah mereka selalu dipenuhi oleh konflik, peperangan, adu dominasi, bahkan nafsu menganeksasi wilayah-wilayah tetangga, hingga jauh di luar batas negaranya.
Kisah-kisah Aleksander Agung, Kubilai Khan, hingga Ibnu Saud menggambarkan itu. Perang tak berkesudahan dalam Legenda Tiga Negara di Cina, sejarah Jerman, Romawi, hingga Persia, sampai konflik perbatasan, pertikaian antar-etnik di masa kini, adalah contoh lainnya. Semua tidak lain mengikuti ambisi kekuasaan atau politik penguasa yang kemudian merembes hingga pada adat, tradisi, hingga agama. Monoteisme kemudian menjadi "agama negara", bisa pula dirunut dari adab konflik semacam ini.
Anda bisa bayangkan, bagaimana kepulauan yang sudah berumur puluhan ribu tahun, dihuni manusia berada lebih dari 10.000 tahun ini, memuat keragaman etnik, ras, dan agama yang mencengangkan dunia sejak dulu kala. Dan fakta yang lebih membuat terpana, ratusan varian keragaman itu dapat hidup berkoeksistensi secara seimbang, harmonis, untuk saling mengembangkan adab, adat, juga kekuasaan (politik)-nya sendiri-sendiri.
Faktor apa sesungguhnya yang paling kuat mempengaruhi iklim interaksi kultural yang hebat itu? Tentu saja, kesadaran akan keragaman, akan pluralisme, dan kenyataan hidup yang multikultural, sudah tertanam sebagai nature dari watak bangsa atau rakyat kepulauan ini. Kemampuan menerima orang lain, eksistensi diri yang diukur dengan hadirnya eksistensi orang lain, sikap egaliter, kosmopolit --dan dalam yang dalam, sikap progresif-- sesungguhnya sudah menjadi watak dasar dari bangsa ini.
Dan tidak lain, kemampuan menerima itu tidak hanya berlaku bagi kebaikan pihak atau orang lain. Tapi juga kekurangan, kelemahan, bahkan kejahatan orang lain. Inilah dasar dari sikap pemaaf kita. Sebuah dasar yang secara negatif dimanfaatkan para kriminal di masa kini. Sifat dasar yang secara positif fit in atau selaras dengan moralitas agama-agama (monoteis) yang datang dari Barat. Islam di antaranya.
Sebagaimana kodrat dan sudah menjadi dasar keyakinannya, Islam diturunkan ke bumi untuk manusia. Bukan untuk binatang, batu, pohon, malaikat, atau jin (bagi sebagian kalangan, mereka sudah "Islam" dengan sendirinya). Artinya, Islam datang dalam satu kondisi di mana manusia, sebagai penerima utama dan satu-satunya, adalah makhluk yang beradab dan berbudaya. Islam diturunkan untuk juga beradab dan berbudaya. Dalam sebuah jalinan yang harmonis, bukan destruktif atau konfliktual, dengan adab dan budaya manusia di tanah ia berpijak. Di negeri manusia (bangsa) itu berpihak.
Karena itulah, Islam mengajarkan umatnya untuk "membaca" dan "belajar hingga ke negeri Cina", untuk memahami perbedaan, menggali pengetahuan, dan membentuk adab dan budaya bersamanya. Dalam prinsip yang abstrak, dalam keberpihakan moral dan tauhid Islam universal, namun dalam keberpijakan adab ia berbaur, berkompromi. Karenanya, Islam tidaklah harus Arab, Persia, atau Turki. Islam juga Jawa, Papua, Kurdi, Niger, Bavarian, New Yorkian, Kirgis, Uzbek, dan seterusnya.
Islam mungkin sejuta wajah dan sejuta busana, namun iman tetap sama. Begitulah yang nampaknya terjadi, setidaknya di negeri ini. Islam sebagai norma dan nilai-nilai berkelindan dengan realitas aktual dan faktual dari varian-varian manusia yang sangat beragam di negeri ini. Menjadikannya agama yang akrab dan ramah. Menjadi salah satu modus ekspresi terbaik dari para pemeluknya. Menjadi cara beradab dan berbudaya yang terus memperbarui diri.
Dalam kelindan itu, Islam menemukan bagaimana rakyat di negeri ini ternyata telah mengintegrasikan tiga pilar kehidupan dalam adat dan peri kehidupan sehari-harinya: ekspresi spiritual, ekspresi pragamatik dan ekspresi artistik. Bagi penduduk negeri ini, mencari uang dengan bertani atau berniaga, misalnya, tidak bisa diluputkan dari ritus pengabdiannya pada Yang Khalik, dan ritus itu kemudian diformat (diupacarakan) dalam bentuk-bentuk yang artistik.
Itulah yang mendasari berbagai upacara keagamaan di berbagai daerah. Seni, dari praksi dan ide keagamaan, diselenggarakan di waktu dan tempat tertentu, sebagai peristiwa istimewa dari integrasi atau harmonisasi hidup di atas. Seni menjadi puncak ekspresi manusia Indonesia dalam mensyukuri hasil kerja dan berkah keilahiannya. Seni adalah puncak kearifan ketika agama telah mem-"bumi", menjadi adat dan adab. Memanusiakan manusia sebagaimana seharusnya ia sebagai makhluk, sebagai kalifah, umat-Nya.
Betapa indahnya bila Idul Fitri yang membahagiakan ini juga mengembalikan kita kepada kemurnian atau kefitrian makhluk yang sadar akan Islam yang ber-"bumi" itu. Islam Indonesia yang toleran, egaliter, dan penuh rasa pengertian serta rasa maaf itu.
Radhar Panca Dahana
Pekerja seni
[Perspektif, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 16 September 2010]
Sumber: http://www.gatra.com