Batik Tak Pernah Lepas Dari Kehidupan Orang Jawa

Bagi orang Jawa batik tak pernah lepas dari kehidupan, sejak masih dalam kandungan ibu hingga ajal menjemput, batik selalu menyertai kehidupan manusia Jawa. Setiap pola atau corak batik tradisional selalu mengandung nilai-nilai adiluhung, terutama yang bermula dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Ragam hias yang menyusun polanya selalu mempunyai arti filosofi. Lebih-lebih ragam hias yang menampilkan pengaruh agama Hindu.

”Seperti garuda yang terdiri sawat, lar dan mirong, lidah api, pohon hayat dan sebagainya,” kata Ir Toetti T Soerjanto, Kurator Museum Batik Danar Hadi Surakarta saat menguraikan pola batik, ragam hias penyusun dan arti filosofinya di depan peserta seminar ‘Pengembangan Batik Tulis Tradisional’ yang digelar Jogja Heritage Society (JHS) belum lama ini. Menurut mantan Kepala Balai Batik Yogyakarta ini, batik memiliki dua keindahan, yaitu keindahan visual dan keindahan spiritual yang ditampilkan oleh arti filosofisnya, dan ini tidak ada pada batik-batik di negara lain. Pola batik di Jawa mempunyai arti yang sakral untuk berbagai upacara, dari mitoni, kelahiran, memasuki usia dewasa, perkawinan sampai kematian.

Batik untuk upacara mitoni diperlukan enam macam kain batik dan satu macam kain lurik. Batik ini digunakan setelah upacara siraman yang mengawali upacara mitoni (tujuh bulan usia bayi dalam kandungan). Artinya, batik digunakan ketika anak manusia masih dalam kandungan. Calon ibu berganti busana sebanyak tujuh kali dengan pola batik berbeda. Antara lain Sidamulya, Sidaasih, Sidamukti, Sidaluhur, Sidadadi.
Semuanya itu mengandung arti filosofis sendiri-sendiri sesuai dengan macam batik. Selain itu juga diperlukan batik babon angrem yang melambangkan kasih sayang dan kesabaran seorang ibu. Wahyu Tumurun melambangkan permohonan agar selalu mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari Allah SWT. Semen Rama sebagai perlambang agar anak yang dilahirkan nanti mempunyai budi pekerti luhur seperti yang dimiliki raja. ”Sedangkan kain lurik digunakan lurik pola Yuyu Sekandhang adalah lambang harapan agar si anak yang masih di dalam kandungan kelak dikaruniai rizki berlimpah, mempunyai banyak anak seperti yuyu (kepiting). Makna dari upacara mitoni ini agar calon ibu dapat melahirkan dengan mudah dan lancar, semudah pakaian berganti tujuh kali,” ujar Toetti T Soerjanto.

Batik juga menyertai kelahiran yang digunakan untuk alas yang disebut kopohan (basahan). Batik ini sudah lawas, milik nenek si bayi. Ini mengandung arti agar bayi kelak dikaruniai usia panjang seperti neneknya. Pola batik itupun mempunyai arti filosofi yang baik, sehingga kebaikan itu akan terbawa oleh bayi yang masih suci hingga dewasa nanti. Kain batik kopohan ini selanjutnya disimpan dan dirawat oleh orangtua bayi sebagai pusaka. Saat menanam ari-ari, ayah bayi mengenakan busana Jawa lengkap, kain batik latar hitam dan menggendong kendil berisi ari-ari, dengan kain batik Sidamulya, Semen Rama, Sidaasih dan lain-lain, yang disebut kain gendhongan. Itu semua mengandung makna yang baik-baik. Bagi kerabat keraton, kain gendhongan berpola Parang Rusak, melambangkan bayi itu masih trahing luhur atau keturunan bangsawan.

Kain batik juga digunakan dalam upacara memasuki usia dewasa, khusus untuk gadis dalam tarapan (pertama kali menstruasi). Setelah siraman mengenakan kain pola Grompol, lambang permohonan kebahagiaan dan kesejahteraan yang nggrompol selalu dikitari dan disukai oleh teman-temannya. Untuk pemuda, batik digunakan saat khitanan dengan mengenakan batik Parang Pamor yang melambangkan harapan agar setelah dikhitan tumbuh sebagai laki-laki yang cakap dan berbudi luhur, karena telah pecah ‘pamor’-nya.

Dalam upacara perkawinan yang merupakan peristiwa penting, batik juga berperan penting. Antara lain untuk lamaran, siraman, akad nikah dan resepsi. Pada upacara lamaran, batik yang digunakan untuk golongan luhur adalah Parang Rusak atau Parang yang lain. Bagi golongan priyayi, batik yang dikenakan pola Semen dengan latar putih. Untuk golongan kebanyakan, pola batik yang dikenakan latar hitam atau jenis Ceplokan. Pada upacara peningsetan, mengenakan batik Satrya Manah, melambangkan pria tersebut memanah hati calon istrinya. Sementara calon istri mengenakan batik pola Semen Rante yang mengandung arti sanggup diikat dalam suatu perkawinan. Tradisi ini menurut Toetti diambil dari wewarah PB IX sewaktu bertahta. Pada upacara siraman, calon mempelai putri mengenakan kain batik Wahyu Tumurun dan kemben Bangun Tulak, artinya agar kedua mempelai mendapat bimbingan dari Allah SWT dan terhindar dari marabahaya.

Orangtua mempelai mengenakan baik Nitik Cakar dengan harapan agar putra-putrinya kelak dapat mencari nafkah dengan mudah seperti ayam mengais makanan, dan tidak tergantung pada kedua orangtuanya. Dalam upacara ini juga bisa mengenakan batik Wora-wari Tumpuk, melambangkan rezeki yang berlimpah-limpah atau grompol. Menyusul upacara siraman membuat riasan awal paes dan calon mempelai putri mengenakan kain Sawitan yang terdiri kain Kembangan yang sama, baik untuk kebaya maupun kainnya. Kain Kembangan merupakan wastra yang polanya dibuat dengan jahitan-jahitan atau ikatan-ikatan (jumputan) sebagai perintangnya dan kemudian dicelup. Makna kain Sawitan adalah bersih lahir maupun batin, suatu pernyataan keikhlasan untuk mengarungi hidup berumah tangga.

Pada upacara midadareni, yaitu malam sebelum keesokan harinya dilaksanakan upacara akad nikah, calon pengantin pria yang datang berkunjung ke rumah calon mertuanya mengenakan busana Jawi Jangkep, dengan kain batik berpola Semen Rama atau Satriya Wibawa (bagi Kraton Surakarta). Sedangkan untuk masyarakat pada umumnya, kain yang dikenakan adalah Wahyu Tumurun. Untuk akad nikah, calon pria mengenakan batik dengan pola yang berawal dengan Sida. Misalnya Sidamulya, Sidamukti, Sidaluhur tanpa prada bila berpakaian Jawi Jangkep atau Lengenharjan. Makna filosofis Sidamulya, dengan harapan agar hidupnya kelak mulia. Sidaluhur, dapat mencapai kedudukan tinggi jadi panutan masyarakat. Sidaasih, agar dalam hidupnya mendapat kasih sayang dari sesama. Sida-mukti, mempunyai harapan dalam hi-dup mencapai kebahagiaan lahir batin dan mendapat kedudukan terhormat.

Pada busana basahan, dodot yang dikenakan dapat berpola Bondhet yang bermakna bundhet, digambarkan dengan dua tumbuhan yang menjalar dan bertemu ujung-ujungnya, berupa lung-lungan yang melambangkan dua insan yang selalu bergandengan dalam hidup berumah tangga. Busana yang dikenakan mempelai wanita kain Sebagen (Chintz) yang dipakai sebagai atasan maupun bawahan yang bermakna se-perti kain Kembangan saat dihalub-halubi pada malam midadareni.

Acara resepsi yang selalu mengiringi upacara akad nikah, menghadirkan pola-pola batik yang penuh makna, baik bagi kedua mempelai maupun orangtua keduanya. Bagi kedua mempelai, digunakan batik dengan pola-pola saat melaksanakan akad nikah. Bagi kedua orangtua mempelai wanita dipakai batik berpola Truntum atau pola-pola lain yang sama dengan pola yang dikenakan besan. Selain pola-pola batik tersebut bisa digunakan pola Nagaraja atau Srikaton. Nagaraja melambangkan harapan agar dalam kehidupan rumah tangga memperoleh ketentraman, sedangkan Srikaton merupakan pola jenis Lung-lungan ini melambangkan kelebihan seseorang, bahwa pemakainya tampak kelebihannya dalam pandangan orang lain. Di kalangan kerabat Pura Mangkunegaran, pada saat resepsi biasanya pola-pola batik yang digunakan Wahyu Tumurun dan Ratu Ratih.

Batik juga menyertai kehidupan manusia sampai ajal tiba, yakni pada saat dilaksanakan upacara-upacara adat Jawa. Sebelum dimasukkan dalam keranda, jenazah selalu ditutup dengan kain batik berpola Sidamukti, Sidamulya, Sidaluhur, Semen Rama dan Kawung yang bermakna kembali ke alam suwung atau Slobok. Selain itu juga digunakan kain batik yang merupakan kesayangan almarhum atau almarhumah atau kain batik yang semasa hidupnya belum sempat dipakai. Bagi pelayat, biasanya mengenakan kain batik pola Slobok dari kata lobok atau longgar. Hal itu mengandung makna agar yang meninggal mendapat jalan lapang sedangkan yang ditinggalkan melepaskan dengan hati yang longgar atau ikhlas. Pola batik Buket Pakis ciptaan Pura Mangkunegaran yang dipengaruhi budaya Belanda yang selalu menggunakan karangan bunga dengan daun pakis sering juga dikenakan pada acara melayat, sebagai pernyataan ikut bela sungkawa.

Pola batik digunakan dalam Ruwatan, untuk menghilangkan takdir yang tidak baik bagi manusia sukerta. Misalnya anak tunggal, dua anak laki-laki semua atau perempuan semua dan sebagainya. Mereka harus diruwat konon kalau tidak, bagi yang percaya akan menjadi mangsa Bethara Kala atau mendatangkan musibah bagi keluarga. Biasanya ruwatan dilaksanakan dengan tradisi wayangan dan di atas kelir wayang disampirkan 9 potong kain batik. ”Pola batik tersebut Parang Rusak, Semen Latar Putih, Semen Latar Hitam, Ceplok, Kawung, Krambil Secukil, Tambal Miring, Slobok dan Poleng Bang Bintulu. Pola Batik yang selalu harus tersedia Poleng Bang Bintulu, Parang Rusak, Kawung dan Krambil Secukil,” kata Ir Toeti T Soerjanto.

Kedaulatan Rakyat, 19/05/2008

-

Arsip Blog

Recent Posts