Oleh Irma Tambunan
Sudah hampir dua bulan terakhir ini kelompok Orang Rimba pimpinan Tumenggung Marituha menjalankan tradisi Melangun. Bersama 150-an warganya, Marituha pindah dari Taman Nasional Bukit Duabelas di kawasan Sungai Terab, Jambi, ke arah selatan kawasan pinggiran perkebunan sawit plasma.
Melangun merupakan tradisi meninggalkan tempat asal pada masa berkabung. Selama masa ini, warga rimba menyusuri jalur-jalur baru dengan membawa perlengkapan hidup sekadarnya. Pada tempat tertentu, mereka membangun tempat tinggal darurat, dengan beratap terpal dan beralaskan akar kayu.
"Sudah sekitar dua bulan kami tinggal di sini," ujar Marituha ketika menyambut kedatangan Kompas, Sabtu (19/6/2010).
Mereka berburu babi dan rusa untuk dimakan. Mereka menjual kayu kepada pedagang di desa terdekat agar bisa membeli beras. Dengan cara itulah mereka bisa bertahan hidup selama berbulan-bulan, sebelum kembali lagi ke tempat asal yang mereka sebut rimbo.
Pada masa kini, tak semua Orang Rimba mau menjalankan tradisi Melangun tersebut. Warga yang sudah sering berinteraksi dengan orang-orang di desa atau para transmigran mulai memilih mengikuti gaya hidup orang di desa. Mereka pun menetap dan membangun rumah permanen.
Ada pula Orang Rimba yang kemudian menikah dengan orang desa. Mereka memilih membaurkan diri dengan budaya di luar rimba sehingga tak lagi menjalankan tradisi Melangun ketika ada anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Perubahan budaya Orang Rimba seperti contoh itu relatif berlangsung cepat, terutama dalam 20 tahun terakhir. Pembukaan hutan yang masif untuk pembangunan permukiman transmigran pada 1980-an mengubah hunian Orang Rimba menjadi hunian pendatang. Para pendatang itu menempati deretan rumah kayu.
Bencana
Kondisi tersebut memengaruhi kehidupan Orang Rimba. Keberadaan para pendatang mengakibatkan semacam kekagetan budaya di kalangan Orang Rimba, apalagi mereka melihat peradaban modern yang berjarak sangat dekat dengan Bukit Duabelas.
Sejak itu, menurut Marituha, berbagai bencana kerap dialami Orang Rimba, seperti penyakit dan kematian yang semakin meningkat. Karena itulah, ia meyakini banyak dewa pelindung telah pergi karena hutan di Bukit Duabelas terus ditebangi. Orang Rimba tak berdaya menghentikan penebangan hutan itu.
"Kalau sudah masuk dozer untuk tebangi kayu di sini, dewa pasti pindah. Lah payah lindungi kito," ujarnya.
Perubahan itu tak hanya berdampak pada bencana. Banyak anak yang mulai menyukai gaya hidup seperti orang luar. Berbagai pelanggaran sosial yang dilakukan anak muda rimba kerap terjadi, dan nyaris tak terkendali. Seiring dengan itu, konflik antara Orang Rimba dan orang di desa juga meningkat.
Melihat kenyataan tersebut, Marituha semakin gelisah. Sebab, dialah yang dipilih secara langsung oleh masyarakatnya untuk menjadi Tumenggung, delapan tahun silam. Maka, ia harus mencari cara untuk menegakkan kembali fondasi hukum adat Orang Rimba.
Sikap tegas
Dia kemudian bersikap tegas pada masyarakatnya. Marituha melipatgandakan sanksi atas setiap pelanggaran adat rimba. Contohnya, ketika ada pemuda rimba memerkosa seorang perempuan bersuami, sebelumnya mendapat denda paling berat 500 lembar kain. Marituha kemudian melipatgandakan denda itu menjadi 1.000 lembar kain.
Bagi Orang Rimba, hukuman denda sebesar itu sangatlah berat. Ini mengingat kemampuan ekonomi mereka yang tergolong rendah. "Dengan hukuman denda sebanyak dua kali lipat itu, mereka berpikir dua kali untuk melanggar aturan adat," ujarnya.
Saat akan menerapkan aturan itu, Marituha sempat khawatir akan berdampak pada timbulnya pemberontakan di kalangan pemuda. Namun, itu tak terjadi. Ratusan warga Orang Rimba di bawah pimpinannya menerima dan menuruti aturan itu.
Penerapan sanksi dua kali lipat tersebut bahkan diikuti juga oleh sejumlah kelompok Orang Rimba di wilayah lain. Sekarang, setidaknya lima kelompok dari 11 kelompok Orang Rimba di Bukit Duabelas yang sudah menerapkan aturan baru tersebut. Penerapan aturan baru itu mampu menjaga masyarakat agar tidak menjauhkan diri dari budaya tradisinya.
"Memang mulai banyak Orang Rimba yang memilih keluar dari rimba, tetapi (yang penting) pelanggaran itu tidak terjadi di sini," ujarnya.
Rindu
Marituha lalu bercerita, pernah ada warga rimba yang mencoba keluar dari rimba untuk tinggal menetap di desa. Namun, selang sekitar dua hari kemudian, mereka ternyata memilih kembali ke rimba. "Mereka rindu (pada kehidupan dan masyarakat rimba)," katanya.
Meski mampu bersikap tegas, dalam kehidupan sehari-hari Marituha juga berusaha merangkul semua anggota kelompoknya. Mereka hidup dalam kebersamaan. Seekor babi hasil buruan, misalnya, hanya dijual sebagian, dan sisanya diolah untuk dimakan bersama-sama.
Contoh lainnya, beras yang baru dibeli dari desa terdekat juga dinikmati bersama-sama semua anggota kelompok. Biskuit dan wafer yang kami bawakan oleh Marituha dibagi rata.
Marituha meyakini, tidak boleh ada warga yang lapar ketika warga yang lain masih memiliki bahan makanan. Kebersamaan semacam itulah yang membuat warganya tidak betah hidup di luar rimba.
"Di luar rimbo, semua harus dibeli. Mereka dak tahan (dengan cara hidup seperti itu). Kalau di sini (Bukit Duabelas), semua dibagi bersama," ujarnya.
Antropolog dari Komunitas Konservasi Indonesia atau KKI Warsi, Robert Aritonang, yang telah lebih dari 10 tahun melakukan advokasi terhadap Orang Rimba di Bukit Duabelas menilai Tumenggung Marituha sebagai pemimpin rombongan yang paling berhasil.
Menurut dia, Marituha berhasil menyatukan warganya untuk tetap bertahan pada hukum adat rimba. Pada saat banyak warga rimba tergagap oleh modernisasi di luar rimba, mereka tetap merasa nyaman hidup bersama-sama secara sederhana.
Mereka memanfaatkan alam secukupnya demi bertahan hidup, tidak berlebihan. Ironisnya, justru banyak orang luar yang mengambil kekayaan hutan Orang Rimba secara berlebihan.
Sebesar apa pun pengaruh yang dibawa dari kehidupan orang luar, Orang Rimba tetap meyakini adanya perlindungan dari dewa-dewa di hutan. Oleh karena itu, mereka pun tetap berusaha menjaga kawasan hutan itu.
Sumber: http://lipsus.kompas.com