Bali - Pulau Bali, dengan segala potensi wisata baharinya—memang sudah begitu mendunia. Begitu juga Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat. Sampai-sampai orang luar negeri lebih kenal Bali dan Mentawai ketimbang Indonesia. Ini mungkin aneh, tetapi begitulah kenyataannya.
Ironisnya, di dalam negeri sendiri, masyarakat Indonesia (yang gemar berwisata) hanya kenal Bali dan Bunaken di Sulawesi Utara. Sedikit sekali yang kenal Mentawai. Di luar itu, mereka buta sama sekali akan potensi wisata bahari di tanah airnya sendiri. Kenapa ini bisa terjadi?
Bali dikenal luas, boleh jadi karena berkali-kali acara kenegaraan untuk tingkat internasional digelar di sana. Untuk pertama kalinya, Asian Beach Games digelar di Bali, Agustus 2008. Sukses sebagai penyelenggara dan sukses prestasi, meraih medali emas terbanyak. Berbagai event kepariwisataan tingkat nasional juga kerap dipusatkan di Bali.
Bunaken? Tanggal 11-15 Mei tahun ini akan digelar World Ocean Conference (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, yang akan diikuti 121 negara dan dihadiri enam kepala negara. Pascapenyelenggaraan WOC, yang diliput pers nasional dan internasional tersebut, diharapkan wisata bahari di Manado, khususnya Bunaken, akan lebih mendunia. Dan, memang, event tersebut akan dimanfaatkan untuk semakin mendorong promosi potensi wisata bahari Indonesia.
Tak salah slogan yang diusung adalah ”Mewujudkan Manado Kota Bahari Dunia 2010”. Agenda khusus dari WOC adalah membicarakan perubahan iklim laut dan bagaimana Indonesia mendapatkan hibah yang, kata Sekretaris Panitia WOC Indroyono Soesilo, telah terhimpun 250 juta dolar AS. Dana hibah dapat, promosi wisata bahari pun terangkat.
Pertanyaan yang bisa diajukan selanjutnya, apakah wisata bahari di Indonesia hanya Bali, Kepulauan Mentawai, dan Bunaken?
Ada ilustrasi yang menarik. Belum lama ini di Sumatera Barat, Ridwan Tulus dari Green Tourism Institute of Sumatra & Beyond dan Nofrins Napilus dari www.West-Sumatra.com mengundang sejumlah artis, antara lain Christine Hakim dan Katon Bagaskara, Ira Wibowo, Henidar Amroe, Tasman Taher, Tina Astari, dan Jian Batari. Sutradara Budhinova Restu dan produser Bambang Driasmoro juga turut serta. Kegiatan yang dilakukan para artis itu adalah melepas anak penyu hijau (tukik) dan menanam terumbu karang di Pulau Sikuai, kawasan wisata bahari di Kota Padang, sekitar 30 menit naik kapal dari Pelabuhan Bungus.
Apa yang terjadi? Menurut Ridawan Tulus, para artis kaget dan terkagum-kagum. Luar biasa eloknya alam Ranah Minangkabau, termasuk wisata baharinya. Tak kalah indahnya daripada Bali. Mereka menyesal, kenapa baru tahu sekarang potensi wisata bahari di Pulau Sikuai itu.
Christine Hakim akhirnya menggarap film yang sekaligus dimaksudkan untuk mempromosikan potensi pariwisata Sumatera Barat. Adapun Katon Bagaskara berjanji akan datang lagi untuk menggarap videoklip berlatar belakang rancaknya alam di kawasan Pulau Sikuai yang berpasir putih dan terumbu karang yang memesona.
Apa yang dialami Christine Hakim dan Katon Bagaskara, terlambat tahu dengan potensi wisata bahari di Kota Padang, khususnya di Pulau Sikuai, barangkali juga dialami banyak masyarakat lain. Lucu juga, dari sekitar 900.000 penduduk Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat itu, tak sampai 10 persen yang tahu keberadaan Pulau Sikuai dan mungkin tak sampai 1 persen yang pernah berkunjung ke sana.
Itu artinya, pemerintah memang belum begitu serius dan kreatif menggarap potensi wisata bahari. Tidak hanya di Padang, tetapi juga di kota-kota pantai lainnya di Indonesia.
”Potensi wisata bahari Indonesia sangat luar biasa. Indonesia kaya dengan sea, sand, dansun. Ada 950 spesies terumbu karang, 8.500 spesies ikan tropis, 555 spesies rumput laut, 18 spesies padang lamun (sea grass), dan 81.000 kilometer coastlines, multycultural coastal communities,” kata Indroyono.
Begitu banyak kegiatan wisata bahari yang bisa dilakukan. Sebutlah seperti selam, selancar, layar, dayung, memancing, renang, renang selat, triathlon, upacara adat laut, dan ski air.
”Wisata bahari selama ini belum maju di Indonesia karena, pertama, aksesibilitas. Kedua, aksesibilitas, dan ketiga, aksesibilitas,” ungkap Indroyono.
Terlepas dari persoalan itu, Alex Retraubun, Direktur Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, membenarkan bahwa kekayaan wisata bahari Indonesia, khususnya wisata bahari pulau-pulau kecil, selama ini kurang mendapat perhatian. Pemerintah selalu memfokuskan ke Bali. Padahal, banyak contoh yang menunjukkan bahwa potensi wisata di pulau-pulau kecil luar biasa masifnya.
”Persoalannya sekarang adalah political will dari pemerintah untuk mewujudkan ini. Tidak cukup sebatas ngomong doang,” kata Alex Retraubun.
Masalah di balik potensi
Karena minimnya perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil yang kaya potensi wisata baharinya itu, orang asing diam-diam mengeruk keuntungan besar. Mentawai maju dan menjadi tujuan utama wisata selancar karena yang menjualnya orang asing. Bahkan, ada di sebuah pulau di Kepulauan Mentawai, investor asing membangun hotel yang biaya menginapnya ratusan dollar AS per malam.
Wakatobi, seperti dikemukakan Son Diamar, Staf Ahli Bappenas, dikelola orang Amerika, yang membeli tanah di pulau itu sekitar Rp 50 juta. Ia bangun 20 cottage sederhana dari kayu beratap rumbia. Setahun revenue-nya mencapai Rp 50 miliar.
Menurut Son Diamar, ketika hal ini ditanyakan ke bupati, ternyata daerah hanya dapat Rp 50 juta. Hanya kurang dari 0,1 persen setahun, padahal orang asing dapat Rp 50 miliar. Bagaimana kesejahteraan rakyat? Rakyat dibeli tanahnya dengan murah, lalu jadi budak angkat-angkat barang, memanggul alas snorkeling diving dengan upah standar minimum provinsi. Menurut bupati setempat, kata Son Diamar, ada 20 lokasi lainnya seperti kasus Wakatobi ini.
”Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah sistematik untuk pengelolaan kekayaan negara di pulau-pulau kecil. Segera lakukan inventarisasi. Jangan sampai orang asing menguasai aset luar biasa bangsa ini,” ujarnya.
Sudah saatnya dilakukan pemantauan dan evaluasi setiap obyek yang dilakukan oleh pihak ketiga menggunakan aset bangsa ini. Pemerintah tak cukup bicara potensi, tetapi perlu juga dengan segara menyiapkan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia yang profesional. Setelah itu lakukan promosi dengan gencar dan buat sejumlah event. Tidak mungkin menjual sensasi wisata bahari tanpa promosi.
Namun, M Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengungkapkan sejumlah konflik alokasi eksternal: perikanan versus pariwisata bahari, yang perlu mendapat perhatian serius.
Di Tomia, Wakatobi, misalnya. Ada konflik masyarakat nelayan dengan PT Wakatobi Dive Resort (Swiss). Masyarakat yang semula bebas melaut, oleh perusahaan asing yang mengelola wisata di sana dibatasi ruang geraknya. Ada pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap untuk kebutuhan dive point, dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa. Terjadi penguasaan kawasan pantai Onemo Baa, yang sebelumnya menjadi area rekreasi komunitas Tomia. Bahkan, juga ada temuan, terjadi pencaplokan dan perampasan tanah, tanaman, dan bangunan komunitas untuk membangun Bandar udara Maranggo Tomia (Maranggo Air Strip).
Di Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah, yang dikuasai PT Walea (Italia), juga ada konflik dengan masyarakat. Ada larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer, dengan alasan konservasi. Di Pulau Komodo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, kata Damanik, juga terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan pengelola ekowisata di sana.
Karena itu, menurut Riza Damanik, pariwisata bahari tidak boleh dipandang sebagai komoditas industri. Komunitas nelayan dan masyarakat lain yang bergantung pada sumber daya laut, harus menjadi titik berangkat kegiatan pariwisata bahari.
”Inisiatif konservasi masyarakat perikanan tradisional harus dipahami sebagai inisiatif sadar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melindungi sekaligus mendapatkan keuntungan dari sumber daya pesisir,” katanya.
Mencermati konflik di pulau-pulau yang menjadi tujuan wisata ini, sudah seharusnya Departemen Budpar duduk semeja dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, serta dengan pemangku kepentingan lain. Paradigma dan egoisme sektoral harus dihilangkan. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana konflik dicarikan solusinya, wisata bahari maju, masyarakat nelayan sejahtera, dan negara mendapatkan devisa. Yurnaldi
Sumber: http://cetak.kompas.com (20 Maret 2009)