Solo, Jawa Tengah - Ribuan masyarakat Solo dan sekitarnya memadati Masjid Agung Surakarta untuk berebut gunungan Sekaten sebagai puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Senin (9/3). Meskipun tradisi gunungan sekaten setiap tahun dilaksanakan, tidak menyurutkan niat ribuan masyarakat untuk berdesak-desakan dan rela berebutan gunungan sekaten. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah gunungan yang dikeluarkan tahun ini lebih sedikit yakni hanya tiga pasang yang berasal dari Keraton Surakarta, Pemerintah Kota Solo dan Pemerintah Kabupaten Boyolali.
Pada tahun-tahun sebelumnya jumlahnya mencapai delapan pasang gunungan yang terdiri dari gunungan laki-laki dan perempuan. Prosesi keluarnya gunungan dimulai dari Kori Brojonolo di Keraton Surakarta dengan ditandai oleh dibunyikannya terompet dan tambur dan diberangkatkan Raja Surakarta PB XIII Hangabehi.
Selanjutnya tiga pasang gunungan dibawa ke halaman Masjid Agung untuk didoakan. Tetapi belum sempat gunungan selesai didoakan oleh ulama keraton, ribuan masyarakat yang sudah menyemut di halaman Masjid Agung sudah berdesakan untuk mendapatkan isi gunungan. Dan hanya dalam hitungan menit, gunungan tersebut sudah habis diperebutkan oleh warga. Bahkan rangka gunungan yang terbuat dari kayu juga turut diperebutkan. Menurut Wakil Pengageng Sasanao Wilopo Keraton Surakarta, KRAr Winarno Kusumo, gunungan merupakan simbol dari Manunggaling Kawula Gusti. Dimana seorang raja harus memperhatikan rakyatnya dengan membagi-bagikan hasil bumi. "Gunungan laki-laki terdiri dari berbagai macam hasil bumi seperti kacang-kacangan, buah-buahan dan hasil bumi lainnya dan bentuknya lebih lancip. Kalau gunungan perempuan berbentuk seperti tampah dan berisi makanan seperti rengginan atau makanan yang terbuat dari nasi kering," jelasnya.
Dilihat dari sejarahnya, sekaten merupakan tradisi yang sangat erat dengan penyebaran Agama Islam di tanah Jawa. Sekaten diselenggarakan setiap tahun untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW dan tradisi ini sudah dimulai sejak tahun 1478 pada masa pemerintahan Kerajaan Demak. Dalam ritual sekaten tersebut dilakukan pengucapan dua kalimat syahadat (syahadatain) yang dulunya untuk mengajak orang Jawa masuk Islam. Sebelum gunungan dibawa masuk ke halaman Masjid Agung, terlebih dahulu diawali dengan ceramah agama yang dilakukan ulama.
Ceramah yang diberikan berisi tentang lahirnya Nabi Muhammad SAW, seusai mendengarkan ceramah agama, para jamaah juga dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Menurut salah satu warga, Mbah Surip (73) asal Tawangmangu, Karanganyar, setiap tahun selalu mendatangi tradisi sekaten ini. Bahkan dirinya rela berdesak-desakan untuk berebut gunungan. "Tadi dapat kayu rangka gunungan dan daun pisang. Jika ditanam di sawah, akan cepat panen dan daunnya akan diberikan kambing biar cepat melahirkan. Ini kan sudah kepercayaan," ujarnya. Cuaca yang sangat panas, tidak mengurungkan niat warga untuk berebut gunungan. Bahkan mereka juga rela mengais sisa-sisa gunungan yang berjatuhan hanya untuk mendapatkan berkah dari sekaten. (Endang Kusumastuti)
Sumber: http://www.suarakarya-online.com (11 Maret 2009)