Jakarta - Tidak salah jika ada yang memberi julukan Indonesia sebagai ”surga dunia”. Keindahan alamnya yang tersebar di sekitar 17.500 pulau sangat memesona.
Selain gunung dan hutan dengan tumbuhan yang sangat beragam, juga terdapat pantai yang terbentang sepanjang 81.000 kilometer atau setara 81 kali Jakarta-Surabaya. Di bawah lautnya yang terbentang seluas 22,4 juta kilometer persegi (km), terdapat hamparan terumbu karang seluas 75.000 km. Tidak kurang dari 950 spesies terumbu karang hidup di sana.
Di bawah laut juga terdapat sekitar 8.500 spesies ikan tropis. Potensi ikan untuk konsumsi seakan tak ada habisnya.
Mestinya dengan potensi alam yang luar biasa ini, Indonesia bisa maju meninggalkan negara-negara di sekitarnya. Masyarakatnya bisa makmur dan wisata bahari bisa berkembang. Namun, kenyataannya, jauh panggang dari api.
Jumlah penduduk miskin masih tetap tinggi, bahkan tak berkurang selama 20 tahun terakhir. Alih-alih berkurang, justru jumlah penduduk miskin makin bertambah di tengah kekayaan alam yang melimpah.
Jika tahun 1987 terdapat sekitar 30 juta penduduk miskin, saat ini setidaknya terdapat 33 juta penduduk miskin. Ironisnya, angka kemiskinan paling tinggi justru terdapat di sentra-sentra pertanian dan permukiman nelayan.
Kontribusi sektor perikanan juga sangat kecil, hanya sekitar tiga persen terhadap produk nasional bruto (GNP). Sangat tidak sebanding dengan potensi kelautan dan perikanan yang sangat berlimpah.
Modal minim
Kekayaan laut dan pesona laut yang luar biasa sebenarnya menjadi modal utama pengembangan wisata bahari. Pengembangan wisata bahari juga memiliki keunikan tersendiri.
Jika kegiatan wisata lain membutuhkan modal besar untuk pembangunan obyek wisata, maka dalam wisata bahari daya tarik utama justru pesona alam yang asli. ”Investor tidak perlu susah payah mengeluarkan modal besar untuk membangun obyek wisata. Daya tarik wisatanya sudah tersedia berupa pesona alam,” kata Direktur Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Alex Retraubun.
Kalaupun membangun fasilitas, berupa cottages atau tempat peristirahatan, tidak perlu modal besar karena biasanya wisatawan menyukai tempat peristirahatan yang alami, bukan berupa hotel mewah. Namun, tarifnya setara dengan tarif hotel bintang lima dan tak pernah sepi peminat.
Di Wakatobi, misalnya, tersedia resort yang atapnya dari rumbia dan dindingnya sederhana. Namun, 11 kamar yang ada di resort itu tak pernah sepi wisatawan mancanegara dan bisa menghasilkan Rp 22 miliar setahun. ”Kesunyian, keterisolasian, serta keindahan terumbu karang dan ikan hias itulah yang menjadi daya tarik wisatawan,” kata Alex Retraubun.
Potensi alam seperti ini tidaklah sedikit. Di Indonesia setidaknya ada 59 lokasi selam yang sangat menawan. Karena keterbatasan infrastruktur, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata baru menawarkan 13 lokasi, di antaranya Nias, Mentawai, Ujung Kulon dan Anak Krakatau, Batam Rempang dan Galang, Riau Kepulauan, dan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta.
”Ke-13 lokasi ini harus betul-betul dijaga, termasuk dari kerusakan akibat pengeboman ikan,” kata Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Indroyono Soesilo.
Selain menjaga, hal yang sangat penting untuk mengembangkan pariwisata di 13 lokasi itu adalah menyediakan infrastruktur yang memadai. ”Meskipun alamnya indah, jika tidak ada pelabuhan yang memadai atau infrastrukturnya terbatas, tidak ada wisatawan yang ke sana,” kata Indroyono.
Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah menjaga lingkungan obyek wisata tersebut agar tidak rusak. ”Konservasi adalah faktor mutlak dalam pengembangan wisata bahari,” kata Didien Junaedy, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri).
Sayang, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) untuk wisata bahari hingga saat ini masih minim. Berdasarkan catatan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, jumlah wisman bahari baru sekitar 38,8 persen dari sekitar 6,7 juta wisatawan yang diklaim datang ke Indonesia.
Kurang serius
Pengelolaan wisata bahari memang terkesan kurang serius dilakukan pemerintah. ”Bahkan pemerintah terkesan tidak mempunyai cetak biru pengelolaan wisata bahari. Pembangunan infrastruktur tidak optimal serta koordinasi antarinstansi pemerintah masih sangat lemah,” kata Didien.
Pemerintah daerah dan masyarakat lokal pun seperti tidak dilibatkan dan tidak mendapat manfaat dari keberadaan obyek wisata bahari.
”Padahal, mestinya, wisata bahari bisa memberikan pendapatan yang layak buat pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Tradisi masyarakat sekitar juga harus tetap terpelihara. Itu yang kami inginkan,” kata Henky Hermantoro, Kepala Puslitbang Pariwisata Depbudpar.
Di sisi lain, menurut Son Diamar, koordinasi antarinstansi pemerintah juga kurang terpadu sehingga merugikan pengembangan wisata bahari. Sebagai contoh, dalam rangka mempromosikan pariwisata, hampir setiap tahun diadakan ”Sail Indonesia” yang diikuti sekitar 100 yachts dari 20 negara. Start dari Darwin Australia, masuk Indonesia di Kupang, lalu menjelajahi Nusa Tenggara Timur, Bali, serta pulau besar-kecil lainnya, dan finish di Batam.
Yachters yang kebanyakan orang kaya disuguhi pesona alam Indonesia, kekayaan budaya masyarakat, dan makanan khas di sepanjang perjalanan. Tapi, tahun 2008 kapal-kapal layar yachts sempat ”ditahan” karena dianggap ”barang selundupan” oleh Bea dan Cukai.
Kapal-kapal itu boleh masuk Indonesia dan keluar lagi jika mau diperlakukan sebagai ”barang impor sementara”, dan membayar sampai 50 persen dari harga kapal. Ada pemilik kapal yang harus membayar Rp 3 miliar dan dijanjikan di pelabuhan keluar nanti uangnya dikembalikan.
”Tentu saja memalukan karena di negara lain tidak ada aturan seperti itu karena kapal bukan barang. Inilah contoh bagaimana antarinstansi pemerintah masih kurang terpadu dan terkoordinasi dalam pengembangan wisata bahari,” kata Son Diamar, staf ahli di Bappenas.
Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyoroti dirugikannya masyarakat sekitar obyek wisata saat dilakukannya pengembangan wisata bahari. Bukannya diberdayakan, nelayan dan masyarakat sekitar obyek wisata malah tidak bebas lagi melakukan kegiatan, setelah adanya obyek wisata bahari. Pembatasan oleh aparat birokrasi ini karena khawatir kegiatan nelayan bisa mengganggu kenyamanan wisatawan.
”Padahal mestinya masyarakat nelayan diberdayakan,” kata Riza Damanik. Jika demikian, memang menjadi pertanyaan. Buat siapa wisata bahari dikembangkan? (Try Harijono)
Sumber: http://cetak.kompas.com (20 Maret 2009)