Oleh Nurhadi Rangkuti
Tersebutlah Kacyapa, seorang begawan, memiliki dua istri: Kadru dan Winata. Kedua wanita itu bersaudara yang sama-sama belum dikarunia anak setelah lama menikah. Mereka menghadap kepada sang suami agar diberi keturunan. Sang begawan lalu memberi mereka telur-telur yang harus dierami.
Telur yang diberikan kepada Kadru menetas lebih dulu berupa seribu ular. Winata iri lalu memecahkan satu telurnya walau belum saatnya menetas. Lahirlah seorang anak yang belum sempurna bentuknya, diberi nama Aruna. Sang anak mengutuk ibunya, kelak sang ibu menjadi budak saudaranya sendiri. Tetapi kutukan itu akan hilang dengan syarat harus menunggu menetasnya telur yang satu lagi. Dialah yang akan membebaskan Winata.
Singkat cerita, kutukan Aruna menjadi kenyataan. Winata menjadi budak Kadru. Hingga suatu saat telur Winata yang tersisa menetaskan seekor garuda. Sang garuda kemudian mencari air amerta sebagai syarat membebaskan ibunya yang diajukan oleh Kadru dan anak-anaknya. Melalui perjuangan berat, akhirnya garuda berhasil mendapatkan amerta. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan Dewa Wisnu dan meminta garuda menjadi wahana-nya.
Garuda kemudian menyerahkan air amerta kepada Kadru dan ular-ularnya. Namun sang garuda berpesan agar anak-anak Kadru sebelum meminum air kehidupan itu mandi terlebih dulu. Garuda sengaja bermaksud agar ular-ular itu lengah sehingga amerta dapat dicuri para dewa. Dewa Indra bertugas mencuri amerta ketika para ular sedang mandi dan berhasil menjalankan tugasnya.
Inilah kisah Garudeya, yang intinya tentang pelepasan dari perbudakan. Garuda pun menjadi lambang semangat kemerdekaan dari segala bentuk perbudakan.
Stuktur Candi Kedaton
Candi Kedaton di dusun Kedaton, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur yang berdekatan dengan pendopo Majapahit, hingga kini masih misteri bentuknya. Sampai saat ini para arkeolog belum mampu menemukan bentuk yang sebenarnya dari candi kedaton, sehingga sampai sekarang belum di rekontruksi. Candi Kedaton yang juga memiliki Sumur Upas. Namun diperkirakanbentuk bagunan situs tersebut segi emapat, bangunan candi dengan sumur upas, makam Islam, mulut goa, dan lorong rahasia.
Candi yang berbentuk datar itu diduga merupakan ruang pertemuan, tapi di sudut selatan ada makamnya, sedangkan bentuk goa diduga sebagai tempat semadi (pertapaan), dan lorong rahasia diduga ruang pelarian.
Cuplikan kisah Garudeya terpahat dalam relief di Candi Kedaton. Letak bangunan suci agama Hindu yang berada di lereng Pegunungan Iyang di Jawa Timur ini di Dusun Lawang Kedaton, Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo. Candi berukuran enam meter persegi dan berangka tahun Saka 1292 (1370 M) yang terpahat di pipi tangga.
Candi Kedaton memiliki 33 buah panil relief pada bagian kaki candi. Selain kisah Garudeya, beberapa panil menggambarkan kisah Arjunawiwaha dan Bhomakawya. Panil-panil lainnya belum diketahui ceritanya.
Kisah Garudeya digambarkan dalam tiga buah relief. Dua buah relief telah dipublikasikan oleh Bernet Kempers tahun 1959 dalam bukunya yang termashyur: Ancient Indonesian Art. Satu relief menggambarkan garuda membuka paruhnya lebar-lebar untuk memakan penduduk; satu relief lagi adegan garuda menghatur sembah kepada ibunya.
Tampaknya Candi Kedaton yang kecil itu memiliki daya tarik yang besar pada relief-reliefnya. Bernet Kempers memublikasikan dua buah relief lainnya yang menggambarkan kisah Bhomakawya. ”A very emotional scene”, demikan komentar Kempers pada relief yang menggambarkan Samba, putra Kreshna, mengunjungi putri Yajnavati sebelum berkelahi dengan tentara raksasa.
Selain Bernet Kempers, Balai Arkeologi Yogyakarta menganggap penting relief-relief Candi Kedaton untuk bahan kajian tentang fauna-flora dan jenis busana masa Jawa kuno yang digambarkan dalam relief. Seluruh panil relief didokumentasikan pada tahun 1997.
Sumber:
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0509/30/humaniora/2085540.htm