Alasan Politikus Ingkar Janji

Oleh: Amiruddin Al Rahab

SETIAP pemilih (voters) berharap politikus yang ia pilih bisa mengubah janji menjadi kenyataan. Sayangnya, di era politik pasar pertunjukan (show politics and political marketing) seperti sekarang ini, janji-janji politik bukanlah ditujukan untuk diubah menjadi program kerja yang nyata. Janji-janji di masa kampanye hanyalah kemasan pesona (image) yang ditawarkan di layar kaca dan media cetak untuk menyihir pemilih agar menjadi konsumen produk politik, yaitu sang kandidat.

Pemilu telah berlangsung, namun janji-janji pokok dari kampanye para pasangan calon presiden dan partai-partai pendukungnya menjadi catatan yang tetap perlu ditelaah.

Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menjanjikan kelanjutan dari apa yang telah dicapai saat ini dan memperbaiki hal yang belum dicapai dengan modal pesona pemerintahan yang bersih. Janji SBY sangat moderat dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen sampai tahun 2014, melanjutkan BLT, subsidi BBM, menjaga kecukupan sandang dan pangan, menciptakan lapangan kerja baru, serta merevitalisasi program KB dan puskesmas. Jaminan sosial akan diwujudkan pada 2010 serta memprioritaskan sekolah kejuruan dengan proyeksi 60 persen berbanding 40 persen untuk sekolah umum.

Mengapa para politikus ingkar janji setelah mereka terpilih? Ada dua kondisi pokok yang menyebabkan pengingkaran janji itu terjadi.

Pertama, panggung politik adalah arena yang sarat dengan pembangunan pesona (image building) yang amat mahal. Artinya, dalam panggung politik, sosok politikus yang hadir bukanlah sosok mereka yang sesungguhnya, melainkan sosok imitasi yang dipoles sedemikian rupa oleh konsultan kampanye (advertising) dan pencitraan dengan biaya miliaran rupiah. Corak politikus era pembangunan pesona ini sebangun dengan corak pembangunan citra sebuah produk dagang atau perusahaan dagang. Cara menjangkau pemilihnya tidak berbeda dengan cara sebuah barang dagangan dipasarkan ke konsumennya. Karena yang hendak dituju oleh politikus adalah konsumen, bukan pemilih, maka janji berubah menjadi kemasan citra-citra palsu yang dibangun melalui media televisi atau cetak.

Politik era pertunjukan ini sangat bertumpu pada komunikasi massa yang massif dan mahal, serta polling. Manuel Castells (Vol II, 1997), dalam triloginya The Information Age, mengemukakan bahwa frame berita politik adalah personalisasi peristiwa. Politik adalah person, bukan grup, bukan pula substansi politik itu sendiri. Politik di media dalam ungkapan Castells adalah, "Politicians, not politics, are the actors of drama." Kondisi ini membuat politik menjadi real virtuality. Akibatnya, pemilih terpukau oleh citra yang berkejaran di layar kaca dan media cetak layaknya menikmati sinetron tanpa bisa mendalami apa yang dijanjikan olah sang politikus.

Era politik tebar pesona (pencitraan) ini juga membutuhkan pengelola panggung agar cocok dengan karakter media, yaitu lebih suka konflik daripada konsensus, personal bukan grup, peristiwa lanjutan ketimbang pokok peristiwa, sesuatu yang dramatis, berita di balik berita. Semua itu ditujukan untuk menciptakan hero melawan kejahatan. Kemasan politik di media terjadi seperti itu, karena politik berlomba meraih perhatian pemirsa melawan acara sinetron, musik, olahraga, dan film.

Untuk itu semua, dibutuhkan komentator, konsultan, dan penasihat pencitraan politik, perancang iklan, lembaga polling dan EO politik yang namanya tidak kalah menterengnya dari sang politikus. Sebagai contoh, Trio Mallarangeng dengan Fox Indonesia, dan Denny J.A. dengan LSI-nya, adalah sosok faktual dari gejala pembangunan citra politik nan real virtuality ini.

Drama politik pertunjukan di media ini dicatat oleh Castells (338-339) sangat mahal. Karena itu, sang kandidat sulit untuk tidak terlibat dalam skandal keuangan, seperti korupsi, dana kampanye gelap, dan sumbangan hitam. Dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden yang baru lalu, kita bisa mencium skandal keuangan ini.

Kenyataan yang Keras

Kondisi kedua adalah kenyataan yang sangat bertolak belakang dari dunia pesona, yaitu kenyataan yang keras. Kenyataan akan memaksa setiap kandidat yang menang berkompromi dengan keadaan. Sang kandidat pemenang kembali menginjak bumi untuk menghadapi kenyataan yang berada di luar dirinya. Kenyataan itu membatasi sang politikus terpilih untuk menjalankan program dengan pertimbangan apa yang mungkin, bukan lagi apa yang dia mau.

Mengapa? Pertama, adalah keterbatasan anggaran yang ada. Artinya, kandidat terpilih dalam menyusun program dan menjalankan roda pemerintahan sangat ditentukan oleh ketersediaan anggaran. Akibatnya, janji-janji muluk ketika kampanye dengan sendirinya menjadi tidak relevan untuk dijalankan ketika berhadapan dengan anggaran yang serba terbatas.

Kedua, budaya birokrasi. Setelah kandidat terpilih dilantik, ia langsung berhadapan dengan budaya birokrasi yang selalu terpecah-pecah, lamban, tidak profesional, boros, dan korup. Akibatnya, janji-janji muluk masa kampanye tidak mungkin bisa dijalankan oleh birokrasi. Ketika sang terpilih memaksa mesin birokrasi bergerak dengan cepat, mesin birokrasi itu akan berkontraksi dan bisa fatal akibatnya bagi sang terpilih, yaitu gagalnya program pemerintah secara menyeluruh.

Ketiga, kemampuan tim yang terbatas. Ketika janji hendak dioperasionalkan dengan satu rancang-bangun yang rigid, tim sang terpilih tidak memiliki kompetensi, keahlian, dan kepemimpinan untuk menjalankan seluruh program. Akibatnya, sang terpilih akan lebih cenderung menjalankan program yang mudah dan bisa ia kontrol ketimbang membuat langkah-langkah lompatan jauh ke depan sebagaimana ia janjikan dulu.

Keempat, berubahnya keadaan. Keadaan ketika kampanye dengan saat menjalankan pemerintah jauh berbeda. Akibatnya, perhitungan politik kandidat terpilih ketika menjalankan rencana pemerintahan cenderung berubah dari ketika merancang kampanye. Jika ia tetap pada asumsi politik ketika kampanye, sang kandidat terpilih akan melakukan bunuh diri politik.

Jadi, perpaduan pembentukan citra yang imitatif dan manipulatif melalui media kampanye dengan keadaan yang keras dalam waktu yang berubahlah yang memaksa setiap politikus terpilih tidak bisa lagi memenuhi janjinya selama kampanye. Kontrak-kontrak politik di masa kampanye menjadi tak berharga. Karena itu, menuntut politikus menepati janjinya adalah pekerjaan yang sungguh sia-sia, karena politikus pasti ingkar janji.

Soal politikus selalu ingkar janji ini tidak ada kaitannya dengan kepribadian individu, melainkan sifat utama dari sistem politik show politics and political marketing yang lebih mengedepankan citra yang berbiaya mahal di televisi dan iklan ketimbang mendalami substansi dari politik sebagai keterampilan mengelola negara yang sesungguhnya.

Amiruddin Al Rahab, Staf Khusus Direktur Eksekutif ELSAM Jakarta

Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 05 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts