Banda Aceh, NAD - Filolog Aceh, Melayu, dan nusantara, Hermansyah mengatakan bahwa Aceh punya tugas penting untuk memperjuangkan Hamzah Fansuri untuk mendapatkan gelar 'Bapak Kesusastraan Melayu'.
Hermansyah mengatakan bahwa sastrawan pada generasi dibawahnya bisa mengikuti karya-karyanya.
"Saat ini di Indonesia tidak ada sastrawan yang menjadi panutan atau panduan layaknya Hamzah Fansuri," terangnya pda The Globe Journal usai workshop sastra, Minggu (2/12/2012) di Museum Tsunami Banda Aceh.
Dia mencontohkan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang berisikan nilai-nilai kebajikan. Karya yang terbit pada tahun 1263 H/ 1847 M ini ternyata juga menganding nilai-nilai yang sama seperti pada karya Hamzah Fansuri.
"Karya Hamzah Fansuri juga sudah mengajak pada kebaikan dan menjauhi larangan. Termasuk menjauhi raja-raja zalim. Jadi unsur dalam syair Hamzah Fansuri tidak hanya sastra saja, tapi juga keagamaan, tata negara, dan politik," tuturnya.
Dia mengatakan bahwa Hamzah Fansuri punya peranan yang penting dalam bidang kesusastraan. Pada zaman Sultan Iskandar Muda berkuasa, Hamzah Fansuri mampu membawa Aceh sebagai pusat keagamaan.
"Dia mampu mengundang santri dari luar Aceh. Dia mampu menjadikan Aceh sebagai pusat pembelajaran dan keagamaan. Aceh menjadi sumber utama dalam keilmuan nusantara," ujar peneliti dan pengkaji manuskrip dan naskah-naskah berbahasa Aceh, Jawi, dan Arab.
Meski sampai saat ini Aceh sudah merangkum manuskrip karya Hamzah Fansuri tapi masih minimnya orang untuk mengkaji naskah-naskah tersebut. Karya-karya yang dikumpulkan di Museum Aceh, Perpustakaan Tanoh Abee, dan Yayasan Ali Hasymi masih belum dilakukan pengkajian.
"Kendala kita adalah tidak ada orang yang bisa berbahasa kita jawi melayu. Seharusnya bisa, tapi orang sekarang banyak yang tidak bisa," tuturnya.
Sumber: http://www.theglobejournal.com