Jakarta - Desa Bawomataluo di Nias, Sumatera Utara ternyata telah diajukan menjadi salah satu situs warisan dunia ke UNESCO sejak tahun 2009. Namun, jalan masih panjang bagi desa yang terkenal dengan budaya hombo batu alias lompat batunya ini untuk diakui UNESCO.
4 Peneliti dari Universitas Gajah Mada (UGM) dan 11 profesor dari Jepang sedang mengadakan riset tak henti untuk memperjuangkan Desa Bawomataluo ini menjadi situs warisan budaya dunia. Apa saja aspek yang akan dinilai untuk diakui UNESCO?
"Ada 2, aspek tangible yang bersifat fisik dan aspek intangible seperti kebudayaan, ritual, upacara dan sebagainya. Ini kolaborasi UGM dengan 11 profesor dari Jepang. Kita merasa ada sesuatu yang sangat menarik yang harus diselamatkan dari Desa Bawomataluo ini," jelas ketua tim riset Desa Bawomataluo, Yoyok Wahyu Subroto.
Hal itu disampaikan Yoyok saat berbincang dengan detikcom, Selasa (25/12/2012). Saat dihubungi, Yoyok sedang berada di Nias, dalam rangka memberikan work shop pada warga Desa Bawomataluo mengenai pemaparan hasil risetnya.
Yoyok menjelaskan, di desa ini aset tangible secara fisik yakni pemukiman tua yang masih hidup hingga sekarang, dengan 5 ribu warganya. Kemudian ada pula bangunan, yakni rumah adat kayu terbesar di dunia, tingginya mencapai 40 meter.
"Itu rumah raja. Bila Anda sering melihat hombo batu (lompat batu khas Nias, red), nah bangunannya di dekat situ. Itu hanya di Indonesia," jelas Yoyok.
Rumah adat di Nias, imbuhnya, struktur bangunannya sangat solid dan tahan gempa. "Ketika gempa, itu rumah goyang-goyang tapi tidak roboh. Strukturnya anti gempa, dan banyak dikagumi. Ini suatu harta karun untuk mengembangkan struktur konstruksi bangunan," jelas dia.
Belum lagi, budaya dan ritualnya. Namun, Yoyok menjelaskan, UNESCO meminta syarat yang tidak mudah dan banyak agar desa ini lolos menjadi situs warisan dunia.
Yang tak kalah pentingnya, adalah membuat warga desa sendiri sadar dan turut serta melestarikan budayanya.
"Kita bikin ini bukan barang industri. Ini benda yang hidup. Nanti akan kita kaitkan dengan pariwisata, panglimanya adalah budaya, ekonomi sebagai outcome-nya. Sekarang saya lihat warga masih berpikir ekonomi yang menjadi panglima. Harusnya yang menjadi panglima itu melestarikan budaya, melalui pariwisata itu bisa dijual karena budaya tidak pernah habis," jelas Yoyok.
Yoyok mencontohkan, pelestarian itu seperti bahasa. Misalnya kata mbele-mbele yang berarti rumah. Bila anak mudanya tak menggunakan kata itu lagi, maka kata itu akan musnah.
"Selanjutnya ketika dia tidak tahu, fisiknya akan hilang, budayanya hilang dan peradabannya hilang. Ini saling mengait. Ini ada mutiara kita yang kita temukan, segera diamankan. Ini kita akan buat ordonansi, dibantu rekan-rekan saya dari Jepang," jelas dia.
Respon warga desa, menurutnya sangat bagus dan sangat antusias. Pemda Nias juga mulai sadar budaya. Peran warga desa dalam melestarikan budayanya secara konsisten inilah salah satu yang menjadi poin yang akan dievaluasi UNESCO tiap tahun.
"Tahun 2009 itu masuk tentative list. Tiap tahun dievaluasi. Kalau warganya nggak menghargai budayanya kan kacau juga. Yang penting bagaimana ini diselamatkan dan masyarakatnya bisa sejahtera," kata Yoyok yang mencari dana riset secara swadaya ini.
Para peneliti dari UGM dari berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, konstruksi bangunan, psikologi dan arsitektur serta antropologi. Sedangkan profesor dari Jepang, ada antropolog, sosiolog, ahli gempa, ahli sejarah sampai ahli branding.
"Nanti mencari branding Nias untuk marketing, apakah itu ecotourism atau apa," jelasnya.
Profesor dari Jepang ini sudah berpengalaman membantu situs kota kuno Hoi An di Vietnam dan Desa Shiragawa-go, Jepang sebagai situs warisan dunia. Bahkan untuk Hoi An, butuh waktu 10 tahun agar UNESCO mau mengakui sebagai situs warisan dunia.
Sumber: http://news.detik.com