Melayu tak Perlu Malu, Mereka yang Membangun Kota-kota Besar Negara Ini

Pekanbaru, Riau - Suku Melayu tidak perlu merasa malu atau terpinggirkan di negeri ini. Sumbangan yang tidak akan pernah hilang sampai saat ini adalah Bahasa Indonesia yang berakar dari Bahasa Melayu. Hal lain yang tidak dapat dipungkiri, kota-kota besar, terutama kota pelabuhan di Indonesia dibangun atas prakarsa pedagang Melayu pada masa lalu.

Demikian benang merah pada dialog budaya Melayu di Pekanbaru dengan narasumber pakar sejarah Bondan Kanumoyoso, Basri Effendi dan arkeolog Heriyanti Untoro pada dialog budaya Melayu di Pekanbaru, hari Selasa (4/12/2012).

Menurut Bondan, pengajar pada Universitas Indonesia, bangsa Melayu telah menguasai maritim pada sejak abad 16. Bangsa Melayu berdagang dari satu tempat ke tempat lain dan mengembangkan pelabuhan yang disinggahi. Pelabuhan besar Melayu pertama terbesar adalah Malaka di Malaysia. Pada abad ke-17, kerajaan Melayu di Aceh sudah menguasai perdagangan lada dunia yang tidak terpengaruh kekuasaan Eropa di Asia Tenggara.

Pada pertengahan abad ke-17, Riau juga merupakan salah satu pusat dagang besar di Sumatera. Namun akibat perang perebutan kekuasaan di Malaka dan mengalami kekalahan, perdagangan Riau jatuh ke tangan Bugis. Namun, simbiosis Bugis dan Melayu di Riau justru semakin menghidupkan perdagangan.

"Dahulu, Melayu berada di sepanjang Pantai Utara Jawa sampai ke Makassar. Kampung-kampung Melayu selalu ada di kota-kota besar pelabuhan. Kehadiran Melayu tidak hanya berdagang, namun juga menularkan nilai-nilai dan budaya dan tidak ketinggalan penyebaran bahasa Melayu yang akhirnya menjadi Bahasa Indonesia," kata Bondan.

Heriyanti, arkeolog dari UI ini memperkuat pernyataan koleganya Bondan, dengan mengatakan, pada peta Kota Semarang tahun 1800-an, buatan Belanda, terdapat sebuah daerah yang bernama Kampung Melayu. Bahkan, kejayaan Melayu pada masa silam, dapat dilihat dari tegaknya peninggalan sejak masa kerajaan Hindu-Budha, berlanjut sampai masuknya Islam di berbagai daerah di Indonesia.

Meski demikian, Heriyanti mengakui, peninggalan budaya Melayu mengalami kesenjangan karya dalam konteks ruang dan waktu pada masa kini. Yang diperlukan pada masa sekarang adalah membiarkan seniman dan budayawan berekspresi dan mencipta dengan keberagaman. Adapun pada masa mendatang, diperlukan budaya yang berpengetahuan, berkarakter, dan beradab.

Basri mengungkapkan, pada masa Orde Baru politik negara memang memasukkan "budaya" bukan merupakan bagian dari orang. Dalam konteks Jawa, budaya diibaratkan sebagai "klangenan" atau sesuatu yang dapat dirindukan. Sehingga budaya dalam konteks kehidupan menjadi tidak berarti apa-apa.

"Konstruksi budaya eksternal menjadi politik budaya pada zaman Orba. Sekarang ini bagaimana membuat subyektifikasi agar pemilik budaya adalah orang. Kita harus mengakhiri dehumanisasi budaya di tengah kita. Serahkanlah pemilik budaya pada pemiliknya sebagai masyarakat sipil," tandas Basri.

-

Arsip Blog

Recent Posts