Jakarta - Sepekan lagi, umat Islam akan mulai beribadah puasa selama Ramadan. Berbagai tradisi sudah dipersiapkan berbagai daerah. Ada Tablig akbar atau nyadran, ziarah ke kubur leluhur.
Begitupula di Kudus, Jawa Tengah. Daerah ini mengenal tradisi `Dandangan`. Tradisi pemeluk agama Islam yang sudah ada sejak 15 abad silam. Tradisi ini tak lepas dari peran Sunan Kudus Dja’far Sadiq. Sunan ini dipercaya oleh Sultan Fatah dari Kerajaan Demak untuk mengembangkan agama Islam di pantai utara Jawa Tengah.
Sunan Kudus merupakan ulama besar. Satu dari sembilan wali atau Walisongo yang cendikiawan dan dikenal ahli ilmu fiqih (falaq). Berbagai literatur menyebutkan otoritas penentuan tanggal 1 Ramadan berada di tangan ulama besar Dja’far Shodiq atau Sunan Kudus. Ia dikenal sebagai seorang pujangga sekaligus Senopati Kerajaan Islam Demak Bintoro. Dia pula yang membuat karya sastra terkenal, seperti gending Maskumambang dan Mijil.
Sunan Kudus memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Dia melarang pengikutnya memotong sapi. Alasannya hewan itu sangat dihormati oleh pemeluk agama Hindu. Tradisi ini masih dipertahankan hingga kini. Dia pun tidak tabu pada akulturasi budaya. Masjid dan Menara Kudus menjadi buktinya. Ia memadukan Hindu dan ornamen cantik, akulturatif pada abad 15, hingga generasi berikutnya mampu menangkap ‘spirit budaya’.
Menjelang Ramadan, Dja’far Shodiq menabuh beduk di atas menara masjid. Salawat dan puji-pujian kepada Sang Pencipta dilantunkan. Para muridnya dari berbagai tempat hadir di Masjid Al Aqsa, sekarang Masjid Menara Kudus. Bunyi dang... dang... dang.. bedug Sang Waliyyul Ilmi ini membuat para santri mendekat. Mereka turut melantunkan kidung yang mengagungkan tuhan.
Suara bedug yang bertalu-talu mengundang masyarakat sekitar yang kala itu sebagian besar pemeluk Hindu, peninggalan Kerajaan Majapahit. Mereka mendekat dan bertahan menyaksikan bekas Senopati Agung Kerajaan Demak itu melantunkan kidung Gending Mijil dan Maskumambang. Syair kedua kidung itu penuh nuasa ajaran Islam.
Matahari tergelincir di ufuk barat. Sunan Kudus pun memulai berkhotbah dan mengumumkan datangnya bulan Ramadan. Tak semua pengunjung membawa bekal dari rumah, terutama untuk sahur, warga sekitar Menara berjualan melayani kebutuhan mereka. Mereka menjajakan lontong opor, nasi kuning, ketan kuning, dan intip ketan.
Berbagai literatur menyebutkan pusat keramaian kala itu dipusatkan di sekitar komplek Masjid Al Aqsa. Pengunjung terus bertambah. Para pedangang mrema, lokasi Dandangan (untuk berjualan) pun meluber sampai wilayah sekitar.
Sunan Kudus telah wafat pada sekitar 1550-an. Setelah sekian ratus tahun kemudian, ritual ini diteruskan oleh putra R. Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, sekitar utara Blora, dan mulai disebut `Dandangan`. Tradisi itu pun tetap langgeng. Setiap menjelang Ramadan, muridnya dari berbagai tempat hadir di Masjid Al Aqsa.
Layaknya pesta rakyat, tradisi ritual Islam itu setiap tahun mampu menyedot perhatian masyarakat. Ritmenya berbeda. Zaman dahulu, ritme ritual Islam masih tampak kental. ”Dulu, untuk mengetahui awal puasa, saya harus pergi ke Menara untuk mendengarkan bedug dipukul sebagai tanda awal puasa untuk esok harinya,” kata Baedhowi, Rabu 3 Juli 2013. “Melihat ditabuhnya bedug, senangnya bukan main.”
Beberapa dasawarsa kini `Dandangan` berlangsung. Maskot gadis-gadis Kudus Kulon, seputar Desa Langgar Dalem menjadi nuansanya. Konon, para gadis cantik rupawan yang tinggal di sekitar Menara itu, selalu dalam pingitan orangtuanya. Mereka hanya dapat mengintip dunia luar melalui balik jeruji jendela rumahnya yang ditutupi tirai bambu.
Tapi pada acara `Dandangan`, orangtua mereka mengizinkan anak gadisnya bermain keluar rumah sepuasnya. Gadis- gadis rupawan yang sebelumnya tidak pernah terlihat itu bermunculan. Kesempatan itu pula dimanfaatkan para perjaka meliriknya. Jika cocok, mereka meminta orangtua meminangnya. “Dulu jodoh masih ditentukan orangtua,” ucap Aisyah, 70 tahun, warga Langgar Dalem. “Melalui acara Dandangan banyak perjaka mendapatkan pilihan pasangan hidup.”
Tradisi ini menarik perhatian Pemerintah Kudus. Perjalanan tradisi ini akan dipotret dalam suasana berbeda. Tradisi Dandangan akan dihidupkan lagi menjelang Ramadan. “Penyelenggaraan visualisasi tradisi Dandangan akan kami lakukan H-1 menjelang bulan Ramadan,” kata Hadi Sucipto, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kudus.
Acara visualnya digelar di Kota Lama Kudus, dekat Komplek Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus. Sejumlah kepala desa di sekitar Menara sangat mendukung acara ini. “Ruh Dandangan memang berada di Kudus Kulon. Jadi tepat sekali jika visualisasi itu diadakan di lokasi bersejarah zaman Sunan Kudus,” kata Noor Azis, Kepala Desa Janggalan.
Ratusan pedagang nomaden dari berbagai daerah pun bersiap memenuhi acara ini. Mereka adalah pedagang yang berada di sepanjang jalan Sunan Kudus, jalan KH Telingsing, KH Asnawi hingga jalan Jepara. Dinas Peragangan dan Pengelolaan Pasar Kabupaten Kudus telah menyiapkan 411 kapling untuk pedangang. Setiap kapling berukuran 3x4 meter. Pedagang hanya dikenai Rp 2 ribu per meter.
Para pedagang tadi menawarkan beragam menu masakan, semacam kerak telur, teh poci produk Tegal, mainan anak-anak dan pakaian. “Saya sudah lebih dari 10 tahun setiap Dandangan ikut mremo di sini,” kata Suryati, pedagang mainan anak- anak dari tanah, asal Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong Jepara. “Kami tidak memperhitungkan untung ruginya, yang penting cari berkah.”
Bagi pemilik toko di sepanjang jalan Sunan Muria, setiap kali berlangsung Dandangan penghasilannya menurun. “Omzet toko kami bisa turun sampai 75 persen,” ucap H Sulchan, pemilik toko tekstil di jalan Sunan Kudus. Banyak pula yang memilih menutup tokonya.
Sumber: http://www.tempo.co