Oleh : Prof. Dr. Sjafri Sairin, MA.
Pendahuluan
“Pagi itu di kediaman calon pengantin wanita dilaksanakan pemasangan tarup, lengkap dengan janur kuning, kelapa muda dan pisang. Sorenya dilaksanakan kegiatan kenduren yang dilanjutkan dengan pengajian. Keesokan harinya sekitar jam 10.00 upacara siraman dilaksanakan, dilanjutkan dengan kegiatan midodareni yang dilangsungkan pada malam harinya. Pagi hari berikutnya sekitar jam 10.00 upacara pernikahan dilangsungkan, diikuti oleh upacara panggih. Malam harinya, antara jam 19.00 – 21.00, resepsi pernikahan digelar di sebuah gedung yang cukup megah, dihadiri oleh ratusan pasangan undangan. Dengan memakai pakaian bangsawan tradisional Jawa, pengantin dan keluarganya menerima ucapan selamat dari para undangan. Setelah berjabat tangan para undangan lalu menuju hidangan yang di tata di sekeliling arena resepsi. Setelah itu para undangan pulang ke rumah masing-masing”.
Siapakah yang melangsungkan upacara perkawinan yang memakan waktu beberapa hari itu? Apakah kaum bangsawan Yogyakarta? Bukan. Mereka adalah orang biasa saja. Kesuksesan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru telah turut meningkatkan taraf hidup mereka. Membaiknya kehidupan ekonomi rupanya telah menggiring mereka untuk merasa “tidak kuwalat” mengambil simbol-simbol budaya bangsawan untuk upacara perkawinan itu. padahal dulunya orang tidak ada yang berani melakukannya. Sementara itu pengaruh effisiensi waktu dan pertimbangan ekonomi (yang merupakan pengaruh dari nilai budaya masyarakat industrial) turut mewarnai pola resepsi yang dilaksanakan itu. Pelaksanaan upacara perkawinan dengan pola seperti itu dapat disaksikan diberbagai kota besar di Indonesia, baik di ibukota negara maupun di tempat-tempat lainnya.
Sejak tiga dekade ini telah berlangsung berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Berubah tidak mungkin ditolak, karena berubah itu adalah sifat utama dari masyarakat dan kebudayaan. Tidak ada masyarakat atau kebudayaan yang tidak berubah. Semua berubah sesuai dengan ketentuan alam dan sosial yang telah berlaku. Perubahan dapat bersifat evolutif, dan dapat pula bersifat revolutif; dapat disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Pada tingkat individual, manusia berubah secara evolutif linear, dari bayi, kanak-kanak, remaja, pemuda, dewasa, tua dan akhirnya meninggal.
Proses perubahan yang terjadi pada tingkat individu itu disadari benar oleh manusia, dan hal inilah yang menyebabkan berbagai kelompok masyarakat melakukan berbagai upacara dalam memasuki setiap perubahan yang terjadi dalam siklus kehidupan manusia (life cycle) itu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penentuan waktu, bentuk upacara, dan proses upacara seperti itu berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Pada masyarakat Jawa misalnya, upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan itu dimulai ketika bayi masih berumur tujuh bulan dalam kandungan ibunya (mitoni), sedangkan pada masyarakat lain seperti Melayu misalnya, upacara itu baru dilakukan pada waktu bayi berusia 40 hari. Upacara seperti itu dikenal luas dengan istilah inisiasi.
The Rites of Passage
Arnold van Gennep (1977: 21) dalam bukunya The Rites of Passage mendiskusikan upacara inisiasi yang dilakukan oleh berbagai masyarakat dalam menyambut terjadinya perubahan siklus kehidupan manusia itu. Van Gennep melihat bahwa pada setiap upacara inisiasi itu, selalu mengandung proses upacara yang terdiri atas tiga tahap, yaitu Rites of separation, Transition rites dan Rites of incorporation. Pada tahap pertama, manusia menjadi objek dari upacara itu akan terpisah atau dipisahkan dari lingkungan dan struktur masyarakatnya semula. Pada tahap berikutnya mereka memasuki masa liminality atau transisional. Setelah itu, pada tahap terakhir objek akan masuk ke dalam lingkungan baru dalam struktur masyarakatnya. Jika pada mulanya mereka misalnya masih tergolong kaum remaja, setelah upacara inisiasi mereka masuk kedalam kelompok pemuda.
Adalah Victor Turner (1977: 94) yang kemudian menggunakan teori the Rites of Passage yang kemudian Van Gennep ini untuk menganalisis lebih mendalam fenomena upacara tersebut dalam kehidupan masyarakat. Bagi Turner, perpindahan status itu tidak hanya berlangsung pada level individual, tetapi terjadi pula pada tingkat sosial. Bagi Turner, proses perubahan masyarakat juga mengalami proses yang sama dengan yang dialami individu pada upacara inisiasi. Dengan menggunakan model analisis Van Gennep, Turner menganalisis perubahan yang terjadi pada masyarakat modern industrial seperti Amerika. Dalam bukunya The Ritual Process (1977: 97 – 125) misalnya, Turner menganalisis munculnya berbagai kelompok masyarakat, seperti kaum Hippies pada tahun 1970-an di Amerika. Dalam analisis tersebut Turner menunjukkan bahwa munculnya kaum Hippies berkaitan erat dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat Amerika. Perubahan itu telah menimbulkan fenomena transisional pada (sebagian) kaum muda di negara maju itu. sebagai kaum muda yang sedang tumbuh, mereka merasa berada di luar struktur yang ada, mereka berada dalam liminality. Turner menyebutkan kelompok masyarakat ini dengan sebutan communitas.
Umumnya kelompok masyarakat yang sedang berada dalam fase liminality akan memunculkan antara lain pola perilaku yang ambiguity. Simbol-simbol yang di produksi oleh kelompok ini berbeda dengan simbol-simbol masyarakat yang telah ditinggalkannya maupun dengan masyarakat yang dituju atau diimpikannya. Keadaan ini menyebabkan Communitas sebagai kelompok masyarakat disebut Turner sebagai kelompok masyarakat yang anti struktur.
Dalam beberapa hal model analisis yang digunakan oleh Victor Turner itu dapat pula digunakan untuk menganalisis fenomena masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan dengan relatif cepat ini seperti sekarang ini. Pada tulisan singkat berikut ini penulis mencoba menggunakan kerangka analisis Turner tersebut dalam upaya memahami berbagai fenomena kehidupan masyarakat Indonesia yang muncul akibat dari perubahan itu. Mentalitas ambiguiti yang terjadi pada masyarakat telah menggiring mereka kepada pola tindakan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Pengamatan terhadap praktek kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, dijadikan dasar bagi analisis ini.
Pembangunan dan Perubahan
Dibandingkan dengan tiga dekade yang lalu, masyarakat Indonesia telah mengalami berbagai perubahan besar. Buah dari jerih payah pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru telah menghasilkan buah yang cukup manis. Upaya itu telah berhasil menaikkan tingkat hidup masyarakat Indonesia ke tingkat yang relatif lebih baik. Kesejahteraan penduduk menunjukkan peningkatan yang sangat bermakna. Mengiringi peningkatan pendapatan, tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk pun semakin membaik.
Untuk lebih meningkatkan taraf kesejahteran masyarakat dimasa depan, kebijakan pembangunan Indonesia kemudian lebih diarahkan kepada pengembangan industri. Jika strategi pembangunan yang telah dirancang oleh pemerintah itu berjalan lancar dan mulus, diperkirakan pada waktu yang tidak lama lagi masyarakat Indonesia akan segera memasuki era industralisasi. Artinya, kehidupan masyarakat yang semula lebih banyak bertumpu pada kegiatan pertanian tradisional, akan segera beralih kepada kegiatan industri. Kalaupun nanti petani Indonesia tetap saja melakukan aktivitas ekonomi sebagai petani, tetapi orientasi kegiatan mereka telah beralih, tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan subsistensi semata, tetapi sudah melangkah kepada kegiatan ekonomi pertanian yang bersifat komersial. Pola kegiatan masyarakat akan turut berubah. Jika semula porsi terbesar kehidupan masyarakat lebih banyak bertumpu pada kegiatan pertanian, maka pada masyarakat industrial porsi itu jauh akan berkurang. Masyarakat akan lebih banyak terlibat dalam aktivitas ekonomi pasar yang terbawa langsung oleh semakin maraknya aktivitas industri itu. sejak beberapa tahun ini proses industrialisasi sebagai pendukung kebijakan itu telah mulai dilaksanakan. Berbagai produk teknologi canggih telah dilemparkan ke tengah masyarakat, sehingga telah menjadi bagian dalam napas kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk diantaranya teknologi komunikasi dan informasi.
Kebijakan dan strategi pembangunan itu telah membawa persentuhan yang lebih kuat antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat teknologi maju seperti Amerika. Akibatnya membawa pula pada perubahan dalam sistem gagasan masyarakat. Gagasan-gagasan baru muncul dalam kehidupan masyarakat, terbawa oleh kemajuan teknologi informasi yang telah menjadi bagian dari perlengkapan kehidupan masyarakat. Corak kehidupan masyarakat di luar Indonesia bukan lagi menjadi sesuatu yang asing buat masyarakat Indonesia. Pengetahuan akan pola kehidupan masyarakat industrial itu, telah memunculkan berbagai gagasan baru dalam kehidupan masyarakat, baik berupa gagasan yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Dengan semakin luasnya pengetahuan yang diperoleh mengenai pola kehidupan masyarakat negara-negara maju itu, telah menyeret (sebagian) masyarakat Indonesia untuk menjadikan model kehidupan masyarakat negara-negara maju itu sebagai model acuan bagi kehidupan. Apapun yang dipandang berasal dari negara-negara maju itu, terutama yang berasal dari Amerika, dipandang sebagai model acuan yang paling baik untuk ditiru atau dimiliki. Lihatlah bagaimana masyarakat memperlakukan produk Amerika seperti makanan, pakaian dan model kehidupan lainnya.
Lalu apakah sistem gagasan lama yang dimiliki masyarakat Indonesia dengan begitu saja akan dilupakan? Ternyata tidak. Sistem gagasan lama masih cukup pekat mewarnai corak kehidupan masyarakat, terutama karena mereka tidak mampu untuk meninggalkannya dengan begitu saja. Keadaan yang demikian inilah yang kemudian menggiring (sebagian) masyarakat menjadi suatu communitas, yaitu kelompok masyarakat yang dalam keadaan liminal dengan perilaku mereka yang cenderung ambigu, dengan memadukan gagasan lama dan gagasan baru dalam suatu paket kehidupan.
Transisional : Mengejar dan Melestarikan
Ada semacam kesepakatan dari para pengamat untuk mengkategorikan masyarakat Indonesia sekarang ini sebagai masyarakat yang sedang berada dalam keadaan transisional. Keadaan itu berkaitan dengan sedang berpindahnya masyarakat Indonesia dari kehidupan agraris tradisional, yang penuh dengan nuansa spiritualistik dan majik, menuju masyarakat industrial modern yang rasional dan materialistik. Slogan “mengejar ketertinggalan yang selalu menjadi buah bibir pejabat dan masyarakat, merupakan simbol dari keadaan transisional yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Dengan meminjam terminologi Durkheim, bangsa Indonesia sedang bergerak dari masyarakat dengan solidaritas mekanik menuju masyarakat dengan solidaritas organik. Warna kehidupan masyarakat industrial sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan masyarakat, tetapi corak kehidupan agraris tradisional belum lenyap sama sekali. Masyarakat berada pada pintu gerbang, “neither here nor there” , tidak dalam bingkai budaya tradisional dan tidak pula dalam bingkai budaya “modern”. Untuk tetap bertahan dan berpegang teguh pada kehidupan tradisional tidak mungkin lagi, terutama karena dianggap sudah tidak sesuai dan ketinggalan zaman, tetapi untuk meninggalkannya secara keseluruhan juga tidak mungkin, karena model kehidupan dunia baru yang akan dituju pun belum jelas bentuknya. Akibatnya perilaku masyarakat menjadi sangat ambigu, mencampurbaurkan gagasan lama dengan gagasan baru.
Dalam keadaan masyarakat yang sedang berubah seperti itu secara teoritis akan muncul empat kelompok masyarakat. Pertama, mereka yang berupaya untuk bertahan dan mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lama dalam kehidupan mereka. Dalam kelompok ini muncul gerakan-gerakan “sempalan” atau messianisme, seperti pada kasus lenyapnya belasan keluarga di Jawa Tengah tahun lalu, meninggalkan segala hartanya, mengikuti seorang pemimpin yang dianggap dapat menyelamatkan kehidupan mereka. Kedua, adalah mereka yang cenderung memungut simbol-simbol budaya masyarakat industri maju, sebagai model acuan, secara apa adanya, tanpa sempat lagi untuk mempertimbangkan akan fungsinya dalam kehidupan yang sedang mereka jalani. Dalam kelompok termasuk mereka yang sering disebut sebagai kelompok “super modern” . Ketiga, adalah mereka yang mampu memadukan dengan serasi kedua gagasan yang berbeda itu secara fungsional dalam kehidupan mereka. Ke dalam kelompok ini misalnya termasuk mereka yang berhasil memadukan perangkat musik tradisional Indonesia dan instrument barat secara serasi. Keempat, adalah kelompok masyarakat yang cenderung mangambil secara sepotong-sepotong unsur-unsur budaya lama dan budaya baru itu secara bersamaan. Namun, yang diambil mereka umumnya adalah aspek simbolik materialistik yang melekat pada unsur-unsur gagasan lama dan baru itu, dan cenderung hanya digunakan kepentingan tertentu saja. Mereka memadukan kedua pola nilai itu bukan karena berkaitan dengan nilai substansi dari gagasan itu, atau dalam rangka kepentingan yang bersifat kreatif, tetapi lebih banyak sebagai akibat dari produk ambiguiti yang sedang mereka derita.
Dengan hadirnya ambiguiti atau kegalauan itu tidak berarti hilangnya orientasi nilai budaya mereka. Pengaruh yang kuat dari persentuhan dengan masyarakat industri maju, rupanya telah menggiring mereka untuk lebih berorientasi kepada pola kehidupan masyarakat industri, dengan cara meniru berbagai pola kehidupan masyarakat maju itu. Proses peniruan itu memang mulanya diawali oleh mereka yang termasuk kelompok elit yang lebih dahulu berkenalan dengan pola-pola kehidupan masyarakat negara maju itu. Dari situ kemudian meluas kepada orang kebanyakan. Nilai budaya paternalistik yang masih pekat dalam kehidupan masyarakat, merupakan unsur pendorong yang kuat dalam proses peniruan itu, akan tetapi, peniruan itu lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat materialistik. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya porsi persentuhan masyarakat Indonesia dengan masyarakat maju itu melalui produk yang bersifat materialistik dibandingkan dengan porsi nilai yang berada dibalik produk itu. nilai-nilai yang berhubungan dengan etos kerja, disiplin dan kreatifitas, yang berada dibalik itu semua, tidak sempat menyentuh perhatian masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian masyarakat lebih banyak terperangkap kepada gagasan yang bernuansa materialistik.
Sementara sebelah kaki masyarakat telah berpijak pada gagasan kehidupan baru, sebelah kaki lainnya masih tetap berpijak pada gagasan budaya lama yang mereka miliki. Mereka seolah tidak mampu untuk segera melangkah meninggalkan nilai dan gagasan budaya lama itu karena nilai-nilai itu telah menyatu dalam aliran darah mereka. Oleh karena itu, berbagai sistem nilai lama tetap saja mereka dipertahankan, walaupun yang dipertahankan itupun akhirnya juga cenderung kepada hal-hal yang bernuansa materialistik. Upacara-upacara tradisional tetap mengisi lembar kehidupan masyarakat, tetapi makna dibalik upacara itu tidak lagi dimengerti dan dipahami. Orang tetap saja menggelar upacara slametan, walaupun yang dipentingkan adalah bingkai upacara itu sendiri, bukan makna di balik upacara itu.
Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat Indonesia perpaduan antara unsur-unsur budaya tradisional agraris dengan budaya industrial modern berjalan secara berdampingan, walaupun nuansa materialistik lebih mewarnai kehidupan masyarakat. Dalam berbagai upacara misalnya, kedua unsur budaya itu dikawinkan secara bersamaan. Pada upacara perkawinan yang dilakukan oleh banyak kalangan, nuansa tradisional terasa betul ditonjolkan, misalnya dengan menghadirkan sejumlah besar undangan (yang mengisyaratkan simbol budaya agraris), sementara warna budaya masyarakat industrial yang menjadi acuan, tidak ketinggalan mendominasi corak upacara itu, terutama dengan digelarnya bentuk pesta berdiri dan prasmanan. Dalam undangan resepsi perkawinan akhir-akhir ini di berbagai daerah perkotaan, tercetak kalimat berikut.
“Dengan tidak mengurangi rasa hormat, kami akan sangat berterima kasih apabila ungkapan tanda kasih yang mungkin anda berikan kepada kami tidak berupa cendera mata ataupun karangan bunga”.
Bagi pengundang yang sedikit “halus” perasaannya, kalimat di atas memang tidak dicetak, tetapi diganti dengan simbol celengan. Walaupun tidak dijelaskan dengan terus terang, secara simbolik kalimat itu menerangkan bahwa pengundang mengharapkan hadiah berupa uang. Uang adalah simbol masyarakat industrial. Padahal dalam masyarakat negara maju, permintaan seperti itu boleh dikatakan tidak lazim. Upacara perkawinan di negara-negara maju itu umumnya hanya dihadiri oleh kerabat dan teman-teman dekat, dengan jumlah yang relatif terbatas, dan yang hadir terkesan tidak pernah memberi hadiah berbentuk uang tunai kepada mempelai.
Pada kasus yang lain ambiguiti itu tergambar dari upaya mempertemukan dua tradisi yang berbeda itu dalam satu forum. Di Surabaya beberapa waktu yang lalu, digelar sebuah seminar yang menghadirkan paranormal (simbol dunia lama), dan ahli kesehatan modern (simbol dunia industrial modern), untuk membahas masalah kesehatan. Forum ini dihadiri oleh cukup banyak peserta. Dilain kesempatan, sejumlah paranormal yang biasanya bekerja di ruang-ruang tertutup (simbol dunia tradisional), membuka praktek di mal beberapa kota besar di Indonesia (simbol dunia modern). Cukup menarik perhatian, jumlah “pasien” yang berkunjung ke ruang praktek itu menurut laporan, cukup besar jumlahnya.
Budaya Konsumen dan kebutuhan Pamer
Gejala ambiguiti dan semakin materialistiknya kehidupan masyarakat itu tampaknya telah menyeret mereka ke arah terbentuknya budaya konsumen (consumen culture) (Featherstone 1991). Dengan masuknya berbagai produk teknologi baru dari negara-negara maju, telah menggelitik nafsu atau hasrat untuk memiliki dan mengkonsumsi hasil produk impor itu dengan segera. Politik ekonomi pembanguan Indonesia yang relatif terbuka, telah menyebabkan produk industri negara-negara maju itu bagaikan air bah, mengalir deras ke tengah kehidupan masyarakat. Sebagaimana masyarakat negara berkembang lainnya, masyarakat Indonesia telah menjadi pasar yang empuk bagi produk industri negara maju itu. Edward W. Said (1993) mengatakan bahwa dengan sistem ekonomi yang demikian itu sebenarnya masyarakat negara-negara berkembang telah kembali menjadi jajahan negara industri maju itu.
Penjajahan ekonomi itu telah menghanyutkan masyarakat kepada budaya konsumen dengan perilaku konsumtif. Dengan memanfaatkan bantuan teknologi informasi yang semakin canggih, produk industri negara-negara maju tidak henti-hentinya menusuk jantung kehidupan masyarakat, baik produk yang nyata (materialistik) maupun yang bersifat simbolik. Keadaan ambiguiti yang diderita oleh (sebagian) masyarakat, memudahkan mereka untuk semakin terperosok kepada pesona produk yang datang dari negara-negara maju itu. segala yang datang dari negara maju lalu selalu menjadi rebutan. Akan tetapi, seiring dengan kecenderungan itu produk-produk terpilih yang berakar dari tradisi setempat juga mendapat tempat yang cukup berarti. Barang-barang produksi yang berbau etnik mendapat mendapatkan pasar yang cukup luas di tengah masyarakat, apalagi jika dikemas dengan corak produksi masyarakat industri maju. Berbagai produk jamu tradisional yang dikemas dengan apik misalnya menjadi rebutan konsumen Indonesia.
Salah satu ciri perilaku konsumtif adalah hasrat dan nafsu yang sangat kuat untuk memiliki produk industri baru yang diperkenalkan. Akan tetapi, hasrat itu muncul bukan karena didorong oleh kebutuhan yang bersifat substantif, tetapi lebih banyak karena kebutuhan yang bersifat simbolik. Urgensi dari barang yang dikonsumsi bukan lagi ditekankan pada fungsi substansialnya, tetapi lebih banyak karena citra yang melekat pada barang itu. Akhirnya masyarakat terdorong untuk beralih dari tujuan membeli barang menjadi membeli simbol. Di sini fungsi produk industri itu telah menjadi sesuatu yang punya makna simbolis, baik yang berkaitan dengan prestige, status sosial, perasaan lebih berharga, atau sekadar untuk memenuhi hasrat untuk “tidak ketinggalan”.
Namun, mengapa orang terperangkap dengan pola konsumen yang bernuansa konsumtif itu? suasana transisional tampaknya telah memunculkan kebutuhan baru untuk lebih dihargai, lebih dipandang dan sebagainya. Hal ini merupakan gejala psikologis yang melanda masyarakat transisional. Kebutuhan itu dalam perwujudannya akan lebih mudah untuk dipenuhi dengan cara memamerkan pemilikan benda-benda simbolik itu ke tengah masyarakat sekitarnya. Dalam suasana hati yang sedang ambigu dibutuhkan “sesuatu yang lain” yang tidak dimiliki orang lain, atau paling tidak, tidak berbeda dengan yang dimiliki orang lain. Kalau dapat, harus ada sesuatu yang berbeda yang dapat dipamerkan, sehingga mampu menghadirkan citra yang lebih daripada orang lain.
Jadi, di balik fenomena budaya konsumen yang muncul mengiringi fase transisional itu, tersembunyi hasrat untuk pamer. Pamer menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan masyarakat transisional, karena di situ akan muncul citra yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Namun, untuk memenuhi hasrat pamer itu orang harus memiliki sesuatu yang dapat dipamerkan. Semakin langka dan terbatas jumlah produksi suatu benda yang mampu dipamerkan, semakin tinggi pula makna simbolis yang melekat pada benda itu. Disinilah akarnya mengapa orang beralih dari membeli “barang” kepada membeli simbol, karena di situ hadir citra yang dapat memuaskan kebutuhan akan pamer.
Perilaku Tegel
Umpamanya saja kemampuan untuk memenuhi nasrat pamer itu dengan memiliki barang-barang yang bernilai simbolis memang ada, tentu tidak begitu persoalan. Akan tetapi, jika kemampuan sangat terbatas, mungkin karena income yang terbatas pula, sementara godaan untuk memiliki barang yang ditawarkan dalam rangka mengisi budaya pamer itu tidak mampu untuk diredam, maka sudah dapat dibayangkan apa yang akan dilakukan orang. Di sinilah agaknya yang menjadi faktor pendorong bagi munculnya mentalitas nrabas seperti yang dikemukakan Koentjaraningrat akhir 1960-an. Dengan mentalitas nrabas itu, masyarakat kemungkinan menjadi tergiring kepada praktek kolusi dan korupsi seperti yang menggejala sejak pada beberapa dekade ini.
Mental nrabas tampaknya telah membawa pula kepada munculnya tindakan tegel*) di tengah masyarakat. Rasa kemanusiaan yang selalu di bicarakan dan dipidatokan dalam tingkat seremonial, secara perlahan menjadi menyurut, dan bahkan menghilang dalam praktek kehidupan. Dari berbagai kasus yang diamati, terkesan pelanggaran HAM sudah sangat melewati batas kemanusiaan dan telah melebihi takarannya. Ada yang “memaksa” rakyat menyerahkan tanahnya dengan harga yang sangat murah atas nama kepentingan umum, ada pengembang yang tegel menggali parit disekeliling perkampungan penduduk yang tidak rela menjual tanahnya dengan harga murah. Ada pula petugas negara yang tegel menjebloskan seorang anak di bawah umur ke penjara karena orangtuanya tidak mampu memberi uang kepada petugas. Belum lagi pembunuhan aktifitas buruh dan wartawan, perampokan sekolah, penipuan NEM, “pemaksaan” pembelian sepatu buat pelajar, dan sebagainya.
Sejumlah gejala tindakan tegel ini muncul setiap hari di media massa dalam berbagai bentuknya; tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi saja tetapi merambah sampai kepada kehidupan sosial dan politik. Perilaku tegel itu tampaknya berkaitan erat dengan dorongan untuk pamer yang tersembunyi di balik budaya konsumen yang hidup di tengah masyarakat luas itu. Fase transisional yang diderita memberikan sumbangan yang berarti dalam munculnya perilaku itu, terutama karena orang menjadi begitu terjerat ke dalam mentalitas ambigu, sehingga tidak lagi jelas arah dan tujuan dari kehidupan yang dijalaninya.
Penutup
Tulisan singkat ini mencoba menghubungkan berbagai fenomena ambiguiti sebagai akibat keadaan transisional yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Pada fase ini muncul berbagai kegalauan mentalitas yang terjadi pada sejumlah segmen masyarakat. Gejala semakin kuatnya dorongan yang bercorak materialistik telah mendorong berbagai kelompok untuk memenuhi kebutuhan pamer di tengah masyarakat. Kebutuhan pamer dapat dipenuhi antara lain dengan “mengkonsumsi” berbagai simbol yang melekat pada benda-benda yang ditawarkan, termasuk gelar akademis dan perangkat simbolik lainnya. Sebagai imbas selanjutnya dari kecenderungan itu memunculkan pula perilaku tegel di tengah masyarakat.
Kecuali itu fenomena ambiguiti yang muncul dalam kehidupan masyarakat itu juga memunculkan sikap dan perilaku yang paradoksal, perilaku yang memutus hubungan antara dunia ideal dan dunia real. Dunia ideal yang seharusnya menjadi landasan bagi dunia real seakan terputus secara total. Dunia ideal seakan kehilangan kekuatannya untuk membentuk dunia real. Dunia ideal akhirnya hanya hidup dalam bingkai retorika, dan bahkan kadang-kadang berbau mantera, sedangkan dunia real berjalan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam berbagai kasus ada penegak hukum yang malahan melanggar hukum. Di sini terlihat dengan jelas bagaimana ambiguiti yang menyelimuti masyarakat itu tercermin dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat, seolah-olah tidak jelas lagi di mana mereka harus berdiri, dan bagaimana harus bertindak. Akibatnya mereka bergerak hanya menurutkan arah tiupan angin kehidupan semata.
Sebuah pertanyaan penting yang dapat muncul dari fenomena yang didiskusikan ini adalah, apakah ambiguiti ini akan berlangsung terus pada masyarakat Indonesia? Hal ini sebenarnya tergantung dari orientasi nilai masyarakat Indonesia sendiri. Secara teoritis jika orientasi nilai itu masih kuat pada peniruan yang bersifat materialistik simbolik pola kehidupan negara maju, diperkirakan sifat ambigu itu akan tetap bertahan. Akan tetapi, jika saja kemudian orientasi nilai itu lebih ditekankan kepada nilai-nilai dinamis masyarakat sendiri, sifat ambigu itu akan lebih mudah untuk hilang.
Bacaan Rujukan
Featherstone, Mike. 1991. Consumer Culture and Postmodernism. London : sage Publication.
Koentjataningrat. 1969. Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Said, Edward E. 1993. Culture and Imperialism. New York: Alfred A. Knopp
Sairin, Sjafri. 1995. “Industrialisasi, Budaya Konsumer dan “A Heartless Society”, Makalah untuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VI. 11-15 September 1995 di Serpong, Jawa Barat.
Turner, Victor. 1977. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Ithaca: Cornell University Press.
Van Gennep, arnold. 1977. The Rites of Passage. London: Routledge and Kegen Paul.
__________
Prof. Dr. Sjafri Sairin, MA., adalah Guru Besar Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, dan Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan dan perubahan Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
Makalah ini disampaikan dalam Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan, dan Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia
*) Tegel adalah kata yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya sama dengan kata tega, atau “sampai hati” dalam bahasa Indonesia (Mardiwarsito et al, 1985:313-314). Namun dalam pemakaiannya kata tega berbeda dengan kata tegel. Kata tega dapat digunakan untuk hal-hal yang mempunyai konotasi negatif atau positif. Misalnya “Dia tega melepas anak kesayangannya pergi merantau”. Dalam kalimat ini kata tega mengandung pengertian positif. Namun kata itu dapat pula digunakan dalam arti negatif seperti “Dia tega memakan harta anak yatim piatu itu”. sebaliknya kata tegel hanya digunakan untuk maksud negatif seperti dalam kalimat “kowe kok tegel nundung wongtuamu” (kamu kok tegel mengusir orangtuamu). Dalam beberapa hal kata tegel ini sama maknanya dengan kata heartless dalam bahasa Inggeris.